Darwis Kadir

Guru yang mencoba merangkai kata,untuk sebuah kalimat bermakna....!!! Bertugas pada daerah pelosok yang asri. PUJANANTING,apakah anda pernah mendengar tempat it...

Selengkapnya
Navigasi Web

Memancing ide

Sebenarnya aku mencoba memancing ide. Menggunakan kail kejenuhan.Untuk menulis sesuatu yang terkadang menarik. Menurutku. Tak semua ide yang ada menarik ketika sudah dalam narasi untuk dibaca setiap person. Ide-ide yang muncul nantinya berharap menjadi sebuah tulisan yang mengalir dengan sendirinya. Membentuk sebuah alur yang pada paragaraf terakhir menyimpulkan sesuatu. Interpretasinya juga akan berlainan walau tak dinafikkan ada persamaan.

Ide liar terkadang muncul yang menuntut untuk dituliskan. Bisa dengan kata kunci dalam catatan di kertas atau note hp yang kemudian dikembangkan dilain waktu. Memangnya hari ini masih gunakan kertas ?.Terkadang ide muncul dalam suasana mengendarai motor. Pernah juga ketika di wc dalam aktivitas buang air. Rangkaian ide itu bisa membentuk satu esai bila dituliskan. Namun sayangnya ketika keluar dari kamar plong itu,semuanya seperti raib. Menyisakan potongan yang saling menyalip. Entah yang mana pembuka dan yang mana terakhir. Yang bisa dituliskan detail hanyalah proses buang air itu. Mulai dari rasa kebelet sampai pada bla...bla...bla…..

Jika kesulitan melanda mana awal mana akhir,maka ide-ide tersebut harus merelakan dirinya terkubur,tergantikan ide lain yang menyeruak. Sumbernya dari penglihatan,pendengaran bahkan perdebatan kecil yang mengarah ke pertengkaran. Sampai aksi tutup mulut beberapa menit,beberapa jam,beberapa hari,beberapa bulan,beberapa tahun. Berlaku untuk pasangan hidup dengan anggota keluarga lainnya di rumah. Bahkan ketika ditempat tidur pun bersama pasangan,ada ide muncul. Ide liar,bersama pasangan anda,kemudian membayangkan artis itu. Ha.ha...jangan sampai. Jika istri anda pembaca pikiran yang baik. Tunggulah panci dadar menimpuk kepala. Untuk beberapa bulan dan beberapa tahun aksi tutup mulut sebagai sumber ide sepertinya belum pernah aku jalani. Panci dadar pun belum berani menyentuh kepala ini.

Faktanya memang ide-ide itu muncul berkat peran indera yang kita miliki.Kemampuan menangkap dan memenjarakannya agar tak menguap. Memprosesnya bermula dari otak kemudian memerintahkan tangan untuk menuliskannya. Sampai disini pikiran untuk menyambungkan kalimat ini sepertinya mandek. Buntu. Jika demikian otomatis tulisan ini akan berhenti. Benarkah berhenti ? Kalau benar,maka tulisan ini akan disudahi dengan tanda baca titik.

Buntu pada akhirnya coba disiasati dengan memecah kebuntuan itu sendiri. Ragam caranya berbeda dari masing-masing orang. Tingkat keberhasilannya pun bervariasi tergantung usaha. Ada yang kemudian jeda sesaat dengan sebatang rokok ditemani kopi hitam. Ada juga yang menyiasati dengan jalan-jalan keluar. Melemaskan otot-ototnya sembari dengan gerakan mematah-matahkan leher. Atau mengambil sepeda goes ke bukit-bukit dan jalanan setapak. Dan ide lain pun muncul menagih untuk dibuatkan narasi. Tulisan lama tak kelar kemudian menggarap tulisan baru. Syukur-syukur tulisan singkat berupa puisi bisa tercipta.

Sepertinya ini pekerjaan yang dianggap menyita waktu. Orangnya tak memiliki komitmen dalam menyelesaikan pekerjaan secara terstruktur. "To de namapella tanruna". Aku kesulitan mengartikan peribahasa Bugis ini. Mungkin kurang lebihnya seperti ini. "Orang yang tidak memiliki semangat dalam mengerjakan pekerjaannya saat itu juga. Belum selesai sudah berpindah ke lain hati". Konteks peribahasa Bugis ini tidak merujuk pada type laki-laki yang belum selesai dengan perempuan/istrinya kemudin beralih pada perempuan lain. Apalagi terlintas niatnya untuk menambah istri.

