DISKURSUS SEKOLAH DAN BAHASA APA KABAR?
Keberhasilan sekolah sebagai implementator memanusiakan manusia tidak hanya dilihat dari data statistik tentang pencapaian prestasi sekolah. Akan tetapi semiotik sosial peserta didik yang sifatnya kualitatif harus mampu dibaca oleh sekolah dengan baik. Asumsi yang dihasilkan haruslah pro terhadap nilai-nilai kemanusiaan bukan sebatas menghasilkan generasi penghafal segudang teori dan rumus.Selama ini, analisa terhadap problematika sekolah (apapun jenis persoalannya) selalu berkiblat terhadap data-data kuantitatif yang dimiliki sekolah tersebut. Bahwa hal tersebut juga bagian dari metodelogi penelitian, dapat diterima, tapi satu hal yang lepas dari diskursus publik adalah objek pendidikan itu adalah manusia.
Pelaksana dan sasaran dari pendidikan itu manusia. Manusia bisa berubah dengan segala macam perubahannya. Tidak statis tapi dinamis. Jangankan dalam kurun waktu tertentu, sepersekian detik saja manusia bisa saja berubah. Kalau kesadaran tersebut mengakar pada setiap analisa persoalan, maka pendidikam setiap semesternya akan selalu mengalami pembahaharuan di setiap sekolah.Bukan hanya penggunaan metode pembelajaran yang aktif dan kreatif, melainkan juga dari sisi pendekatan intensif terhadap siswa yang nakal, penanganan siswa brokenhome, persoalan ekonomi siswa, kualitas guru mengajar, penilaian, maupun kasus kenakalan siswanya. Ironinya melakukan pendekatan demikian, terlalu melelahkan, katanya. Hal yang paling mudah ya menyalahkan kurikulum. Kurikulum sering kali dijadikan kambing hitam untuk tidak melakukan pembaharuan. Perangkat pembelajaran dan birokrasi kerap kali jadi alasan untuk tidak meningkatkan kualitas pendidikan. Apapun itu alibinya. Kita malah berputar-putar terus di keluh kesah berbicara gaji, ruwetnya penilaian, kasus pacaran, tawuran, sarana-prasarana atau tata aturan. Memang hal tersebut bagian dari masalah dan tidak bisa dihindari. Tapi mau sampai kapan kita diskusinya mengenai itu-itu saja? Kenapa tidak pernah selesai karena kita tidak pernah serius ‘tuk menyelesaikannya. Orientasi kita masih materi. Kesadaran pelaksana pendidikan harus dimiliki dengan benar dan dalam.
Tuhan tidak pernah membiarkan hambaNya kesusahan bila hambaNya profesional dalam mengemban kewajibannya. Apalagi ranahnya pendidikan yang jadi salah satu parameter kemajuan manusia. Tidakkah bangga akan hal tersebut? Hak merubah manusia memang hak prerogratifnya tuhan tapi menjadi wakil pilihan tuhan untuk memanusiakan manusia itu bentuk kasih sayang tuhan terhadap hambaNya. Yakin! Sekolah harus berani melakukan pendekatan secara kualitatif. Ruangan kelas harus dipenuhi rasa menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Tidak lagi mencetak manusia robot pemenuhan kebutuhan industri. Hilangkan dogmatisasi dan doktrinisasi terhadap siswa bahwa dunia itu butuh orang bertipe A, berkemampuan B, berdaya pikir C, dan seterusnya. Seolah mereka harus mengikuti perubahan jaman. Padahal harusnya mereka dimotivasi untuk bisa merubah dunia bukan mereka yang dirubah dunia. Sekolah jangan hanya berorientasi komoditas pasar dan kerja semata. Produk yang dihasilkan hanyalah manusia-manusia robot yang sudah tersetting. Berangkat pagi, kerja sampai sore, pulang malam, istirahat, begitu seterusnya.Sekolah jangan jadi sarang feodal yang mana didalamnya ada strata-strata. Secara profesionalitas, mungkin iya, tapi secara pelaksanaan perhatikanlah bahwa kita semuanya manusia.
Timbul pertanyaan. Lantas, apa yang menjadi problematikan pendidikan secara kesuluruhan? Yes, sekali lagi dan lagi mengingatkan persoalan pendidikan adalah paradigma pendidikan. Mari kita bicara soal paradigma pendidikan secara mendalam. Apa yang pertama kali ada di pikiran kita saat mendengar kata “pendidikan”? Semuanya pasti mengarah ke sekolah. Orang dikatakan berpendidikan apabila dia telah sekolah. Inilah akar masalah sesungguhnya. Well, tidak ada yang salah dengan sekolahnya tapi cara pandang kita terhadap sekolah. Kalau definisi pendidikan hanyalah sekolah, maka bagaimana mereka yang tidak mengenyam sekolah apalagi bangku kuliah? Apakah mereka dikatakan tidak berkependidikan? Sekolah mungkin bagian dari pendidikan tapi menjadikan sekolah sebagai satu-satunya parameter pendidikan, rasa-rasanya kita telah terjebak pada legitimasi sekolah. Misalnya, sehebat apapun kemampuan anda dalam hal yang anda kuasai, anda tidak akan pernah dianggap apabila tidak memiliki ijazah. Sebaliknya, sebodoh apapun anda apabila telah mengenyam sekolah bahkan kuliah sampai S3, anda akan dicap orang berpendidikan. Apakah ijazah lebih penting dari keterampilan? Bukan pula salah ijazahnya. Sekolah mengeluarkan ijazah sebagai hasil dari bentuk evaluasi terhadap siswanya selama menempuh proses pembelajaran. Tapi kita terjebak pada pola pikir bahwa ijazah adalah segalanya. Hal ini juga didukung oleh lamaran-lamaran pekerjaan yang mencantumkan minimun pendidikan pelamar bahkan nilai minimal mata pelajaran tertentu. Akhirnya orang jadi beropini bahwa ijazah adalah indikator utama dalam bekerja. Harusnya kita berfikir bahwa terampil-tidaknya kita, pasti kita akan mendapatkan ijazah. Namun bila orientasinya hanya mendapatkan ijazah, belum tentu kita terampil. Dalam hal ini ini sekolah jadi memiliki citra dan legitimasi bahwa kita tidak akan pernah bisa menempuh kesuksesan tanpa sekolah. Legitimasi tersebut bukan secara langsung datang dari sekolah tapi justru lahir atas dasar persepsi orang tentang ijazah. Sekolah itu yang penting dapat ijazah dan nilai besar yang didapat dengan cara apapun, selesai. Kita harus memiliki paradigma bahwa pendidikan itu belajar. Cukup dan sederhana. Orang tua harusnya khawatir anaknya tidak belajar. Namun ironinya, orangtua justru lebih khawatir anaknya tidak sekolah daripada tidak belajar. Apakah ada jaminan di sekolah anaknya belajar? Bukankah para orangtua mengunjungi sekolah apabila hanya ada panggilan dari guru BP? Guru, orangtua, dan masyarakat harus saling bersinergi membentuk manusia yang gemar belajar. Belajar tidak selalu identik dengan buku dan mengerjakan soal-soal. Beri siswa akses untuk mengenal lingkungannya seperti bagaimana birokrasi desa, sistem pertanian, perhitungan di dan lapangan. Kenalkan mereka pada alam seperti hujan, sungai dan hutan. Apabila pendidikan berorentasi pada belajar, tidak hanya siswanya tapi juga guru, kepala sekolah, TU dan seluruh komponen yang terlinat dalam membentuk generasi muda baik itu orang tua, aparatur negara maupun tokoh masyarakat, maka kita akan menciptakan jaman bukan malah mengikuti jaman. Tidak ada kata terlambat selagi kita semuanya mau belajar. Ciptakan sebuah pembelajaran yang kondusif, kreatif dan mampu melatih kecakapan berfikir. Pembelajaran kondusif tidak hanya sekadar siswa berada di dalam kelas, mencatat dan mengerjakan tugas. Tanpa ada tindak lanjut apakah siswa berfikir atau tidak. Kita selalu terjebak bahwa pembelajaran kreatif adalah yang siswanya sorak sorai dengan instruksi kita. Sekali lagi, tanpa memastikan siswanya berfikir atau tidak.Kreatifitas bisa dimulai dengan kreatif dalam berfikir, membuat skenario pembelajaran yang melatih siswa berfikir holistik maupun sistematis.
Bagaimana dengan pembelaajran bahasa? Pada mata pelajaran bahasa Indonesia, pendekatan bahasa bisa dilalui dengan 3 pendekatan yaitu sebagai alat komunikasi, alat berfikir kritis maupun alat kreatifitas. Tinggal pilih dan sketsakan lalu sesuaikan dengan kondisi kelas.
Bahasa sebagai alat komunikasi adalah definisi yang tidak diperdebatkan lagi. Kendatipun pengertian ini lebih memandang bahasa dari segi fungsinya dan bukan hakikatnya, adalah hal yang wajar karena timbulnya bahasa ke permukaan lebih banyak digunakan sebagai sarana komunikasi. Namun bahasa sebagai komunikasi, bukanlah teori final mengenai bahasa. Sifat bahasa yang dinamis akan selalu memunculkan fenomena-fenomena bahasa yang baru. Oleh karena itu, teori mengenai bahasa kadang kala sifatnya interlokal yang artinya tidak bisa dijadi tolak ukur untuk menjelaskan fenomena di lokal yang lainnya. Pun dengan hasil penelitian. Umumnya kesimpulan dari penelitian bahasa yang sifatnya lokal ataupun intersubjektivitas, tidak bisa dijadikan indikator di lokal yang lainnya pula. Kalau definisi bahasa lebih dominan terhadap fungsi bahasa itu sendiri sebagai alat komunikasi, maka seyogyanya bahasa dipelajari secara serius. Segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia pasti melakukan komunikasi dengan sesamanya. Baik secara langsung ataupun tidak, interaksi tetap terjadi. Bahkan bukan hanya interaksi dengan sesama, interaksi dengan dirinya sendiri pun, alatnya bahasa. Aktivitas intropeksi diri, menyusun rencana hidup, memandang segala peristiwa adalah beberapa contoh interaksi dengan dirinya sendiri. Pembelajaran bahasa harus mampu menghasilkan manusia yang proporsional dalam menggunakan bahasa. Bukan manusia yang tidah tahu tempat, tidak tahu waktu kapan dia bilang A, berpendapat B, atau menyuarakan C. Saya pikir sering terjadi konflik akhir-akhir ini karena orang tidak bisa menempatkan porsi bicaranya. Baik itu sifatnya tulisan maupun lisan, orang lebih mentingkan rasa ingin menunjukkan “siapa saya” kepada lawan bicaranya. Akhirnya yang timbul kesalahpahaman. Nasihat dan petuah yang bagus pun, bila tidak disampaikan tidak pada tempat dan waktunya pun tidak tepat, maka hanya menghasilkan problematika baru. Disinilah pentingnya pembelajaran bahasa yang serius. Menghasilkan manusia yang terampil dalam berbahasa. Baik itu menyimak, berbicara, membaca dan menulis, pembelajaran bahasa harus mengoptimalkan keterampilan berbahasa tersebut. Seperti pendapat Tarigan bahwa tujuan akhir pembelajaran bahasa yaitu agar siswa terampil dalam keterampilan berbahasa. - Akan tetapi terjadi kontradiksi ketika paradigma pembelajaran bahasa dibentrokan dengan pendidikan bahasa. Dalam kurikulum 2013, pembelajaran bahasa lebih didominasi pada aspek menganalisis sebuah teks. Ini berarti, pendidikan bahasa harus menjadikan bahasa sebagai alat untuk berfikir kritis. Bila menurut paradigm pembelajaran bahasa tujuannya terampil berbahasa, konflik sosial yang terjadi dilihat dari proporsionalnya seseornag dalam berbahasa, maka pandangan bahasa sebagai alat untuk berfikir kritis akan memandang kurangnya kemampuan berfikir kritis (critical thingking) seseorang. Ketika seseorang sudah kehilangan daya nalar dan kritisnya, maka mudah untuk diprovokasi, diadu domba, dikabari berita hoax ataupun disesatkan oleh suatu paham. Dan sebagai solusinya, bahasa harus dijadikan alat sebagai berfikir kritis. Bila merujuk kepada pendapatnya Zainurrahman dalam Bukunya “Menulis dari teori hingga praktik” bahwa hal tersebut bukanlah sebuah kontrakdiksi. Zainurahman berpendapat bahwa berfikir kritis (critical thingking) adalah keterampilan berbahasa lanjut sebelum literasi (literacy skill). Tapi pertanyaannya, apakah sudah saatnya bahasa dijadikan alat untuk berfikir kritis bila realita siswa kita saat ini kemampuan empat kerampilan berbahasa saja masih jauh dari harapan? Dan apabila dilanjutkan, apakah kurikulum 2013 pada materi bahasa Indonesia memerhatikan fakta ini? Pantas saja guru bahasa Indonesia selalu jadi kambing hitam pada setiap kejadian. Bila siswanya tidak tahu buku-buku ilmiah yang populer, guru bahasa Indonesia sasarannya. Jika kemampuan membacanya rendah, tidak mampu menulis berhalaman-halaman, tidak mengenal istilah-istilah ilmiah dalam pendidikan, sekali lagi guru bahasa Indonesia yang akan dibombardir dengan rentetan protes. Bila memandang dari segi kemajuan IPTEKS yang mana arus informasi sudah semekian cepatnya, maka saya setuju tentang asumsi bahwa siswa kita harus bisa kritis terhadap hal-hal sekitar. Tapi kita dihadapkan fakta di lapangan yang menunjukan kemampuan keterampilan berbahasa yang jauh dari harapan. Disinilah letak dilematika terhadap bahasa itu sendiri. Semoga sebagai guru bahasa kita bisa jadi lebih kreatif dalam mengajarkan. Bukan hanya terhadap penggunaan media kreatif dan interaktif yang digunakan, tapi apa yang diajarkan sudah sesuaikah dengan hal yang dihadapi oleh siswa.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap de....
Terimakasih Bu Ema apresiasinya.
Tajam! Kelak penulis ini akan jadi paulo freire cetakan Indonesia! Ditunggu tulisan selanjutnya De..
Aamiin. Terimakasih Mr. Apresiasinya.
Tulisan yang menarik, bahan kajian bagi guru bahasa khususnya. Hatur nuhun...!
Hatur nuhun Pak Iman apresiasina
Hatur nuhun Pak Iman apresiasina