Kinan adalah bintang di kedai kopi kecil milik Bu Sinta. Tangannya yang cekatan meracik kopi, senyumnya yang ramah, dan telinga yang sabar mendengar cerita pelanggan membuat kedai itu jadi ramai. Padahal, sebelum Kinan datang, kedai itu sepi pengunjung. Semua pelanggan tahu, Kinan adalah lulusan terbaik di sekolahnya, tetapi tak ada yang tahu mengapa dia tidak melanjutkan kuliah. “Aku harus membantu keluargaku dulu,” jawabnya singkat setiap kali ditanya. Namun, sorot matanya selalu terlihat penuh mimpi.

Bulan Agustus itu, Bu Sinta mengumumkan kabar yang membuat semua orang bertepuk tangan. Sebagai bentuk syukur memperingati hari kemerdekaan, ia memberikan hadiah istimewa, beasiswa penuh untuk kuliah. “Kinan, beasiswa ini untukmu. Kau pantas mendapatkannya,” ujar Bu Sinta, membuat Kinan hampir menjatuhkan cangkir yang dipegangnya. Sorak-sorai memenuhi ruangan, dan air mata bahagia mengalir di pipi Kinan. Di luar jam kuliah, Kinan tetap diizinkan bekerja di kedai kopi, menjaga hubungan yang sudah ia bangun dengan para pelanggan.

Beberapa bulan berlalu, kedai kopi makin ramai, tetapi ada yang berubah. Para pelanggan sering melihat Bu Sinta termenung di sudut kedai. Suatu hari, seorang pria muda masuk, membawa amplop besar berisi dokumen. “Bu Sinta, utang ini belum lunas, dan bunga terus berjalan,” katanya. Pelanggan yang mendengar langsung menoleh. Mereka baru tahu, beasiswa itu diberikan dengan menggadaikan rumah Bu Sinta. Kinan yang kebetulan mendengar terdiam. Ia kini mengerti, mimpi yang ia jalani, ternyata ada harga besar yang ditanggung di baliknya.