Dartini

Pengawas SMP di Dinas pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah....

Selengkapnya
Navigasi Web

KANGKUNG DI DASAR HOTEL

Adalah berita membanggakan ketika koran menulis tentang Hotel Braling Grand Hotel akan mulai beroperasi di April 2019. Sebagai warga Purbalingga, saya ikut bangga, membayangkan kota tercinta akan memiliki hotel yang berkualitas bagus. Namun baru sehari sebelumnya saya begitu terketuk dengan penuturan seorang nenek penjual sayuran yang tanaman kangkungnya tergilas buldozer yang membangun hotel tersebut.

Sebetulnya nenek nenek itu bukan pedagang sayuran yang layaknya pedagang. Dia tidak setiap hari datang kekantor kami. Kalau datang pun sudah siang sekitar jam 12.30an. Saya seringkali kalau bertemu setelah jamaah sholat dhuhur. Atau lebih siang lagi. Dia bawa satu atau dua kandi kecil yang kumal berisi sayuran yang belum tentu layak jual, terutama dari segi kemasan atau ukurannya. Jenis sayurannya pun tak tentu. Kadang kangkung, kadang genjer, kadang kembang turi. Pernah juga dia bawa pisang cangkel beberapa sisir. Saya ingat ketika pertama bertemu, dia bawa bunga turi beberapa plastik dan kangkung beberapa ikat. Dia tawarkan ke siapapun ibu ibu yang melewatinya. Dia hanya berdiri dengan punggung tongkoknya di selasar ruang ruang yang ada di kantor kami. “Bu kembang turi bu... monggo dipunduti” katanya dengan basa Jawa banyumasan yang medok. Sambil memegang satu plastik kembang turi yang dimaksud, saya tanya :”Pinten regine niki ?”. “Laah mpun monggo bade dibayar pinten” begitu jawabnya. Bukankah harusnya seorang pedagang menyebut harga barang dagangannya dengan nominal yang jelas ? Itu yang membedakannya dengan pedagang. “Lho kepripun, mangke menawi namung kula bayar sewu mboten angsal !” jawab saya keheranan. Lanjutnya :”Mboten nopo nopo, sing penting kula saged nedi”. Oooh ini kuncinya, dia hanya butuh untuk makan, bukan untuk mengumpulkan kekayaan. Jadi dengan ikhlas dia tidak pasang harga, meskipun mungkin akan dibayar murah. Tapi karena keikhlasannya itu, saya jadi membayar Rp. 5.000,00. Padahal harga di pasar sekitar Rp. 2.000,00. Suatu saat, saya heran ketika saya pulang dari kunjungan sekolah ke kantor di kantor sudah ada beberapa sisir pisang cangkel (jenis pisang termurah di Purbalingga). Ternyata Pak Bambang teman saya yang membeli dari nenek nenek itu. Pak Bamabang juga heran, ketika diberi Rp. 20.000,00 ternyata diberikan semua pisang dagangannya, sampai sampai P Bambang yang menolak dan hanya mengambil beberapa sisir.

Setelah pengalaman pertama membeli kembang turi dagangannya itu, kalau membeli lagi saya dan umumnya orang orang di kantor saya memberi lebih dari harga wajar. Kami selalu sampaikan :”Niki mbah, kalih ngge nedi !” (Ini Mbah, sekalian untuk makan). Kalau sudah begitu, nanti dia berusaha menambah barang dagangan yang dia serahkan. Misalnya ketika saya beli seikat genjer, karena saya memberi lima atau sepulur ribu, nanti dia tambahkan kangkung atau bayam untuk dibawa sekalian. Tentu saja saya menolak karena tidak membutuhkannya. Saya tidak managemen apa yang membuatnya bertahan hidup. Perjalanan panjang yang dilalui dari kantor ke kantor hanya untuk bisa makan, dia tidak pernah meminta minta. Melihat barang dagangannya, tampaknya dia memetik langsung dari pohonnya. Bukan membeli di pasar. Kadang kangkung yang hanya sulur dia bawa juga. Atau daun ketela pohon yang jumlahnya hanya seikat kecil, dia bawa untuk ditambahkan ke pembeli.

Suatu ketika saya tidak bisa menghentikan doanya yang panjang, bahkan panjaaaang sekali. Dia mendoakan keselamatan saya, kesuksesan saya, tambahnya rezeki saya, kesehatan saya dan lain lain. Pasalnya hanya karena saya memberikan zakat kepadanya. Yaa zakat bukan infak. Karena hari itu saya ada rezeki di luar gaji saya, lalu ketemu si nenek. Saya langsung sisihkan zakat saya dan saya berikan kepadanya karena menurut saya si nenek sangat memenuhi syarat sebagai penerima zakat. Dia selalu ingin memberi, dia tidak mau menerima gratisan. Setidaknya dia beri doa yang tulus. Saya sampai terharu dan malu, saya hanya melakukan kewajiban saya bukan kebaikan di atas kewajiban.

Kemarin saya terkesima dengan ceritanya yang panjang. Ketika itu dia bawa genjer yang sudah ketuaan untuk ukuran sayuran, dan kangkung sulur yang mestinya tidak layak jual. Saya beli satu ikat genjer. Dia bercerita tentang tanaman kangkungnya yang sekarang sudah tidak ada karena dibuldozer untuk dibangun hotel di atasnya. Dia memang bukan pemilik tanah itu, dia hanya buruh tani yang menanami tanah milik orang lain. Tanah itu milik seorang pengusaha di Purbalingga. Mungkin karena kesibukan sang pengusaha, sang pemilik tidak memberitahu si nenek tentang tanah yang sudah dijual ke pengusaha pembangun hotel. Karena tidak tahu pengalihan hak itu, si nenek tetap menanami tanah itu. Sebagian ditanami padi dan sebagian kangkung. Katanya kangkungnya 10 kg. Saya tidak memperjelas apa sepuluh kilo bibit kangkung atau kangkung jadi. Untuk mengolah tanahnya dia sudah mengeluarkan biaya yang cukup besar. Ketika di buldozer dia menuntut gantirugi dan sudah disanggupi, tapi belum juga dibayarkan.

Ketika dia bercerita, katanya tanaman padinya mulai menguning. Tanaman itu juga akan dibuldoser. Dia bersikeras mempertahankan. Karena itu dia di panggil menghadap sang Bos dan jajarannya yang katanya ada 8 orang. Sementara si nenek hanya sendirian. Para Bos menawarinya ganti rugi, berapa yang dia minta. Tapi si nenek tidak mau. “kula mboten purun, terose bade nyuwun pinten juta mangga, tapi mboten mawon, kula namung nyuwun ampun didozer ngantos pantune panen. Wong kangkunge mawon dereng dibayar, kangkung 10 kilo bu..!” begitu ceritanya. “Arepa kula tiang bodo, kula wangtun mawon, kulo namung nyuwun kangkunge dibayar, pantune ampun didozer” sambungnya. “Seniki mpun dibayar napa dereng?” tanya saya. Jawabnya :”dereng ngantos sepriki”. Saya hanya bisa menjawab : “Nggih sing sabar, kadose anu dereng, sing penting pantune mboten sios didozer kan? mugi mugi ngenjang ngenjang dibayar”. Alhamdulillah tanaman padi tetap menunggu saat dipanen. Dan saya telah belajar banyak kearifan dari si nenek.

Catatan :

“Bu kembang turi bu... monggo dipunduti” (Bu bunga turi bu... silakan dibeli)

”Pinten regine niki ? (Berapa harganya ini?)

“Laah mpun monggo bade dibayar pinten” (Laah terserah mau dibayar berapa)

“Lho kepripun, mangke menawi namung kula bayar sewu mboten angsal !” (Lho bagaimana, nanti kalau saya bayar seribu tidak boleh!)

”Mboten nopo nopo, sing penting kula saged nedi” (tidak apa apa, yang saya bisa makan)

“kula mboten purun, terose bade nyuwun pinten juta mangga, tapi mboten mawon, kula namung nyuwun ampun didozer ngantos pantune panen. Wong kangkunge mawon dereng dibayar, kangkung 10 kilo bu..!” (saya tidak mau. Katanya mau minta berapa juta silakan, tapi tidak saja, saya hanya minta jangan dibuldozer sampai padinya panen. Kangkungnya saja belum dibayar, kangkung 10 kg bu)

“Arepa kula tiang bodo, kula wangtun mawon, kulo namung nyuwun kangkunge dibayar, pantune ampun didozer” (Walaupun saya orang bodoh, saya berani saja, saya hanya minta kangkungnya dibayar, padinya jangan dibuldozer)

“Seniki mpun dibayar napa dereng?” (sekarang sudah dibayar apa belum?)

“dereng ngantos sepriki”. (Belum sampai sekarang)

“Nggih sing sabar, kadose anu dereng, sing penting pantune mboten sios didozer kan? mugi mugi ngenjang ngenjang dibayar”. (Ya yang sabar, mungkin hanya belum, yang penting padinya tidak jadi dibuldozer kan? Semoga besok besok dibayar)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post