Lebih fantastik ketika niat itu diimplementasikan dengan tindakan nyata dengan ijab kabul. Dan anda resmi menyandang status lelaki yang berpoligami. Istri anda sebagai madu. Madu yang manis tapi bisa saja pahit rasanya bagi yang diduakan. Pahit terasa pahit. Bedakan dengan obat yang rasanya pahit namun dibaliknya ada efek menyembuhkan. Dengan kerelaan hati meminumnya dengan balasan kesembuhan.

Aku terkadang senyum geli atas ulah mereka yang berani memplesetkan kata BUGIS. Kepanjangannya katanya Banyak Uang Ganti Istri. Muncul tanya,apa yang tidak banyak uang tidak berhak ganti istri ?. Kenapa harus ganti istri ? Tambah istri misalnya. Apa tidak sebaiknya diberdayakan dalam arti luas. Semisal tolong menolong dalam kebaikan. Anda penganut prinsip satu saja sudah luar biasa,apalagi menambah. Akan dampaknya menjadi luar binasa. Untuk prinsip satu saja repot apalagi menambah, ini kita sepakat. Sangat sepakat malah.Manusia Bugis itu setia. Perlu kajian lebih dalam. Ini statement pribadi.Bagaimana sosok BJ.Habibie yang mewarisi darah Bugis dari mendiang ayahnya. Memilih setia dengan satu wanita Jawa sampai akhir hayatnya.

Kisah cinta yang romantis dan penuh lika liku menarik untuk difilmkan. Hingga rumah produksi MD pictures dan sutradara Faozan Risal mengangkat memoar itu ke layar lebar. Dengan produser trah Punjabi berdarah India itu. Patung cinta mereka pun dibangun di kota kelahiran Mr. CRACK. Julukan untuk penemuannya mengatasi retak yang kerap timbul di sayap pesawat. Berdiri ditengah kota Pare-Pare sebelah utara Makassar. Monumen cinta Habibie Ainun itu bukti kecintaan pemerintah dan warga kota Pare-Pare atas jalinan cinta mereka.

Selain itu,Jusuf Kalla seorang borjuis dari bumi Aru Palakka juga memilih setia dengan wanita Padang. Kini konglomerat.Hanya satu wanita dalam hidupnya yang mulai sepuh. Lika liku pak JK untuk menikahi wanita Minang itu tidak kalah serunya. Kegigihan mengejar pujaan hatinya sampai mendapat restu dari orang tua sang perempuan. Hj. Mufidah Kalla sukses membina hubungan rumah tangga lintas suku. Perpaduan Bugis-Minang bisa menjadi sekuel dan kelak menarik untuk dibuatkan film. Keluarga Punjabi atau rumah produksi lain mungkin sudah memikirkan ini.

Ada hal menarik dengan pembesar negara di tanah Bugis dan Makassar. Selain tentang kesetiaan dengan seorang wanita. Yakni beberapa dari mereka melakukan pernikahan lintas suku. BJ. Habibie, Muh.Yusup Kalla. Nama lain seperti jenderal Muh Jusuf,kelahiran Kajuara,Bone yang pernah menjabat menhankam/pangab di era Soeharto. Jenderal yang melepaskan gelar bangsawannya. Menikahi gadis Jawa dan gadis keturunan Bugis-Manado.

Monumen dan kisah mereka,merupakan miniatur tentang kebhinnekaan kita. Berlatar suku berbeda bukan halangan dalam penyatuan. Ketika dikembangkan lebih jauh,kebhinnekaan ini adalah alat pemersatu,perekat bangsa. Menjaga dari bahaya disintegrasi. Perbedaan yang ada sebuah kewajaran. Menjalankan perbedaan masing-masing dengan bingkai toleransi.

Kearifan lokal turut memberi warna atas kemajemukan yang ada. Sebagai sumber aturan yang dijalankan masyarakat. Kearifan lokal mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Gotong royong,kesabaran dan hasrat hidup yang berkemajuan.

Sepertinya tulisan ini sudah menemukan akhirnya. Ide ini sudah mangkrak. Oleh sesuatu dead line yang mengharuskan selesai. Apa lagi dengan peringatan nama nama instansi yang diberi warna kuning. Warning…! Untuk menyudahi coretan ngalor,ngidul,ngetan,ngulon. Tak berujung pangkal. Tegae cappa,tegae ulu, aku mencari tanda titik.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

menarik, menulis menjadi seperti air mengalir....mantap.

24 Jun
Balas



search

New Post