KURIKULUM TEKNIS PENDIDIKAN INDONESIA
Pengaruhnya sangat jelas, kesadaran fanatislah yang muncul ke permukaan. Bila ada pemimpin yang dirasa tidak menghadirkan perubahan, solusinya hanyalah “ganti pemimpin”. Jika ganti pemimpin, seolah seluruh indikator permasalahan selesai. Lupa bahwa sistem masyarakat yang terbentuk variabelnya kompleks. Ada budaya, paradigma berfikir, sistem nilai yang terbentuk, orientasi hidup yang berbeda serta pro-kontranya masyarakat terhadap kebijakan. Itulah juga yang terjadi di dunia pendidikan. Setiap kali pergantian mentri pendidikan, setiap itu pula harapan lahir. Sebaliknya pula, acapkali pendidikan masih jauh dari harapan yang diinginkan, solusinya pula “ganti mentri” “ganti kepala dinas” ganti kepala sekolah” “ganti pengawas” Kesadaran yang muncul soal pendidikan haruslah kesadaran bersama. Orang tua terhadap anaknya, suami terhadap istrinya, pemimpin masyarakat terhadap lingkungannya dan sekolah terhadap siswanya. Upaya menumbuhkan pendidikan hanya bisa dihidupkan secara bersama. Tidak mungkin kita hanya menyerahkan pada pundak pemimpin belaka. Biarkan mereka berjihad dengan tanda tangannya. Kita harus mengemban tugas kita. Selagi kebijakan itu masih ada di koridor “berterima”, jalankan itu sebagai bentuk tanggungjawab kita atas instansi yang menaungi kita. Kritik itu harus hadir bila kita telah menjalankan kewajiban yang harus kita lakukan. Guru yang jarang masuk, memberi nilai alakadarnya, selalu absen rapat serta membisniskan apapun ke anak didiknya, tidak perlu mengkritik pendidikan. Fokuslah pembaikan atas dirimu sendiri. Kalau kita mau jujur, pendidikan saat ini selalu meributkan teknis yang begitu kaku. Apalagi masyarakat kita memiliki paradigma, “berpendidikan itu artinya bersekolah”. Sekolah memang salah satu unsur pendidikan, tapi menjadikan komponen sekolah sebagai satu-satunya alternatif pendidikan adalah hal yang salah. Hakikat pendidikan adaah belajar. Bukan hanya siswa, seluruh komponen harus memiliki pandangan bahwa pendidikan itu belajar. Belajar materi, belajar hidup dan kehidupan, belajar kemanusiaan. Semuanya harus memiliki pandangan ini. Kenapa? Kalau pendidikan tidak dimaknai sebagai proses belajar, hanya melahirkan manusia-manusia yang selalu menjadikan apapun bisnis. Ironinya orangtua lebih khawatir anaknya tidak belajar daripada sekolah. Kepastian belajar juga harus diawasi oleh berbagai pihak. Orangtua di rumah, guru di sekolah, serta tokoh masyarakat di lingkungannya. Saat ini ramai penggunaan media pembelajaran berbasis daring. Pro dan kontra selalu ada tentang sistem demikian. Tapi tahukah apa yang dibicarakan? Selalu seputar teknis. Orientasinya bukan lagi belajar, tapi menyibukan diri kalau sudah mengikuti sistem pembelajaran demikian, sudah dianggap belajar. Benarkah? Orang tua siswa lah yang harus mengawasi dan guru yang mengevaluasi. Sehebat apapun fasilitasi yang dimiliki, kalau tidak ada keinginan buat belajar, maka penyampaian materi hanya masuk telinga kana dan keluar telinga kiri. Sebaliknya, seminim apapun fasilitas, bila dia sudah ada hasrat untuk belajar, maka dia akan berusaha buat belajar semaksimal mungkin. Poinya tetap: belajar. Kemudian soal kebijakan. Begini, segenggam kekuasaan memang lebih efektif daripada segudang ilmu pengetahuan. Tegoklah RPP yang sebelumnya berlembar-lembar. Para guru sering berdebat, seminar, penyuluhan tentang ketidakefektifan RPP. Bahkan mahasiswa pendidikan pun sering berdebat di kelas. Tapi tanda tangan mas mestri, langsung merubah RPP menjadi selembar. Apakah hanya berterima saja prihal kebijakan yang sudah ada? Laksanakan saja terlebih dahulu kewajibannya baru kritisi. Bukan langsung mengkritisi sedangkan kewajibannya dilupakan. Untuk guru, jangan langsung dulu mengeluh. Mengajar online itu juga hakikatnya belajar juga. Belajar teknologi, belajar mengenal dunia kemudahan dengan teknologi. Para orang tua, jangan tetiba berkomentar “Guru makan gaji buta”. Main saja ke rumah guru, tanya apa yang dikerjakannya. Jika kalian lelah karena menyiapkan anaknya buat belajar online, guru pun demikian. Menyiapkan segala sesuatunya untuk mengajar. Mengapa kaget dengan belajar online? Bukankah fasilitas teknologi harusnya dimanfaatkan buat belajar? Mengapa baru sekarang rame “memanfaatkan” teknologi buat belajar? Orang mulai rame ingin menawarkan solusi, “pake ini loh belajar lebih efektif” Webinar dimana-mana yang menawarkan aplikasi tertentu. Bagus untuk pengembangan tapi jangan lupakan belajar itu maknanya apa. - Kalau secara hakiki belajar onlen adalah belajar dengan sarana memanfaatkan teknologi untuk mengakses ilmu pengetahuan, maka dari dulu gue udah belajar begitu. - “Lho kan pembelajaran itu dua arah?” - Makna pembelajaran memang harus dua arah tapi kita sering mengambinghitamkan “dua arah” untuk tidak belajar. Kalau ga ada guru, ga belajar. Kalau ga ada yang menjelaskan, ga belajar. Kalau ga ada interaksi, ga belajar. Berbagai bahan buat belajar itu saat ini bejibun di sekeliling kita. Tinggal mau atau tidak. - Butuh interaksi? Bisa datangin desa, naik angkot ngobrol dengan supir angkot, silaturahmi dengan dosen atau guru sambil diskusi santai. Belajar jangan diribetkan dan dimumetkan soal teknis. Sarana itu ada. Bahan bacaan itu tersedia. Wadah ilmu itu banyak. Tinggal kitanya, mau atau tidak. - Semua itu tersedia. Elu tinggal milih mau belajar apa. Tinggal susun stratgei belajaranya dan seriuskan. Sesederhana itu. Lagi, mau atau tidak? Segala hal yang disekeliling kita itu adalah ilmu. Manfaatkan itu sebaik-baiknya. - Kalau masih banyak kalimat sanggahan, ini yang jadi masalah pendidikan sebenarnya. Masalah pendidikan dari ujung A ke ujung B hanyalah 1. Bukan sarana. Bukan fasilitas. Bukan kurikulum. Bukan kebijakan. Masalah pendidikan yang urgensi adalah “gairah buat belajar” Kalau orang sudah ada gairah buat belajar, maka dia tidak akan mempermasalahkan soal teknis. Selagi masih bisa bernafas, dia akan tetap belajar. - Di islam misalnya para imam-imam kita dahulu, apa dimanjakan soal fasilitas? Tidak. Jauh? Mereka jalan kaki berhari-hari. Susah mengingat? Catat di pelepah kurma. Ada kabar sumber ilmu di negeri sebrang? Pindah tempat dan berguru di negeri tersebut. - Okelah kalau kita merasa membandingkan dengan para imam itu terlalu jauh, tapi minimal ada gairah ilmu itu untuk perubahan. Seminimal-minimalnya perubahan buat dirinya sendiri. Seriusi ilmu yang dipelajari dan belajar dengan fokus. - Lelah? Pasti. Ngantuk berat? Tentu. Kalau tidak siap dengan lelahnya belajar, ya harus siap dengan pahitnya kebodohan. Ini juga berlaku buat para gurunya. Belajar metode kreatif. Amalkan juga ilmu yang diajarkan. Jangan jadi batu asah, menajamkan siswa tapi dirinya tetap tumpul. - Mau belajar onlen kek, tradisional kek atau apalah itu namanya, miliki dulu “gairah dan haus akan ilmu” Kalau masih beralasan sibuk, sudah punya anak, banyak kegiatan atau apalah, ya berarti ga serius. Ingat, belajar itu bukan hanya buka buku dan baca. - Lagi di perjalanan, pasang headset dan buka kajian. Sedang bersama orang hebat, selipkan obrolan dan wawancara buat curi ilmunya. Lagi di grab, ajak obrol supirnya tentang pengalaman hidup yang bisa dipetik. Ilmu itu bisa dimanapun. Kuncinya, kita mau, kita serius dan kita resapkan dalam hidup
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar