Dartini

Pengawas SMP di Dinas pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah....

Selengkapnya
Navigasi Web

Dari Workshop PUS (3) SLB atau Inklusi ?

Pendidikan untuk semua, tak terkecuali mereka yang berkebutuhan khusus. Semuanya sepakat itu. Tapi kebijakan yang ditempuh untuk memenuhinya bisa berbeda-beda. Hal tersebut juga terjadi pada acara Workshop Pendidikan Untuk Semua Kabupaten Purbaingga yang diselenggarakan Badan Perencanaan Pembangunan dan Penelitian Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Kabupaten Purbalingga hari Senin 20 Nopember yang baru lalu. Narasumber dan sebagian peserta menyetujui agar layanan pendidikan kepada warga yang memiliki kebutuhan khusus diberikan disekolah-sekolah inklusi. Sementara itu sebagian peserta yang lain menginginkan agar didirikan Sekolah luar Biasa untuk melayani kebutuhan mereka.

Di awal paparannya, Bapak Indriyanto Edi dari Bappeda Propinsi Jawa Tengah menyampaikan kondisi dunia pendidikan di Jawa Tengah yang diwarnai dengan adanya Anak Usia Sekolah Tidak sekolah (AUSTS). Menurut beliaaau salah satu penyebab anak tidak sekolah adalah karena berkebutuhan khusus, sementara tidak ada Sekolah Luar Biasa yang terjangkau. Yang terjadi sekarang satu kabupaten hanya memiliki satu SLB dan biasanya terletak di kota kabupaten. Bagi masyarakat yang bertempat tinggal di daerah yang jauh dari kota akan kesulitan menjangkaunya. Apalagi anak berkebutuhan khusus itu juga harus diantarjemput sehingga faktor ekonomi juga menambah kemungkinan tidak terjangkaunya SLB. Hal ini menambah jumlah AUSTS. Oleh karenanya menurut Pak Indri peru diseenggarakan Sekolah Inklusi di tempat-tempat yang warganya terdapat Anak Berkebutuhan Khusus, setidaknhya di setiap kecamatan perlu ada sekolah inklusi di setiap jenjang pendidikan formal, setidaknya SD dan SMP.

Namun salah satu peserta workshop tidak menyepakati hal tersebut. Pak Agustinus Indradi salah seorang peserta yang merupakan seorang pengawas SD menyampaikan pendapatnya:” Memang sekolah inklusi akan membuat anak anak yang berkebutuhan khusus bisa sekolah dan itu mengurangi angka AUSTS, tetap bagi sekolah penyelenggaranya efeknya banyak sekali. Prestasi sekolah akan sangat menurun. Salah satu SD penyelenggara di Kecamatan Kaligondang selalu mendapatkan rangking terakhir perolehan nilai UN di kecamatannya. Belum lagi masalah pembelajaran di kelas. Guru yang mengajar tidak memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menangani ABK. Dari sisi pengeolaan sekolah juga tidak mudah”. Mendengar pendapat Pak Agustinus tersebut, saya sempat berbincang dengan peserta di sebelah saya , Pak Samin yang menjabat Kepala UPT Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di Kecamatan Kaligondang. Beliau membenarkan pendapat Pak Agustinus. Kecuali itu kami sepakat tentang sulitnya mengkondisikan pergaulan yang baik diantara para siswa . Alih alih mendapat tempat dan bisa dihargai teman-teman normalnya, kadang-kadang para ABK itu malah menjadi bahan ejekan. Guru tidak hanya harus memberi perhatian khusu terhadap para ABK tetapi yang lebih sulit adalah mengajarkan kepada anak-anak yang normal untuk bisa menerima ABK dalam pergaulannya. Bisa jadi anak-anak yang lain malah turun semangatnya karena iri terhadap perlakuan khusus untuk ABK. Jadisebaiknya dibangun lebih banyak SLB saja agar para ABK mendapatkan haknya akan pendidikan.

Workshop tidak memutuskan akan menempuh kebijakan menyelenggarakan inklusi sebanyak banyaknya atau mendirikan SLB. Pak Indriyanto menekankan bahwa pendirianinklusi itu tidak memakan biaya yang besar. Sekolah penyelenggara inklusi juga akan disediakan tenaga pembimbing khusus. Jika disetiapamatan ada sekolah inklusi tentu para ABK akan tertampung. Jumlah ABK kan tidak banyak, jika harus mendirikan SLB yang banyak akan memakan biaya besar.

Sepulang workshop saya masih kepikiran, sebaiknya mendirikan SLB atau menyelenggarakan inklusi saja ? Karena saya tidak cukup pengetahuan tentangitu, saya mencoba browsing. Dari http://digilib.unila.ac.id/7839/126/BAB%20II.pdf saya dapatkan bahwa pendidikan inklusi mengakomodasi semua siswa tanpa mempertimbangkan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik mereka dan kondisi lainnya. Ini berarti mencakup anak yang cacat dan berbakat, anak jalanan dan yang bekerja, anak dari penduduk terpencil dan nomadik (berpindah-pindah), anak dari kelompok minoritas bahasa, etnis atau budaya, dan anak dari kelompok atau wilayah yang termarjinalisasikan lainnya. Sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan sarana yang sangat efektif untuk memberantas diskriminasi, menciptakan masyarakat yang hangat relasinya, membangun masyarakat inklusi, dan mensukseskan pendidikan untuk semua.

Memang kalau kita membaca salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007.Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Pendidikan inklusi bertujuan untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak 19 berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran. Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 32 ayat 1 yang berbunyi setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat 2 yang berbunyi setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 5 ayat 1 yang berbunyi setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. UU nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 51 yang berbunyianak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

Sementara itu jika kita memenuhi kebutuhan ABK dengan mendirikan SLB, dapat melanggar hak mereka “diperlakukan secara non-diskriminatif”, dihargai pendapatnya dan hak untuk tetap berada dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Penyelenggaraan SLB akan menjadikan ABK menjadi ekslusif dan terasing dari masyarakatnya. Deklarasi Dunia Jomtien tentang Pendidikan untuk semua di Thailand pada tahun 1990, juga menyerukan tentang universalisasi akses dan mempromosikan kesetaraan. (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Dr.%20Sari%20Rudiyati,%20M.Pd./Materi%20Pendidikan%20Inklusi.pdf )

Sebelum menutup tulisan ini saya jadi ingat ucapan seorang kepala sekolah sebuah SMP yang menyelenggarakan sekolah inklusi ketika dikeluhi para gurunya: “Kita harus bersyukur, Tuhan hanya menugasi kita untuk mengajar mereka bukan menjadi orang tua mereka”. Jadi sebaiknya mendirikan SLB atau menyelenggarakan sekolah inklusi ?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kenyataan di lapangan, A K tidak hanya ada di kota, sementara SLB kebanyakan terletak di kota. Lalu bagaimana dengan nasib ABK di pedesaan dan tidak mampu menyekolahkan di SLB??? Sekolah inklusi menjadi salah satu solusi.

27 Nov
Balas

Mungkin memang hrs memperbanyak sekolah inklusi sekaligus memperbanyak tenaga pembimbing khusus

27 Nov

Ibu, saya mengalami hal serupa beberapa kali. Orientasi pada memaksimalkan pemberian kesempatan terhadap ABK bukan pencapaian perkembangan ABK yg terarah karena kacamata hitam yg saya punya, tanpa berbekal teori khusus. Jadi iya begitulah sebatas yg saya mampu. Saya menjadi bertanya pd diri sendiri "apa hasilnya sentuhan tangan bukan ahlinya?"

27 Nov
Balas

Harus didampingi tenaga pembimbing khusus Pak

27 Nov

Sementara mungkin Inklusi salah satu alternatifnya. Kalau di tiap kec. ada dan disiapkan pendampingnya mudah2 an dpt memberi ruang bagi mereka2 para ABK dan ortu yg kurang mampu.

27 Nov
Balas

Semoga terwujud, aamiin

01 Dec

Saya pernah menjadi terapis anak autis sdlama 8th, sungguh meleleh hati saya mendengar curhatan para bunda anak istimewa. Mereka bermimpi, andai ada tempat utk anaknya bersekilah yg tdk one on one......inklusi solusinya

27 Nov
Balas

Berarti benar kl Bappeda menyerukan sek inklusi sj

27 Nov



search

New Post