sungguh jangan salahkan

musim yang telah kita hafal benar rupa tabiatnya

hujan yang tercurah dari langit memang bukan lawan seimbang

bagi atap yang melapuk oleh waktu

baiklah mari kita runut kembali kisah demi kisah

perjalanan anak bangsa menjemput asa

tapi kumohon matikan dulu televisi dengan seluruh fantasinya

agar tak merancu pengisahan fakta ini

bangun pagi mereka termangu dihantu mimpi-mimpi

dari tidur tak nyenyak semalam

berseliweran gambar-gambar kegagahan yang selalu mereka perankan

pada karnaval desa tujuhbelasan

“segera mandi nak”

menggelitik perutnya aroma gurih nasi aking dan ikan asin

berkilo-kilometer terjal perbukitan nuju pancuran kecil

memaksa peluh lelah membasah saat kembali

ah setidaknya daki hari ini telah tercuci

dan sekeping uang logam di saku baju cukuplah menautkan

keakraban nanti dengan para sebaya lewat sebungkus kerupuk

“selamat pagi sungai!” berpekik mereka seraya melepas penambat rakit

sepatu tua menggantung di leher agar basah tak bekukan telapak mungilnya nanti

lihat bola-bola mata yang pendam trauma ketika gelombang

yang pernah datang tiba-tiba nyaris tenggelamkan seluruh mimpi

rasakan apa yang bergolak dalam dada mereka

tatkala langkah mereka henti di depan ruang yang memuing

sekarat papan tulis ditimbun pecahan genting

wajah-wajah pahlawan tercabik berlepotan lumpur

genta bersuara sumbang tergeletak dalam genangan

entah ke mana bilah besi pemukulnya raib

hujan berikutnya pagi itu tak terbendung:

air mata

“kita belajar di bawah pohon, anak-anak.

cari tempat yang tak basah.”

beralas koran yang memajang berita tak sedap

tentang bursa online siswa baru bertransaksi puluhan juta rupiah

isakan menyeruak dalam bayang-bayang yang makin tak jelas

: hari depan!