LAGI, TENTANG LITERASI
Sebelum istilah “Resolusi 4.0” menjadi primadona tema diskusi baik di lingkup ilmiah maupun santai, “literasi” telah terlebih dahulu menjadi topik yang selalu digembar-gemborkan. Bahkan saat ini literasi masih terus disosialisasikan sebagai upaya menuju bangsa literat.
Makna literasi yang semula hanya diartikan sebagai aktivitas membaca dan menulis, kini memiliki makna yang amat luas. Istilah-istilah seperti literasi teknologi, literasi digital, literasi sekolah, literasi masyarakat atau literasi sosial adalah generalisasi dari makna literasi tersebut. Bahkan dalam bab pembahasan kemampuan berfikir, literasi disandingkan dengan kemampuan berfikir kritis (critical thingking).
Autentisitas literasi yang tak terelakan lagi adalah daya baca yang menurun. Hasil riset pun menunjukan apabila ada 1000 orang, maka hanya ada 1 orang yang memiliki daya baca tinggi. Terlepas dari apapun yang jadi bahan bacaan, diakui atau tidak, kemampuan baca kita dapat dikatakan mengkhawatirkan.
Padahal untuk menuju bangsa yang literat modal pertama yang harus dimiliki oleh suatu bangsa adalah daya baca yang tinggi dari masyarakatnya.
Jika demikian realitanya, pantaskah kita menggembar-gemborkan literasi dengan beragam istilahnya sedangkan masyarakat kita masih enggan untuk membaca? Ibarat hendak membangun sebuah rumah, kita sudah ramai membincangkan dekorasi atau hiasan rumah, sedangkan pondasi rumah itu belum dibangun sama sekali.
Nah, ini stressing penulis dalam memandang literasi. Jangan sampai kita rajin menyosialisasikan sesuatu tapi lepas dari substantifnya.
Hipotesis sederhanannya kalau suatu bangsa yang sudah melekat budaya bacanya, maka menuju bangsa literat amat mudah. Sebaliknya, jika kecintaan terhadap membaca masih rendah, maka soal literasi hanya jadi ajang debat kusir semata.
Mengapa kita sibuk berdebat tentang hal ini? Padahal perintah pertama yang turun itu bukan shalat, bukan zakat, bukan haji, bukan pula jihad, melainkan “Iqra” yang berarti “bacalah”
Buku yang membahas tentang literasi sudah banyak. Hasil riset dan jurnal pun bertebaran dimana-mana dengan variabel penelitiannya mengenai literasi. Kalau memang begitu, harusnya kita jadi bangsa yang literat, kritis dan memiliki daya nalar tinggi.
Akan tetapi yang terjadi justru malah kontradiktif. Literasi digembar-gemborkan tapi produsen hoax masih banyak. Jurnal literasi melimpah tapi daya kritis terhadap teori pengetahuan makin merosot.
Kita mengkritik media yang sudah tidak lagi netral dalam memberitakan sebuah warta, tapi kita sendiri enggan untuk memberikan tanggapan terhadap isi pemberitaan pada media. Bahkan kasus hoax sepertinya tidak akan pernah ada titik temunya.
Banyak tips, cara, strategi untuk menangkas hoax tapi tetap saja orang masih percaya akan sebuah kebohongan. Padahal kalau daya baca masyarakat itu tinggi, hoax secara sendirinya akan lenyap.
Sekali lagi, untuk menuju sebuah bangsa yang literat, mulailah dari membaca. Kita ahrsu candu akan baca. Kalau sudah untuk menemukan hobi baca, nasihat Mbak Najwa, carilah satu buku yang kau sukai dan bacalah sampai selesai. Bukankah perintah pertama itu baca? Bukankah banyak riset tentang manfaat dari membaca? Lalu, kapan kita untuk memulai membaca?
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar