Dede Saroni, M.Pd.

Dede Saroni, M.Pd. Guru MTsN 1 Kota Tangerang Selatan. Motivasi: Tetap dan terus menulis. Tetap dan terus bersilaturahmi. Tetap semangat. Salam literasi!...

Selengkapnya
Navigasi Web
PRINSIP P3 DALAM BERBICARA
Tetap Sumangat

PRINSIP P3 DALAM BERBICARA

Oleh: Dede Saroni

Saat seseorang mulai berbicara atau mungkin mulai memasuki lingkungan baru yang belum dikenalnya, sangat wajar jika orang tersebut merasa sedikit nervous/grogi. Bentuk kenervousan itu bisa beragam, misanya berbicara dengan lafal yang tidak jelas, berbicara sedikit gugup dan gagap, gerakan atau getaran tangan yang tidak terkontrol, muka memerah, pandangan mata tidak fokus, menunduk, dan lain-lain. Ada juga bentuk kenervousan itu, bagi orang-orang tertentu, misalnya dalam bentuk salah tingkah, dan lain-lain.

Tugas pertama seorang pembicara, terlebih-lebih saat berbicara di depan orang banyak adalah melakukan kontrol terhadap macam-macam kenervousan itu. Jika, hal itu tidak secepatnya di atasi, tidak segera dibereskan, maka segala persiapan yang telah tertata dan runut, rapi sebelumnya, akan hilang, lenyap, dan buyar dengan sendirinya.

Di dalam berbicara di depan khalayak, di depan publik, seperti pidato, ceramah, memberi kuliah, diskusi, orasi, dan lain, lazim dikenal dengan prinsip P3.

Prinsip P3 diambil dari istilah Bahasa Inggris: Poise, Pause, dan Pose.

Pertama, Poise, menunjuk pada keyakinan dan kepercayaan diri, ketenangan dan ketegaran diri, kredibilitas atau keterpercayaan diri seorang pembicara. Saat bertutur di depan publik merupakan sebuah keharusan seseorang untuk merasa yakin dan percaya dirinya benar-benar mampu berbicara. Dia juga harus yakin bahwa apa yang hendak disampaikan kepada orang banyak, benar-benar memberi manfaat sehingga dengan penuh keyakinan dia akan menyampaikannya dengan penuh daya dan upaya. Berbicara yang mengambang, lantaran seorang pembicara tidak benar-benar menguasai materi yang hendak disampaikan, tidak begitu yakin bahwa hasil pembicaraannya tidak menghasilkan manfaat bagi pendengarnya, akan melemahkan esensi isi pembicaraan itu sendiri. Kenyataan ini sangat erat kaitannya dengan persoalan kredibilitas atau keterpercayaan, yang intinya merupakan persepsi khalayak terhadap pembicara.

Kredibilitas berbicara harus dibangun, baik di awal, di tengah, dan di akhir pembicaraan. Orang akan menaruh persepsi baik pada diri pembicara lantaran dia mengerti bahwa pembicara inilah sosok yang berotoritas pada materi yang disampaikannya. Kebermanfaatan hasil pembicaraan itu diperoleh dengan penuh keyakinan akan kebenarannya karena disampaikan oleh pembicara yang memang pada bidangnya. Oleh karena itu, aspek-aspek kredibilitas yang jumlahnya 3 itu harus selalu dibangun dan dijaga. Jangan sampai lubang-lubang yang sesungguhnya tidak perlu ada, diciptakan sendiri oleh pembicara dalam pembicaraan, yang kadangkala terlepas dari kontrol pembicara itu sendiri.

Kedua, Pause, menunjuk pada pemberhentian sementra. Orang menyebutnya jeda. Jeda dapat dibuat singkat, cukup singkat, tetapi bisa pula dibuat agak panjang untuk tujuan dan maksud tertentu. Jeda yang digunakan dengan penuh perhitunga, dapat digunakan untuk memusatkan perhatian seluruh khalayak. Misalnya saja, khalayak yang sudah mulai tidak terkendali karena suasana yang tidak kondusif untuk diteruskan pembicaraan, bisa jadi penggunaan jeda banyak memberikan manfaat. Akan tetapi, kita harus hati-hati dalam penggunaan jeda yang monoton, tanpa variasi. Hal ini justru dapat menimbulkan kebosanan dan kejengkelan bagi khalayak.

Pemberhentian sementara (jeda) lainnya yang cenderung tidak efektif, yang cenderung menjadikannya improduktif, seperti: frasa ‘apa namanya’, ‘apa itu, ‘wah..saya dekit lupa’, ‘emm…’, dan ‘anu..’ Jeda improduktif yang demikian ini cenderung merupakan intrusi yang pada gilirannya bakal menjatuhkan kredibilitas pembicara.

Masih berdekatan dengan persoalan pemberhentian sementara ini adalah ritme. Ritme artinya keteraturan dalam menempatkan penekanan pada aspek kebahasaan yang digunakan. Tekanan yang sifatnya kecil-kecil saja lazim disebut stress. Sedangkan tekanan pada aspek-aspek kebahasaan yang relatif panjang disebut tempo. Berbicara yang tanpa memperhatikan ritme, baik arti tempo maupun stress, pasti menjadikan suasana akan mati. Situasi atau suasana perbincangan yang mati, sesungguhnya merupakan boomerang bagi pembicara. Kematian suasana harus dibangkitkan, misalnya saja dengan aneka kejutan perbincangan, belokkan perbincangan yang mendadak, yang tujuan pokoknya untuk menghadirkan secercah kejenakaan, sehingga kematian suasana dapat kembali dihidupkan.

Ketiga, Pose, yang artinya penampilan (performance). Aneka gerakan tangan (gesture), gerakkan anggota tubuh (kinesic), perpindahan tempat (motion), pemakaian alat-alat bantu pembicaraan, dan lain-lain adalah sah-sah saja jika digunakan di sepanjang pembicaraan. Tetapi, satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa semuanya harus digunakan dengan penuh pertimbangan dan perhitungan atas kebermanfaatannya.

Bacaan: (diambil dari berbagai sumber)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post