NETIZEN SEBAGAI KONTROL SOSIAL DAN POLISI MORAL
Istilah netizen mulai jadi topik ketika orang-orang sudah memasukkan media sosial pada aspek kehidupannya. Galau dikit, update. Ada foto bagus dikit, posting. Siapa yang viral, kepoin. Apa yang jadi trending, ikutan bikin status. Gabut, scrolin beranda. Bahkan berantem pun, sudah di media sosial. - Apapun yang dilakukan, media sosial sudah menjadi bagian dari orang-orang saat ini. Fungsinya yang semula untuk memudahkan komunikasi jarak jauh dengan lebih enak, kini sudah menambah fungsi jadi ajang pamer dosa, pamer kebaikan, jualan, nunjukin eksistensi, nulis, nyari jodoh (kek gue meski ga dapet2), berantem, atau nyari barang buat dibeli. - Itu artinya, secara ga langsung orang-orang menjadikan media sosial sebagai indikator buat ngenilai orang lain. Betul? Mari kita bahas lebih lanjut. Cekibrot. - Gue ngerti bahwa media sosial gabisa dijadikan patokan ngenilai orang. Banyak kepalsuan dan kepura-puraan. Dimana kadang orang buat status pake emoticon ketawa padahal eprasaannya sedih, nulis wkwkwkwkwk padahal lagi nangis. Percis kek doi bilang sayang padahal ada hati lain yang dirindukan - Tapi apapun kesadaran itu, suka ga suka, mau ga mau kita kadang kita menilai orang dari apa yang dilakukannya di media sosial. Tiap kita melakukan pembukaan gibah, pasti sumbernya adalah status atau foto2 orang yang kita gibahi. Dan inilah faktanya. - Dulu orang sebelum ada media sosial bila ada masalah ya temuin langsung. Mau adu mulut, mau berantem sekali pun biasanya cukup selesai dalam sekali momen dan tidak melahirkan dendam yang berkepanjangan bila itu hal spele. Paling yang tahu cuman anggota masing-masing yang berantem tersebut. Namun di era kini, kalau elu ada masalah sama orang, siap2 aja. Foto elu di viralin, chatingan elu di posting. Bukan hanya keluarga elu dan dia doang yang tahu, bisa sekota bahkan seIndonesia. - Apalagi banyak akun2 gibah dengan jutaan follower yang memfasilitasi untuk memviralkannya. Kalau itu udah terjadi, siapin aja kolom komentar medsosmu buat menampung silaturahmi berbagai jenis netizen yang jangankan elu tahu muka, kenal namanya saja kagak. - Hal-hal tersebut disadari oleh mereka yang selalu eksis di medsos. Alhasil, untuk menghindari segala “penilaian” buruk dari netizen, orang mulai berhati2. Well, gue sih bisa aja bilang, ini media sosial bukan dinas sosial. Apa yang mau gue lakukan, ya itu terserah gue. - Tapi, gue juga ga bisa ngelarang orang lain buat menafsirkan dan menjudge dengan sumber dari status2 gue. Poin gue adalah elu bebas buat apapun dengan media sosial elu tapi orang lain juga bebas mengartikannya. Ketika itu sudah di posting kepada publik, itu juga artinya privasi elu sudah dipublikasikan. - Ini sebetulnya bumerang juga dari dampaknya kemudahan akses informasi. Mengapa? Udah jangan banyak tanya, lanjut aja bacanya. - Dulu sebelum akses informasi mudah, orang jika ingin mendapatkan pengetahuan bila tidak ada dana biasanya koreh2 mencari koran 1-2 hari yang lalu. Atau pinjem2 buku karena susahnya beli buku karena tidak ada uang. Intinya dulu kalau ingin belajar sesuatu, akses informasinya tidak semudah kek sekarang. - Lain dulu lain sekarang. Sekarang apa yang sedang terjadi di belahan dunia lain, saat ini juga bisa kita tahu. Mantan yang ga ada kabar pun tetiba bisa tahu dia ternyata udah gendong bayi tanpa ngundang sebelumnya huhuhu. - “Lho, bukankah itu bagus dong akses informasi kalau mudah? Kita bisa belajar banyak hal bukan?” - Ya, memang bagus kalau kita punya alat untuk menyaringnya. Bagus, kalau kita sudah bisa menyimpulkan misalnya ada 2 informasi yang bertolak belakang tapi sama-sama dari sumber yang valid. Bagus, kalau kita udah ngerti cara mengolahnya, cara menyerapnya, cara mengartikannya, cara menganlisisnya dan cara memverifikasinya. - Tapi ironinya kita belum bahkan ga siap. Tengok sekeliling saat jutaan informasi mudah diserap. Orang yang ga belajar agama di pesantren, bisa mengkritik habis2n kiyai yang puluhan tahun mengkaji kitab. Kenapa? Karena informasi-informasi soal agama itu masuk tanpa diserap dan disaring ulang. - Contoh yang kontekstualnya soal korona. Coba elu tengok, orang yang ga pernah belajar sama sekali ilmu medis, itu berani mengkritik habis2an dokter atau mereka yang kerja di bidang kesehatan. Intinya adalah orang yang ga ngerti apa2 sekarang berani mengkritik orang yang ngerti apa2. Sumbernya? Ya bejibunnya informasi tanpa kesiapan untuk menyaring dan memverifikasinya. - Itu pun berlaku saat orang2 menggunakan apa yang dia lihat di media sosial menjadi penilaian terhadap orang tersebut. Secara kasarnya, netizen atau warganet kini sudah menjadi pengontrol sosial. Mau niat elu baik sekalipun, orang bisa mentafsirkan elu sebagai orang sombong, angkuh, brengsek di media sosial atas postingan elu. - Kesimpulannya, jadi diri sendiri. Tengkyu
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar