SKRIPSI DI TENGAH PANDEMI
Sebelum memulai tulisan ini, aku mau disclaimer dulu bahwa aku bukan ahli metodologi, bukan mahasiswa berprestasi, bukan mahasiswa kritis, bukan status cumalude atau ahli logika. Gue hanya seorang honorer biasa yang sedang galau antara pendapatan dan pernikahan. Tulisan ini tidak berisi solusi skripsi di tengah pandemi atau tips skripsi selesai dalam 2 menit. Tulisan ini hanya iseng-iseng belaka ceritanya. Mau lanjut baca, silakan atau mau skip saja juga rapopo. Cekibrot.
Soal skripsi, biasanya sasaran empuk bahan gibahan adalah dosen pembimbing. Alasannya bisa karena dospem susah dihubungi, revisian ga kunjung diberikan, penjelasannya ga jelas atau WA yang cuman di read. Persis kayak gue kalau WA doi. Sakit tapi tak berdarah. Gue mau bahas seputar dospem dulu sebentar.
Mahasiswa tingkat akhir secara prosedural seharusnya sudah memahami apa yang namanya metodologi penelitian. Tugas yang selalu dibuat selalu makalah, laporan, hingga jurnal. Secara tidak langsung tugas-tugas tersebut juga belajar soal menulis karya ilmiah. Apa hubungannya soal skripsi?
Skripsi juga termasuk karya ilmiah. Proses menyelesaikannya juga memerlukan metode. Karena metode sudah sering belajar saat menyelesaikan tugas-tugas dari semester 1-7, skripsi yang dibuat bisa langsung fokus pada konten. Analoginya saat elu dari semester 1-7 sudah belajar tentang teknik memasak, maka saat semester 8 ketika diminta untuk buat makanan, elu bisa berkreasi dengan jenis masakan yang akan elu buat. Bukan lagi ngomongin soal teknik-tekniknya.
Anggap aja dosen pembimbing itu adalah seorang koki pembimbing. Ada ujian untuk elu agar membuat masakan yang enak. Elu diberi waktu sebulan. Boleh minta saran dan masukan kepada koki pembimbing elu. Pertanyaan gue, saat elu minta saran dan masukan, apa yang elu bawa? Apa elu masih menunggu masukan soal-soal instruksi memasak yang baik dan benar? Itu sudah selesai di semester 1-7. Lalu elu bawa apa? Ya bawa masakan!
Biarin koki pembimbing elu nyicipin. Sambil nyicipin ya elu jelasin itu masakan apa, bahannya apa saja, proses memasaknya gimana, waktunya dan tekniknya apa saja. Itu juga berlaku soal skripsi.
Elu gabisa nyalahin dosen dari segi ini. Dosen ga jelasin detail lah, ga jelas lah, cuman nasihatin soal waktu lah atau apapun itu. Lah kan kite udah bayar bang soal bimbingan dosen? Oke kalau gitu kenapa elu ga protes saat kuliah dosen ga ngasih tugas banyak, ga meriksain dan nyuruh buat beri tugas ulang saat kuliah? Toh saat itu juga elu bayaran semester. Kenapa saat itu ga protes dan sekarang justru mengelukan hal itu?
Poin gue disini adalah berhenti mengelukan soal penjelasan dari dosen pembimbing hanya seputar sistematika dan teknis. Hey, sayang waktu. Elu berdebat sama temen mahasiswa yang lain cuman perkara teknis dan sistematika?
Jadi, seharusnya saat bimbingan elu tawarkan makanan itu buat dicicipi oleh koki pembimbing elu. Elu sodorkan apa yang dimintai oleh dosen saat bimbingan. Elu jelaskan inovasi yang ingin elu tawarkan. Kalau soal teknis ternyata masih ada revisi, no problem tapi jangan itu yang seolah jadi topik utama bimbingan.
Anggap elu akan bimbingan bab 1. Dosen minta seminggu kemudian “kumpulkan bab 1” Elu saat bimbingan, tawarkan bab 1 itu. Jelaskan. - “Bu, Pak, ini bab 1 saya. Di latar belakang saya mencantumkan beberapa referensi sebagai dasar pengambilan keputusan. Dicantumkan juga hasil wawancara sebagai kesenjangan antara fakta dan harapan. Adapun untuk sumber pendukung, saya mengutip beberapa jurnal serta prosiding….”
