Dartini

Pengawas SMP di Dinas pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah....

Selengkapnya
Navigasi Web

IPS TANPA SIKAP SOSIAL

Menyadari pentingnya pembangunan karakter anak bangsa menjadi salah satu yang melatarbelakangi perubahan kurikulum. Ketika Kurikulum 2013 diluncurkan diharapkan terjadi perubahan pembelajaran yang akan dapat memperbaiki karakter bangsa Indonesia. Namun pembelajaran dengan segala aktifitas yang menjadi tugas guru dianggap sangat membebani guru. Sehingga muncullah banyak kritik terhadap kurikulum baru tersebut. Hasillnya pada tahun 2014 kurikulum baru ditunda pelaksanaannya dan dikaji ulang untuk disempurnakan. Hasilnya pada tahun 2016 terbitlah beberapa Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang pemberlakukan Kurikulum 2013 yang telah disempurnakan. Salah satu perubahannya guru mata pelajaran hanya melakukan penilaian sikap dengan memantua sikap siswa dalam pembelajaran yang kemudian jika ada sikap yang menonjol (baik positif maupun negatif) ditulis dalam jurnal. Catatan tersebut kemudian disetorkan kepada guru mata pelajaran PKn dan Pendidikan Agama untuk diolah menjadi nilai sikap.

Perubahan tersebut disambut gembira para guru yang sebelumnya merasa tugas untuk melakukan penilaian sikap, pengetahuan dan ketrampilan dengan berbagai tehniknya adalah beban berat. Saya sendiri juga melihat tugas guru tersebut amat membebani. Namun demikian ketika pengurangan tugas penilaian sikap tersebut juga berlaku bagi guru IPS, saya jadi berpendapat lain. Ini IPS, dari namannya saja sudah tersurat kata sosial. Apa kita harus berpikir bahwa IPS itu sekedar “ilmu pengetahuan” sosial ? Apa IPS tidak mempunyai tanggung jawab sosial atas apa yang terjadi di masyarakat `dan bangsa Indonesia? Padahal permasalahan sosial di Indonesia sebegitu banyaknya. Dan setiap pemecahan atas masalah sosial harus dilalui dengan “kearifan” bukan hanya dengan logika. Dan kearifan itu dimensi “sikap” sekali.

Mari kita kaji lebih dalam, Standar Kompetensi Lulusan jenjang SMP adalah :

Dimensi

Kualifikasi Kemampuan

Sikap

Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.

Pengetahuan

Memiliki pengetahuan faktual, konseptual, dan prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian yang tampak mata.

Keterampilan

Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sesuai dengan yang dipelajari disekolah dan sumber lain sejenis.

Standar Kompetensi Lulusan tersebut akan dicapai dengan tercapainya Kompetensi kompetensi inti yang dibebankan kepada semua mata pelajaran.

Sementara itu salah satu pertimbangan rasional perlunya pembelajaran IPS menurut Pedoman Mata Pelajaran Ips yang terbit tahun 2014 adalah “Saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi banyak tantangan dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam menghadapi tantangan tersebut dibutuhkan kekuatan diri dari masing-masing warga negara dan kekuatan kohesi sosial dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya. Kekuatan diri yang diharapkan adalah menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab (Depdiknas RI, 2003). Kohesi sosial yang dibutuhkan adalah kekuatan kebersamaan, komitmen, dan kearifan untuk bahu-membahu dalam membangun bangsa. Untuk menghadapi tantangan tersebut, bangsa Indonesia perlu memupuk nasionalisme budaya (cultural nationalism) yang berarti pengakuan terhadap budaya etnis yang beragam, yang lahir dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia. Setelah itu, perlu mengelola sumberdaya alam untuk menjamin kesejahteraan bangsanya berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan prinsip keadilan sosial, dan meningkatkan daya saing produk barang dan jasa, melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia sebagai subyek dalam persaingan tersebut. Dari semua tantangan tersebut, pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) mengambil peran untuk memberi pemahaman yang luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan, yaitu: (1) Memperkenalkan konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya; (2) Membekali kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial; (3) Memupuk komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan; dan (4) Membina kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, baik di tingkat local, nasional maupun global. Itulah ruang lingkup pelajaran IPS”.

Mengaitkan antara ketercapaian SKL dengan lingkup pelajaran IPS, kita akan melihat bagaimana peran mata pelajaran IPS untuk ikut serta membangun kohesi sosial dalam bentuk kebersamaan, komitmen dan kearifan dalam membangun bangsa. Oleh karena itu salah satu yang dipelajari dalam IPS adalah memupuk komitmen dan kesadaran terhadap nilai nilai sosial dan kemanusiaan. Keadaan tersebut merupakan dimensi sikap. Jika kemudian dalam pembelajaran guru IPS tidak dibebani dengan penilaian sikap (hanya mencatat dalam jurnal), maka guru tidak akan mengembangkan IPK untuk ranah sikap. Dan tanpa IPK ranah sikap, maka guru pun tidak mengembangkan dalam pembelajaran. Jika demikian yang terjadi bagaimana IPS dapat memupuk komitmen dan kesadaran terhadap nilai nilai sosial ?

Yang kemudian harus dikhawatirkan adalah ketika pembelajaran IPS menjadi kering akan makna karena materinya tergradasi menjadi sekedar pengetahuan. Pengetahuan pun kemudian dipersempit menjadi sekedar fakta, atau paling jauh ke konsep dan prosedur. Jika demikian yang terjadi maka pembelajaran tidak akan dapat ikut serta membangun kohesi sosial dalam bentuk kesatuan kebersamaan, komitmen dan kearifan untuk membangun bangsa. Pada saat IPS hanya pengetahuan akan ilmu sosial maka salah satu efek negatifnya ketika siswa sudah menguasai konsep konsep yang dipelajari kemudian malah memanfaatkan untuk kegiatan yang negatif. Metakognitifnya malah menjadikan ilmu yang dikuasai siswa menjadi inspirasi untuk bertindak kontraproduktif terhadap tujuan ikut serta membangun bangsa.

Kita belum lupa kasus seorang Gayus yang sangat menguasai ilmu tentang perpajakan dengan segala teknisnya, sehingga Gayus sangat mahir menyusun laporan perusahaan yang akan menjadi dasar dalam perhitungan pajak. Perhitungan itu akan menentukan besar kecilnya pajak yang dharus dibayar oleh perusahaan tersebut. Nah Gayus yang cerdas dan sangat berilmu itu kemudian mampu menyusun laporan yang tidak sesuai dengan yang seharusnya, agar perusahaan membayar pajak yang jumlahnya jauh lebih kecil dari seharusnya. Untuk pekerjaannya itu Gayus mendapatkan imbalan besar. Gayus tentu sangat menguasai ilmu perpajakan dengan baik, tapi barangkali guru yang mengajar tidak ditugasi untuk mengembangkan sikap sosial maka Gayus sama sekali tidak punya komitmen untuk membangun bangsa.

Tanpa bermaksud menambah beban guru IPS, tapi saya sangat prihatin dengan fenomena bahwa Mata Pelajaran IPS tidak dibebani dengan penilaian sikap sosial. Dampak pertama yang terjadi guru IPS tidak akan menyusun indikator pencapaian kompetensi untuk ranah sikap sosial (KI 2). Karena tidak menyusun IPK untuk KI 2, maka guru pun tidak mengembangkan pembelajaran yang menekankan pembentukan sikap sosial. Dan itu tragis.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Setuju Ibu Pengawas...kadangkala urusan akhlak atau sikap malah dianggap tanggung jawab guru mata pelajaran ttt sj..bahkan ada ortu yg menganggap akhlak adl urusan guru...sdgkn guru menganggap itu urusan ortu...

29 Dec
Balas

Bagus sekali Ibu... Memang tidak mudah guru mengubah perilaku siswa, kadang hal positif lebih sulit ditiru daripada hal negatif...

27 Dec
Balas

Terimakasih sdh pinarak

28 Dec



search

New Post