Oleh:Dede Saroni

       Pagi ini, selepas sarapan pagi, aku keluar  dari tempat mertuaku menuju  ke lokasi persawahan yang letaknya tidak terlalu jauh, hanya beberapa langkah. Kebetulan, tempat ini menjadi tempat pavoritku. Aku selalu mengunjunginya jika aku ke tempat mertuaku di Tasik. Menghilangkan kepenatan, saat keseharian tinggal di Cipayung, yang sudah begitu padat dan gersang tanpa tanaman.  

       Dalam kesendirian, dengan beralaskan sendal jepit,  kulangkahkan kakiku menuju tempat yang kutuju. Baru beberapa langkah menuju tempat itu, aku melihat ada seorang petani yang sedang bersiap-siap mengolah sawahnya. Saat itu, dia pun menyapaku,"Aa baru kelihatan. Sedang main ke tempat siapa?" tanyanya. "Ya, Pak, saya baru tadi malam datang. Saya menantunya, Bu Mulyani," ucapku. "Oh, mantunya, Bu Mulyani," ucapnya. "Kapan datang?" tanyanya. "Tadi malam, Pak,"  jawabku. "Pak, maaf, permisi, saya mau lihat-lihat sawah," ucapku. "Silakan,"ucapnya.

       Kutinggalkan dia. Lalu, kumenuju lokasi persawahan. Kulalui pematang sawah. Kulihat di situ hamparan padi yang masih menghijau, yang baru tumbuh. Ada juga hamparan padi yang sudah menguning, yang siap untuk dipanen. Kemudian,  kulaui pematang sawah yang lain. Di situ bukan hanya padi, tetapi, ada juga pohon cabe dan  tomat yang sudah siap dipanen yang begitu menggota mata. Kupandangi pohon-pohon itu. Puas kumendangi pepohonan itu, kulanjutkan menyeberangi rel kereta api di tengah sawah. Biasanya, nggak pagi sore, atau malam kereta jurusan Tasik-Bandung-Jawa-Jakarta akan lewat, memecah keheningan.

                                                                                                                                          Ciawi-Tasik, 12 April 2024