BELANTARA OPINI
Sering terjadi perang pemikiran yang bila ditelusuri penyebab utamanya hanyalah ketidakmampuan menerima argumen orang lain yang melihat dari sudut pandang yang berbeda. Kita sering terjebak pada asumsi bahwa kebenaran apapun sifatnya itu satu, tunggal, mutlak dan tidak dapat dibantah. Oleh karena itu upaya untuk menemukan kebenaran sering menjadi kompetensi yang justru melahirkan pertikaian intelektual dalam memaparkan teori pendukung. Akibatnya, esensi kebenaran yang dicari sebenarnya tidak pernah ada, yang ada hanya ego seseorang terhadap kebenaran yang diyakininya.
Objek apapun di dunia ini tidak pernah diberi kesempatan untuk berbicara dirinya sendiri. Definisi apapun yang melekat pada sesuatu selalu dipengaruhi oleh pemikiran manusia dalam mentafsirkan. Mulai dari hal yang sederhana sampai hal yang kompleks tidak pernah lepas dari intervensi pemikirannya manusia. Bahkan “keberadaan tuhan” pun yang bukan wilayah nalar manusia coba diupayakan untuk dijelaskan.
Pertanyaannya, bukankah manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang mungkin untuk mentafsirkan ayat-ayat kauniah? Jika demikian, suatu hal yang wajar bukan, semua objek yang ada di muka bumi ini ditafsirkan manusia? Soal tuhan pun perlu ditafsirkan bukan untuk menambah keyakinan kita terhadap keberadaanNya? Dan tuhan pun mendukung melalui perintah pertama, “Iqra” bacalah, ayat-ayat sekitar yang salah satunya adalah ayat kauniah? Secara tidak langsung tuhan menyuruh; bacalah, telaahlah, telitilah, tafsirkanlah. Lalu, dimana kesalahannya?
Sudah menjadi fitrahnya manusia memiliki kuriositi (rasa ingin tahu) terhadap sesuatu. Namun keingintahuan tersebut terkadang kita bunuh baik oleh peran orangtua yang salah dalam mendidik. Bahkan untuk bertanya pun terkadang kita tidak berani bukan? Padahal cuman sekadar bertanya. Ya, mempertanyakan segala sesuatu sah-sah saja kan? Tapi kita sering diintimidasi dan ditakut-takuti akan keimanan kita yang bisa goyah, pikiran yang kacau atau keluar dari stigma agama.
Akhirnya yang terjadi, rasa ingin tahu kita dibunuh habis-habisan dan untuk mempertahankan diri kita masuk ke wilayah zona aman. Zona dimana hanya meyakini kebenaran umum tanpa pernah memikirkan esensi di dalamnya. Disinilah letak permasalahan sesungguhnya. Sebenarnya ketika kita berpendapat, hal yang keluar bukanlah diri kita, tapi inilah kata guruku, kata ustadzku, kata ibuku atau kata bapakku.
Dan bila kondisi sudah demikian, kita sudah masuk di kehidupan belantara opini. Argumen apapun anda tentang sesuatu, hanyalah kumpulan berbagai opini yang anda rekonstruksi dan representasi menurut kontruksi berfikir Anda bukan? Anda terlalu takut untuk menyuarakan diri anda sendiri.
Terlihat gagah dan lantang jika bersuara membawa-bawa tokoh sebagai label atau cap atas argumen kita. Tapi gagap dan gugup untuk memberikan point of view terhadap objek tersebut. Bahwa teori perlu kita jadikan landasan agar kita tidak napak tilas, ya harus kita lakukan, tapi taqlid buta terhadap teori menyebabkan ilmu pengetahuan tidak akan pernah berkembang. Selamat menyelami kehidupan di belantara opini dan untuk keluar, beranilah mempertanyakan jawaban!
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap pak
Terimakasih bu apresiasinya.