Bukan elu cuman nyerahin lalu kemudian nunggu komentar. Saat diberi komentar pun, elu malah ngelu “lah ibu kan ga ngejelasin bab 1 yang baik dan benar itu gimana?” Lagi-lagi soal teknis. Fine, lanjut.
Lalu soal waktu itu gimana? Dosen susah dihubungin, susah untuk ditemuin. Oke, itu urusan mereka dengan integritas kerjanya. Kita cuman bisa berpositif thingking. Tapi, bukan berarti kita hanya diam saja. Ada alumni yang bisa di wawancarai. Ada teman lain yang berbeda pembimbing namun bisa dimintai untuk berdiskusi. Puncaknya, ada mbah google yang bisa elu tanyakan soal teknis-teknis itu. Bukan cuman cari teknis cara ngedapetin doi yang tepat, jangan kek gue ☹
Sekarang, kembali ke judul. Skripsi di era pandemi. Susah buat terjun ke lapangan, belum ambil data dan informasi. Belum ada instruksi lanjutan. Sudah ada instruksi lanjutan tapi malah membuat kita makin bingung. Udah stres duluan. Gimana kalau ga beres, ga lulus, atau lulus tahun depan, atau harus ganti judul lagi dari awal, penelitian instrumen lagi, nyari sumber lagi, begadang lagi, keluar kuota lagi, dan lainnya. Ahhhh buang dulu itu semua.
Yang namanya karya ilmiah kan tugasnya itu mencari solusi atas permasalahan yang ditemukan. Entah solusinya teoretis atau praktis, itu bisa kita perdebatkan selanjutnya. Lagi gue disclaimer, ini bukan tips, ini bukan cara tapi sekadar masukan saja ceritanya. Kan katanya tulisan yang baik itu harus menawarkan solusinya. Oke lanjut.
Pertama, elu tetap dengan judul yang sama. Tapi ubah fungsional data primer dan data sekunder. Data sekunder yang semula hanya jadi pelengkap, kini itu diadikan sebagai data primer untuk diolah dan menjawab rumusan masalah. Soal ini, kita bisa saling sama-sama belajar.
Kedua, ganti konteks judul. Misalnya “Pembelajaran Menulis Puisi Menggunakan Pendekatan CTL” Ganti menjadi “Pengembangan Bahan Ajar Menulis Puisi Melalui Pendekatan CTL”. Indikator judul masih sama, tapi ubah konteksnya. Untuk ini bisa mendikusikan dengan para ahli. Lagi, gue bukan ahlinya.
Atau yang ketiga. Judul tetap sama, tapi ubah rumusan masalah. Bila rumusan masalah yang semula untuk menjawabnya perlu terjun ke lapangan, sekarang ubah rumusan masalah dengan tetap merujuk ke judul tapi untuk menjawabnya tanpa terjun langsung ke lapangan. Bisa lewat mengambil data di BPS, interview via aplikasi, angket online, dan lainnya.
Intinya adalah daripada mengeluh, buat status, ngutuk keadaan, sumpah serapah, gibahin orang atau tektek bengek lainnya, mending kita bisa saling sama-sama belajar. Solusi hanya bisa ada biila kita punya pikiran jernih, positif dan mau belajar.
2 Tahun yang lalu saat menyusun skripsi, 2 minggu menjelang sidang laptop dan hardisk gue ada yang nyuri. Back up data kagak ada, file2 skripsi ada di situ. Sedih? Iya. Nangis? Tentu. Ngeluh? Sebentar. Tapi gue saat itu meyakini bahwa hal itu ga akan menyelesaikan masalah. Well, dengan minta solusi dengan apra rekan, minta masukan, mau belajar. Alhamdulilah selama 2 minggu bisa selesai tepat pada waktunya.
Kagak ada tips-tipsan buat selesai tepat waktu. Intinya, ya udah kerjakan heeee. Salam
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
iya Pak, sesuatu kalau dikerjakan selesai. kita sering menunda-nunda. tapi pandemi ada hikmahnya buat bapak tuh, selesai penelitiannya. semangat terus. salam
Luar biasa Mas. Salam kenal dan salam Literasi ya?
Salam kenal kembali pak. Terimakasih apresiasinya