SIMALAKAMA KEBENARAN ILMIAH
Era sekarang eranya gandrung simbolik. Apa yang menjadi simbol trending di masyarakat, itu lah yang orang-orang gandrungi. Entah simbol itu berupa status sosial, hobi, jurusan kuliah, pekerjaan hingga perkara musik favorit pun harus terdistrak oleh mayoritas. Suka ga suka, itulah realitanya. Karakter kita memang karakter zona aman dan nyaman. Sikap apa yang sedikit resikonya, itulah yang diambil. Yang penting, pekerjaan tetap, penghasilan cukup, kendaraan dan rumah ada, sudah menikah dan punya keturunan. Selesai.
Buat apa harus memutar kepala lebih jauh pada sesuatu hal yang hanya membahas konsep? Orang sudah berlomba membuat chanel youtube dengan harap adsense miliaran. Banyak yang sudah merintis bisnis dengan harap banyak melahirkan karyawan. Tak lupa yang sudah secara terang-terangan menawarkan jasa editing, design, bimbingan kilat serta les teknologi. Begitulah kurang lebih suara pragmatis mayoritas saat ini.
Bila ada orang yang hanya berbicara soal filosofis, tradisional, kuno, akan dianggap orang yang tertinggal. Untuk apa itu semua, katanya. Katanya pula, yang penting berkarya, menghasilkan pendapatan, beli mobil, beli rumah, terkenal, dapat uang dan bisa menikmati liburan. Udahlah, tidak perlu menghabiskan waktu untuk hal yang tidak produktif perkara materi, tambah, katanya.
Yang trending, itulah yag didiskusikan. Yang viral itulah yang dibahas dan dibaca beritanya. Saat sudah selesai masanya, muncul yang baru, begitu juga polanya. Jangan sampai tertinggal hastag apa yang trend di twitter, instagram dan Youtube.
Itu yang terjadi di dunia sosial, terjadi juga di dunia intelektual. Sosial teks apa yang viral, itulah yang dikaji. Dunia pendidikan misalnya, ramai soal literasi, hampir semua berbicara itu. Mahasiswa pendidikan bahasa, aspek keterampilan menulis yang jadi primadona.
Bersembunyi di balik alasan. Sumbangsih terhadap kurikulum, turut serta jadi bagian perubahan yang memberikan solusi. Entah alasan apalagi di balik kedok ilmiah. Seolah kita lupa, apakah menyimak para siswa sudah di tahap tinggi? Apakah daya baca sudah level kritis? Kita lupa itu. Saya tidak menyalahkan subjek karena subjek yang meneliti juga terbawa arus oleh keadaan yang menuntut dia itu yang harus diteliti.
Dasar seseorang melakukan riset bukan dilatar belakang kuriositas dia untuk memecahkan persoalan yang dia tangkap di lapangan. Tapi didorong oleh keadaan. Harus berbasis teknologi. Harus 5.0. Harus mengandung unsur akselerasi. Jika begitu insinuansinya, dimana letak kreativitas kalau unsur-unsurnya didikte oleh keadaan? Dimana letak nalar kritis kalau indikator berfikir dikendalikan oleh otoritas?
Manusia yang mengendalikan zaman atau zaman yang menuntut manusia untuk bertindak sesuai zaman? Jika begitu faktanya, dimanakah fungsi pendidikan yang seharusnya mampu melahirkan manusia yang menciptakan zamannya sendiri? Kita bisa saling sama-sama berkelit dan berdebat dibalik kedok ilmiah. Perdebatan kita pun nantinya juga dikendalikan oleh referensi produk-produk era sekarang.
Saya ingin berbicara tentang metode ilmiah. Pertanyaan sederhana saya, boleh tidak dari awal saya menanyakan tentang kebenaran referensi yang digunakan? Lepas dari saya mampu atau tidak, kapabilitas saya rendah atau tinggi, hak saya ada atau tidak, saya hanya bertanya boleh atau tidak? Bukan saya meragukan kualitas penghasil sumber tersebut. Tapi apakah saya harus membunuh rasa ingin tahu saya?
Kalau ternyata tidak boleh, berarti secara konsep metode ilmiah pun sama seperti orang beragama. Di awali dari rasa percaya terlebih dahulu. Apakah percayanya hanya kepura-puraan karena malas memverifikasi, itu urusan pribadinya. Poinnya adalah, semuanya sama-sama dilandasi percaya.
Seperti hal nya anda pergi ke dokter lalu diberi obat. Anda percaya saja kan langsung minum obat tersebut sebagai resep yang cocok untuk anda? Tapi, apakah itu artinya kita tidak bisa mempertanyakan? Boleh tidak saya ragu terhadap resep dari dokter?
Boleh tidak saya ragu terhadap sumber penelitian dari tesis teman saya? Boleh tidak? Seperti halnya anak kecil yang selalu bertanya. Kenapa hujan itu air? Kenapa api panas? Kenapa cabai pedas? Mungkin kita akan dianggap penantang, pengkritik, selalu menganggap orang lain salah, dicap egois dan mau menang sendiri. Itulah konsekuensi dari era pragmatis saat ini. Kita perlu belajar dari sosok anak kecil. Kreativitas tanpa batasnya dimulai dari bertanya. Tahap kita seharusnya bukan lagi menanyakan jawaban, tapi mempertanyakan jawaban. Mulai dari rasa kuriositas melalui pertanyaan.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap. Terima kasih anak muda...!