MENILIK BULAN
MENILIK BULAN
Teng, teng, teng,
Teng, teng, teng
Teng, teng, teng,
Teng, teng, teng
Sayup-sayup terdengar oleh Avin bunyian itu. Ia bergegas keluar rumah, melihat kiri kanan mencari dari mana bunyi itu berasal. Makin lama bunyi itu makin dekat. Tampak lah oleh Avin, itulah bunyi ‘canang’. Setiap ada pemberitahuan untuk masyarakat, digunakanlah canang ini, sebuah alat mirip talempong yang berwarna kuning kemudian dipukul-pukul. Tukang canang berjalan sambil memukul-mukul alat itu. Sesekali dalam tempo jarak tertentu ia akan berhenti memukul canang kemudian menyoraki pengumuman atau pemberitahuan untuk masyarakat. Setelah selesai ia akan berjalan lagi. Begitu seterusnya.
Kemudian Avin pergi mendekat ke jalan ke arah orang yang memukul canang. Tanpa ragu ia meminta tukang canang untuk menyampaikan pengumumannya. “Pak, tolong umumkan siko ciek!”. Avin meminta Pak canang mengumumkannya. Biasanya jika ada permintaan seperti itu tukang canang akan berhenti dan menyampaikan isi canangnya. “Hai masyarakat kampuang, besok kita menilik bulan, jika ada tampak tolong beri tahu nagari,” sorak Bapak itu dengan suara lantang. Kemudian bapak itu berjalan lagi. Ia akan terus berjalan hingga ujung kampung nanti sampai rumah terakhir yang ada di kampung ini.
Teng, teng, teng,
Teng, teng, teng
Teng, teng, teng,
Bunyi canang itu mengiringi Avin berlari memasuki rumahnya. Anak yang sangat suka berlari itu sangat bersemangat memberitahukan informasi yang ia dapat kepada Ayah dan Ibunya. “Ayah, menilik bulannya bsok yah” ujar Avin .” Oo jadi besok jadinya, Avin ikut besok kan?” ajak ayahnya pada avin. “ tentu iya yah” Ia menjawab dengan semangat.
Menilik Bulan sebuah istilah yang mereka gunakan untuk melihat bulan menjelang puasa atau menjelang lebaran idul fitri. Tahun ini mereka menilik bulan jatuh pada hari Kamis. Seperti biasa, jika nampak bulan malam kamis, mereka akan puasa hari jumat, jika tidak mereka puasa hari sabtu. Inilah aturan agama yang mereka ikuti di kampung ini tentang menilik bulan. Biasanya Masing-masing suku sudah mengutus orang-orang tertentu untuk menilik bulan, jika nampak bulan akan diberitahukan kepada pimpinan adat nagari untuk dimusyawarahkan.
Tibalah hari yang ditunggu, jadwal menilik bulan. Pak Ujang dan anaknya sudah berencana ikut menilik bulan dari kemarin. Pak Ujang selalu ikut menilik bulan tiap tahunnya. Ia sangat percaya bahwa menilik bulan suatu kewajiban dalam agama islam. Bagaimanapun kondisinya Ia tetap ikut menilik bulan ini. Anak Pak Ujang, Avin, yang saat ini sudah duduk di bangku kelas 2 SD sudah 2 Tahun pula Ia ajak. Avin mulai diajak menilik bulan semenjak dia sudah ikut berpuasa.
Mereka berencana menilik bulan di tengah sawah yang tak jauh dari rumah mereka.. Sawah ini adalah sawah Pak Ujang sendiri. Sawah mereka selalu digunakan untuk tempat menilik bulan. Di sana pemandangan mata luas tak ada kayu-kayuan yang menghalangi sehingga sangat tepat digunakan menilik bulan. Selain itu sawah itu kondisi swah ini datar dan tak jauh dari rumah masyarakat.
Masyarakat disekitar rumah mereka tak nampak geliatnya. Entah mau ikut menilik bulan entah tidak. Pak ustadz yang biasa mengarahkan masyarakat juga tak nampak. Sudah pukul 17.55 WIB belum ada yang nampak berjalan di pematang sawah. Biasanya sudah ada iring-iringan orang yang menuju ke tengah sawah. Tak lama tampak dari kejauhan datang Pak Ustadz, orang besar di kampung ini. Beliau sangat disegani dan dihormati oleh masyarakat kampung. Jika beliau yang melihat bulan, maka semua orang akan langsung percaya, tidak perlu atau disidang terlebih dahulu seperti orang lain yang tampak bulan.
Assalamualaikum Pak ustadz,” sapa Pak Ujang.
“Waalaikumsalam Pak Ujang,” jawab Pak Ustadz
Menilik bulan juga Pak ustadz”
Iya lah, ini kan kewajiban kita”
Pak ustadz dimana menilik?
Rencana dekat “sudung” sawah Pak Ahmad, Pak ujang dimana?
“Di tengah sawah depan rumah ini saja Pak Ustadz”
O ya baiklah, saya jalan dulu Pak Ujang, assalamualaikum”
Pak Ustad menuju sudung sawah Pak Ahmad. Sudung itu sebutan untuk pondok yang ada di tengah sawah. Kemudian Avin dan Ayahnya bergegas juga berjalan ke tengah sawah. Sampai di dekat sawah panjang itu muncul Pak Ahmad. Orang yang sudungnya akan dipakai Pak Ustadz tadi. Beliau seperi tak acuh saja. Pak Ujang berusaha menegurnya.
Mau kemana Pak Ahmad, mau menilik bulan juga”
Mau ke kedai dulu Pak Ujang”
O begitu, tadi Pak ustadz sudah dulu ke “sudung” Pak Ahmad.
Oo yah Pak Ujang, nanti kalau tak sempat saya wakili ke Pak ustadz saja” jawab beliau sambil tertawa.
Ayah Avin hanya bisa geleng-geleng lihat kelakuan Pak Ahmad. Cahaya matahari semakin temaram ditelan kelam yang mulai mencekam. kini mereka bergegas menuju posisi menilik bulan.
Avin dan Ayahnya sudah sampai d tengah sawah. Berdiri di pematang sawah dengan tegap. pandangannya luas ke depan menatap gunung yang tinggi. Biasanya bulan tampak tak jauh dari puncak gunung. Di atas gunung sudah ada sapak yang merah, berwarna kuning kemerahan-merahan pertanda matahari perlahan sudah meninggalkan siang. Kayuan-kayuan di depan mereka sudah mulai samar seperti menyamar dengan kegelapan.
Mata mereka tak lepas menatap kepada gunung di depan mereka sambil melihat samping kiri dan kanan gunung itu. Mereka berharap dapat melihat bulan dan esok sudah puasa.
“Ayah, kira-kira bulannya nampak ndak yah?” Tanya Avin
“sepertinya nampak nanti, soalnya tadi hari cerah. Sekarang Ayah lihat juga ada cahaya terang dekat gunung itu” terang Ayah kepada Avin.
“mudah-mudahan ya yah,” harap avin
“Yah, kenapa harus manilik bulan, sebelum puasa ini yah?”
“seperti itu perintah agama kita nak, ada dua cara untuk menentukan bulan ramadhan pertama dengan hisab dan ru’ya atau melihat adanya bulan. Dan kita dikampung ini memakai menilik bulan. puasa la kamu kerana menilik bulan, berbukalah kmu kerana nampak bulan”
“owh seperti yah,” mencoba paham apa yang dikatakan Ayahnya.
“owh ya yah, kenapa menilik bulan sebelum puasa ini tidak ramai seperti mau lebaran yah?”
Ya karna ingin lebaran lebih awal, dan puasa maunya ditunda-tunda?” jawab ayah malas
“hhmm seperti itu?”
Iya, tapi Avin jangan seperti itu nanti, karena keduanya sama perintah jadi mesti harus dilaksanakan keduanya. Menurut Ayah harusnya yang lebih gembira itu menilik bulan sebelum puasa ini karena akan menyambut bulan Ramadhan. Bulan yang terlebih baik dari seribu bulan. tapi di kampung kita malah sebaliknya”
“iya Ayah”
“betul juga kata Ayah, orang-orang kalau untuk melihat menuju puasa tidak terlalu semangat. Dari tadi di sawah ini hanya kami saja yang berdiri melihat bulan”. gumam Avin dalam hatinya
Pikirannya melayang teringat suasana menilik bulan tahun sebelumnya ketika menilik bulan akan lebaran. Tengah sawah ini ramai, hampir semua orang ikut menilik bulan. Para ibu membawa anak-anaknya, tidak hanya anak laki-laki perempuan pun juga diajak. Mereka bermain bersama sambil menunggu bulan muncul. Dia juga masih ingat bagaimana dulu main lari-lari bersama temannya di sawah ini. Seingat Pak Ahmad yang tak acuh tadi juga ikut saat itu. Ia paling semangat kali itu. Tak putus-putus pandangnya ke atas gunung ke arah bulan mau muncul. Selalu tunjuk-tunjuk ke atas. Asal ada terang beliau katakan itu bulan. bahkan yang paling parah Pak Ahmad pernah bersumpah nampak bulan padahal akhirnya ketahuan itu bukan bulan. begitulah orang-orang macam Pak Ahmad ingin cepat meninggalkan ramadhan dengan berbagai cara.
Lamunan Avin buyar ketika Pak Ustad datang dari sudung sawah Pak Ahmad menyapa mereka.
“bagaimana Pak Ujang ada tampak bulannya”? Tanya Pak ustadz
“belum ada, Pak Ustadz gimana ada nampak?, Jawab Pak Ujang
“tidak juga, berarti besok kita blum puasa” lanjut Pak Ustadz
“beginilah kalau dunia sudah tua, kepedulian terhadap perintah agama sudah kurang, orang-orang memilih dan memilah perintah sesuai selera. Semoga kita dijauhkan dari fitnah akhir zaman ya” Pak ustadz mengatakan hal itu sambil tengadah pada langit.
Kemudian Pak Ustadz meninggalkan Pak ujang dan Avin. Pak ujang ingin menunggu 5 menit lagi, masih berharap besok sudah Ramadhan.
Senja semakin gelap, sudah samar-samar bulu tangan dilihat mata. Suara jangkrik sudah terdengar dimana-mana. Sahut menyahut seperti alunan melodi yang dirangkai cukup indah. Mereka masih menengadah berharap melihat bulan. Belum jua kunjung tampak awal Bulan Ramadhan yang ditunggu-tunggu. Sebenarnya bagi Avin juga belum paham dengan mana bulan Ramadhan, namun dia hanya penasaran bentuk bulan sehari itu seperti apa. Semenjak kecil dan ikut ayahnya melihat bulan belum pernah tampak sekalipun olehnya. Dia ingin melihat bentuk bulan yang umur sehari itu dan Dia ingin menjadi yang pertama melihat bulan tersebut. Sehingga dia bisa bercerita kepada kawan-kawan bahwa dia nampak bulan umur sehari. Sebagai seorang anak yang hobi cerita baginya itu cerita yang sangat membanggakan.
Keinginan Avin tak kunjung kesampaian. Bulannya tak jua menampakan diri. Entah sembunyi dalam balutan awan atau memang belum muncul ke permukaan. Hal itu masih jadi tanda tanya Avin dan Ayahnya. Yang jelas besok pagi mereka belum mulai puasa jika tak ada seorang pun yang melihat dan melaporkannya. Kemudian Mereka bergegas pulang untuk menunaikan sholat magrib.
“SEKIAN”
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap ceritanya, Menilik bulan.ditunggu follow back nya pak