MENGUAK CARA TAFSIR LAGU BALONKU ADA LIMA
Kalau ustadz memiliki perbedaan pendapat soal hadits, aku sih tidak ingin terlalu banyak komentar. Kendati tafsirnya kadang berbeda dengan yang aku pahami dan ikuti, aku tidak mau menilai. Bukan bidangku. Bukah ahliku. Tapi karena objek nya kali ini lirik lagu, sebagai mahasiswa bahasa dan sastra yang sedikit-banyaknya berkutat dengan lirik atau syair, boleh dong sedikit menanggapinya. Menyikapi Teks, Konteks dan Peristiwa Para penikmat epistemologi tentu paham betul bahwa memproduksi sebuah argumen saja ada pola dan alur berfikirnya. Apalagi dalam menafsirkan. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah menyumbangkan berbagai metode dan pendekatan berfikir. Pertanyaannya, apakah sebuah pendekatan berfikir bisa berlaku bagi segala jenis teks, konteks hingga peristiwa?
Lirik lagu balonku ditafsirkan melalui pendekatan teologis. Bolehkah? Secara metodologi sih boleh boleh saja. Asal bisa dijelaskan secara sistematis dan bisa diverifikasi ulang oleh yang membaca/mendengar, sah-sah saja. Namun masalahnya, tepat atau tidak. Seperti halnya berbicara kebenaran, hal yang diungkapkannya bisa saja benar, tapi jika situasi dan kondisinya tidak mendukung, hanya akan melahirkan konflik. Sama hal nya dengan kita menafsirkan sesuatu, cara pandang kita bisa saja diverifikasi tapi sesuai dengan konteks tidak, itu masalahnya.
Bukan hanya soal lagu balonku ada lima yang didekati secara teologis, saya pikir kita selama ini selalu menggunakan pendekatan teologis atau pendekatan agama dalam segala hal. Kita kadang salah menempatkan porsi dalam memandang sesuatu.
Loh bukankah seluruh aspek itu sudah di atur oleh agama?
Begini. Kita perlu sedikit membedakan suara iman dan suara akal. Soal iman, itu suara final. Tidak bisa diganggu gugat. Meski begitu bukan berarti akal dipandang sebelah mata. Akal harus tetap menurut apa kata iman tapi caranya yang juga harus kita perhatikan. Beriman tanpa akal pun hanya melahirkan sikap pragmatis, ga mau berjuang. Ogah berusaha. Malas memprediksi segala macam kemungkinan.
Contoh yang nyata adalah saat orang membahas ‘pacaran’ Hampir pendekatannya seluruhnya pendekatannya teologis. Pacaran itu haram, dosa, masuk neraka, taaruf saja, lebih diridhoi atau apalah.
Bahwa hal tersebut benar secara hukum, itu cukup diyakini oleh iman. Tapi akal harus melahirkan penafsiran dan interpretasi yang berbeda.
Kalau di depan ada lubang, lalu kita hanya diwanti-wanti, “jangan masuk ke dalam lubang”, kita cuman manut tanpa mengetahui alasannya. Cobalah membahas pacaran dari persepsi sosiakultural, proses komunikasi atau interaksi masyrakat di kalangan lawan-jenis yang baru “ABG”
Iman kita cukup meyakini itu salah. Tapi ga semua iman mereka sama seperti kita. Kalau cuman ditakut-takuti soal halal-haram, belum tentu semua bisa menerima. Itulah tugas kita. Menerjemahkan sesuatu hal sesuai dengan porsi dan nalar yang bisa mereka jangkau.
Asumsi ini bisa menjadi alasan kenapa unsur kebudayaan hal yang keluar pertama kali adalah bid’ah, kurafat, tahayul, mistis atau mitos. Kenapa? Pendekatan yang pertama kali keluar adalah pendekatan teologis. Contoh nyatanya adalah soal bakar kemenyan. Kita malas memverifikasi kapan itu mulai, mengapa, adakah negara lain yang sama begitu, atau kalau hanya dikita apa alasannya, dst.
Bahkan soal tiktok, faceApp, yang pertama kali muncul pun suaranya adalah suara teologis. Itu haram! Itu mengubah ciptaan! Itu ga sesuai sunah! Alhasil kita jadi mudah gegeran. Dikit-dikit haram. Dikit-dikit bi’dah. Dikit-dikit neraka. Dikit-dikit menyesatkan orang.
Saat kita melihat teman kita ga pake jilbab langsung suara yang muncul “Ingat, sehelai rambutmu yang terlihat mengantarkanmu ke neraka!” Cukup hal tersebut kita yakini dengan iman. Tugas kita menerjemahkannya. Lagi, soal iman itu soal final.
Syurga-neraka itu hak prerogatif tuhan. Saat kita berhubungan sosial, logika sosial juga harus jalan. Kita harus jeli kapan iman berbicara dan kapan logika juga harus bicara.
Soal lagu balonku hanyalah satu dari sekian yang dimana kita selalu suara teologis kita yang keluar. Jadi ingat kata Hasan Hanafi, “Bukan manusia untuk agama tapi agama untuk manusia” Agama harus bisa menuntun kita untuk berfikir rasional dan mendayagunakan akal. Bukankah pembeda manusia dengan makhluk lainnya hanyalah akalnya?
PR kita memang. Kita ga punya metodologi berfikir yang menjadi ciri khas bangsa kita sendiri. Mungkin Pancasila bisa kita jadikan alternatif sebagai falsafah atau metode berifikir khas kita. Ketimbang menghabiskan tenaga dan pikiran mengkontradiktifkan dengan sistem lainnya, kenapa kita ga berupaya menjadi pancasila sebagai falsafah dan metode berfikir khas bangsa ini.
Metode yang bisa dipegangi oleh beragamanya bangsa kita. Metode yang bisa digunakan tanpa berbicara latarbelakang agama, ras atau budaya
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
keren