Dede Saroni, M.Pd.

Dede Saroni, M.Pd. Guru MTsN 1 Kota Tangerang Selatan. Motivasi: Tetap dan terus menulis. Tetap dan terus bersilaturahmi. Tetap semangat. Salam literasi!...

Selengkapnya
Navigasi Web
TRAGEDI ATANG SANJAYA

TRAGEDI ATANG SANJAYA

Oleh:Dede Saroni

Sore itu, selesai mengajar di sebuah SMP swasta di daerah Ciputat, aku pulang menuju rumah. Sesampai di rumah sekitar jam 5 sore. Aku mandi, setelah itu makan sore. Sambil makan, aku berkata pada Bapak dan Emakku.

“Pak, Ma,” kataku kepada mereka. “

Ada apa, De?” jawab Bapak dan Emakku.

“Pak, Ma, rencananya habis Magrib saya mau silaturahmi ke tempat teman di Pasar Leuwiliang-Bogor,”

“Jauh amat, De,” kata Bapakku.

“Ya, Pak, ada perlu.” jawabku.

“Insyaalloh, berangkatnya sama Nurilahi.” kataku lagi.

“Sama Entong!” Bapakku biasa memanggilnya.

“Ya, Pak,” jawabku.

“Ya, udah kalau ada perlu, Bapak izinin, hati-hati aja,”

“Ya, Pak, terima kasih.”

Selesaikan makan, aku ngambil wudu untuk solat Magrib.

“Allohu Akbar, Allohu Akbar!” suara azan terdengar dari televisi.

Aku segera solat magrib. Selesai solat magrib, aku segera berkemas-kemas, pakai celana jeans, kaos, dan tidak lupa jaket sebagai pelindung. Maklum perjalananku malam hari, jauh lagi.

Kupanaskan mesin motor RXK-ku, yang akan menemani perjalananku. Aku berpamitan pada Bapak dan Emakku.

“Pak, Ma, Dede berangkat,“

“Hati-hati ya, De,”

“Ya, Pak, Ma,” kataku.

Setelah itu, kukendarai motor RXK-ku yang dari tadi sudah kupanaskan. Aku berangkat dengan motor kesayanganku itu.

Aku mampir dulu ke rumah Nurilahi. Aku sudah janjian untuk berangkat dengan dia. Sampailah aku di depan rumahnya.

“Assalamu’alaikum,” ucapku.

“Waalaikumsalam,” istri Nurilahi menjawab.

“Abang ada, Mpo?” tanyaku.

“Ada, Bang. Ayo masuk, Bang.” ucapnya.

“Terima kasih, Mpok.” jawabku.

“Duduk, Bang.”

“Ya, Mpok.” Istri Nurilahi masuk ke dapur dan tak lama datang kembali membawa dua gelas teh manis hangat. Tak lama kemudian datanglah Nurilahi dari dalam kamar. Duduklah dia berhadapan denganku. Istrinya lalu masuk ke dalam kamar. Sambil menikmati minum teh manis hangat, lalu Nurilahi berkata,

“De, mohon maaf, untuk hari ini gua ngga bisa nemenin luh ke Pasar Leuwiliang, gua lagi kurang enak badan, salam aja sama Pak Durahman,” katanya.

Aku kaget dengan ucapan Nurilahi. Ditambah, aku belum terlalu apal jalan bila berangkat sendiri. Tapi, karena aku udah niat mau silaturahmi, akhirnya dengan tekad yang kuat kuberanikan diri berangkat sendiri.

“Ya, sudah Tong, kalau luh engga bisa, gua berangkat sendiri, doain aja biar lancar perjalanannya,” kataku.

“Ya, De, gua doain, hati-hati, De,”

”Terima kasih, Tong. Assalamu’alaikum,” kataku.

“Waalaikumsalam,” jawabnya.

Setelah berpamitan dengan Nurilahi dan istrinya, berangkatlah aku sendiri menuju Pasar Leuwiliang-Bogor. Kukendarai sendiri motor RXK-ku menyusuri jalan Raya Ciputat-Parung. Kupacu motorku, sampailah aku di Gaplek. Lampu merah menyala, aku berhenti. Setelah itu, lampu hijau menyala, kupacu kembali motorku, melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba hujan turun. Tetap kulanjutkan perjalananku. Kupacu terus motor RXK-ku. Sampailah aku di daerah Wates, Cinangka. Aku berhenti sebentar di pom bensin karena bensin motorku sudah habis. Kuisi isi penuh motor RXK-ku.

Terus kulanjutkan perjalanku. Sampailah aku di daerah Pasar Parung. Hujan belum berhenti juga. Terus kupacu motor RXK-ku. Ternyata aku sudah sampai di daerah Semplak. Aku belokan ke arah kanan. Lurus, melewati Kompleks Atang Sanjaya. Dalam kondisi hujan yang belum berhenti, sepi menyelimuti malam. Hanya sorot lampu motor RXK-ku sebagai penerang, yang menemani perjalananku, dalam kesendirian. Alhamdulillah, aku sudah sampai di Bogor Kota, Cilendek. Kubelokan ke kanan menuju menuju Ciampea, melawati Kampus IPB Dramaga. Terus kupacu motor RXK-ku menuju Cibatok, melewati jembatan yang sepi.

Tak berapa lama sampailah aku di Pasar Leuwiliang, Kubelokkan motorku ke arah kiri, masuk gang sempit. Sampailah aku di rumah Pak Durahman. Jam waktu itu sudah menunjukan 9 malam. Kumatikan motorku. Kuketuk pintu rumah.

“Assalamu’alaikum, Pa, Bu?” Terdengar suara orang membuka pintu, kreek.

“Waalaikumsalam,” jawab seseorang, ternyata istri Pak Durahman yang membukakan pintu.

“Eh, De, masuk,”

“Ya, Bu, terima kasih,”

“Ada Bapak, Bu?” t

“Ada, De,”

“Silakan duduk, De,”

“Ya, Bu, terima kasih,”

“Ibu ke belakang dulu ya, De,”

“Ya, Bu,”jawabku.

Dalam kondisi basah kuyup, akududuk di kursi ruang tamu, sambil menunggu Pak Durahman datang. Tak lama Pak Durahman datang.

“Malam amat nyampenya, De?” katanya.

“Ya, Pak, hujan Pak, naik motornya agak pelan,” jawabku.

“Pak ada salam dari Nurilahi, dia tidak bisa ikut, sedang sakit,”

“Ya,De, mudah-mudahan penyakitnya segera sembuh,”

Sambil ngobrol, datanglah istri Pak Durahman membawa dua gelas kopi hangat dengan cemilannya.

“Silakan diminum, De,”ujarnya.

“Terima kasih, Bu,”kataku. Kuhirup kopi hangat itu dan cemilan yang disediakan. Hangat rasanya badanku. Kulanjutkan ngobrol dengan Pak Durahman dengan didampingi istrinya.

Tak sadar waktu sudah menunjukkan jam 10 malam. Hampir 1 jam aku ngobrol. Karena perjalananku jauh. Aku bilang ke Pak Durahman dan istrinya.

“Pak, Bu, Dede mau pulang, insyaalloh nanti main lagi,”kataku.

“De, nginep aja, sudah malam, hujan juga,”

“Terima kasih, Pak, Bu, besok saya harus ngajar, saya harus pulang malam ini,”

“Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumsalam,”

Kuhidupkan motorku dan kupacu untuk pulang menuju Ciputat. Hujan terus mengguyur Pasar Leuwiliang, Aku tak menghiraukannya. Kususuri jalan dari Pasar Leuwiliang menuju Cibatok. Terus kupacu motor RXK-ku di tengah hujan yang terus mengguyur. Kuperhatikan speedometer motorku jarum merahnya sudah mengarah ke bawah, menandakan bahwa bensinya sudah hampir habis. Aku berhenti di sebuah pom bensin. Kuisi penuh motor RXK-ku.

Kulanjutkan perjalanku. Kupacu kembali motor RXK-ku menuju jalan Ciampea, terus melewati Kampus IPB Dramaga. Kubelok ke kiri, sampailah di daerah Cilendek. Hujan belum berhenti. Tetapi terus kupacu motorku tanpa mempedulikan hujan. Aku sudah sampai di daerah Semplak. Kumerasa perjalananku lancar-lancar saja, tidak ada yang aneh.

Saat aku melewati Kompleks Atang Sanjaya, Semplak, dekat Penginapan Larasati, aku mengalami peristiwa yang tak kuduga sebelumnya. Ketika aku sedang memacu motorku, tiba-tiba muncul angkot di depanku. Angkot itu dari arah Parung menuju Bogor. Sementara aku dari arah Bogor menuju Parung. Angkot itu itu nyalip, melawan arus, melaui jalur motorku. Sorot lampu angkot itu membuat mataku silau. Angkot itu terus melaju kehadapanku, makin mendekat. Aku tak bisa menghindar. Kuberpikir saat itu, kalau aku ke arah kiri, akan terperosok ke selokan, aku akan mati konyol. Kalau aku ke arah kanan, akan ditabrak angkot atau kendaraan lain yang sedang melaju kencang, aku akan mati konyol.

Angkot itu terus melaju kencang di jalurku, melawan arus, tak mau mengalah. Aku tak punya pilihan. Akhirnya, dengan keadaan sadar dan kupasrahan kepada Alloh, dengan membaca Bismillahirohmanirrohim, kutabrakan, kuadu motor RXK-ku dengan angkot yang sedang melaju kencang dihadapanku. Braak. Saat itu kutaksadarkan diri.

Beberapa saat kusadar. Ternyata aku sudah terkapar di pinggir jalan. Sambil merasakan pedih di mataku, kuraba lengan jaketku sebelah kiri dan sebelah kanan. Alhamdulillah, tidak ada yang robek sedikit pun. Kuraba lengan kiri dan kananku, tidak ada yang lecet. Terus kuraba bagian kaki kiriku, tidak ada yang aneh. Alhamdulillah. Lalu, kuraba bagian kaki kananku. Astagfirlalazim, kaki kananku terasa sakit sekali. Kaki kananku patah parah.

Di kegelapan malam, dengan penglihatan mata yang buram akibat siraman air hujan dan juga cipratan air selokan, kuminta tolong.

“Tolong, tolong,” teriaku. Tak ada seorang pun yang menolong. Padahal, perasaanku banyak orang yang menyaksikan peristiwa itu. Terus aku minta tolong.

“Tolong, tolong, tolong,” aku terus merintih. Tapi, tetap tak ada satu pun orang yang mau menolongku yang sedang terkapar merasakan sakit yang amat. Mereka sepertinya tidak peduli. Aku pasrah.

Tiba-tiba kumendengar samar-samar kendaraan berhenti. Ada seseorang yang turun dari kendaraan. Entah itu dari angkot atau kendaraan pribadi. Terdengar suara,

“Ayo tolong, masukkan ke angkot, bawa ke rumah sakit,” katanya. Tubuhku yang sudah terkulai dengan menahan rasa sakit, dibopong beberapa orang dan dinaikkan ke dalam angkot. Entah ke mana aku mau dibawa, aku tidak tahu. Sepertinya aku mau dibawa ke sebuah rumah sakit di daerah Bogor. Beberapa saat, aku sudah berada di sebuah rumah sakit, Rumah Sakit PMI Bogor. Aku dibawa ke ruang UGD. Aku sendiri, tanpa ditemani siapa pun, termasuk orang-orang terdekatku. Dengan menahan rasa sakit dan kaki kananku yang patah, berlumuran darah. Aku dibaringkan di atas ranjang pasien.

Tak lama datanglah dokter jaga.

“Bapak tinggal di mana?” tanya dokter itu.

“Tinggal di Ciputat, dokter,” jawabku.

“Ciputat, jauh sekali, Pak,” kata dokter, terkejut.

“Ada saudara atau teman yang bisa dihubungi, Pak?” tanya dokter itu lagi.

“Ada, dokter,” jawabku. Sambil menahan rasa sakit, lalu kubuka kantong celana levis belakangku, kuambil dompet yang sudah basah kuyup, lalu kubuka dompetnya untuk mengambil sesuatu yang berisi nomor telepon teman-temanku. Akhirnya, kudapatkan satu nomor telepon temanku, namanya Yakub Sofyan.

“Tolong dokter hubungi nomor telepon ini.” kataku. Lalu dokter jaga itu menghubungi nomor telepon yang aku berikan. Kebetulan letak teleponnya tidak jauh dari tempat aku dibaringkan sehingga jelas terdengar pembicaraan dokter itu.

“Malam, apakah ini Pak Yakub Sofyan?” tanya dokter itu.

“Malam, ya betul, saya Pak Yakub Sofyan,” jawab teman saya tersebut.

“Dari mana ini, Pak?”

“Kami dari Rumah Sakit PMI Bogor, Pak, ingin memberitahukan Pak Dede, teman Bapak kecelakaan dan sekarang ada di Rumah Sakit PMI Bogor, tolong sampaikan kepada keluarganya, Pak,”

”Ya, baik, dokter, nanti saya sampaikan.”

Selesai dokter menelepon, lalu mendatangiku lagi untuk menangani keadaanku. Dokter itu memasang papan penyanggah untuk kakiku yang patah dan luka parah dengan diikat kain kasa. Lalu dokter itu melihat bagian kening kepalaku yang luka parah akibat terbentur bagian depan angkot.

“Saya jahit ya, Pak bagian kepala yang luka parah,” kata dokter itu.

“Ya, dokter, silakan.”

Tanpa dibius, dokter itu menjahit keningku yang terluka. Kuhitung ada 8 jahitan. Selesai menjahit bagian keningku lalu dokter menanyakan lagi kepadaku.

“Pak, bagian bibir Bapak yang luka parah apakah mau dijahit juga?”

”Tidak usah dokter,”jawabku.

Beberapa jam kemudian, menjelang pagi, datanglah orang-orang terdekatku, Bapakku, adikku, dan teman-teman tempatku mengajar, termasuk Pak Pak Yakub Sofyan. Mereka begitu menghawatirkan keadaanku, bersimpati denganku. Tiba-tiba Bapakku mendekatiku. De, Bapak denger luh tabrakan dari temen-temen luh yang ngajar di Islamiyah. Tengah malem Pak Mudalih dateng ke rumah.

“Pak Dede kecelakaan, tabrakan di Bogor, sekarang dirawat di Rumah Sakit PMI Bogor, ayo Pak segera kita ke Bogor jenguk Dede.”

“Ayo Dal, Bapak dan Mamet ikut rombongan teman-teman luh.

“Ya, Pak, alhamdulillah, Bapak ama Mamet nyampe,” kataku.

“Ema engga ikut, Pak?”

“Engga, De, repot”

“Ya, Pak, engga apa-apa,” kataku.

Sambil ngobrol sama Bapakku, “Pak, kayaknya di dalam bibir Dede ada yang ngeganjel, perasaan engga enak. Tadi juga dokter nyuruh dijahit, cuma Dede engga bolehin. Maaf Pak, coba dilihat dah, Pak?”pintaku. Dilihatlah oleh Bapakku. Ternyata ada yang menonjol. Akhirnya, diakal-akalin oleh Bapakku, dikorek-korek sama peniti. Setelah beberapa lama, kena. Ternyata, pecahan beling depan mobil angkot yang terpendam di dalam bibirku. Pantesan, bunyinya ketruk-ketruk, engga tahunya pecahan kaca.”kataku. Aku agak lega.

Keesoknya, aku dibawa ke ruang inap, sudah dapat kamar. Aku melihat samar-samar sudah datang orang yang menabrak aku, sopir angkot beserta keluarganya dan bos yang punya angkot, Pak Bambang Safali namanya. Mereka datang sebagai simpati dan tanggung jawabnya. Sekaligus mengurus masalah aku di rumah sakit ini.

“Turut prihatin, Pak, sabar ya, Pak, insyaalloh kami bertanggung jawab terhadap musibah yang alami akibat dari angkot kami,” kata Pak Bambang Safali.

“Ya, Pak,” jawabku menahan rasa sakit.

Malam harinya, aku dibawa ke ruang operasi. Kaki kananku yang luka parah, akan dioperasi kecil sambil membersihkan luka-lukanya.

“Malam, Pak.”

“Malam juga dokter,” jawabku.

“Pak, kaki sebelah kanan Bapak akan dioperasi,” kata dokter.

“Iya, dokter, silakan,” jawabku pasrah.

“Berdoa ya, Pak,” perintah dokter.

“Iya, dokter,” kataku sambil kuberdoa dalam hati.

“Saya hitung ya, Pak.”

“Iya, dokter.”

“Satu, dua, tiga,” hitung dokter.

Aku langsung tak sadarkan diri. Beberapa jam kemudian, aku dibawa kembali ke ruang rawat inap kembali. Aku belum sadar betul. Pandanganku pun masih samar-samar. Mungkin, pengaruh obat bius operasi yang masih ada di bagian tubuhku. Kubelum jelas melihat siapa-siapa yang ada di sekitarku. Tak berapa lama, aku sadar, aku mulai mengenali kembali siapa-siapa yang ada di sekitarku. Aku melihat di situ ada Bapakku, adikku, Mamet, yang selalu setia menemaniku. Juga teman-teman dekatku terus berdatangan, memberikan simpati kepadaku. Datang juga Pak Durahman, temanku di Pasar Leuwiliang.

“Sabar ya, De,” ucapnya.

“Ya, Pak,” jawabku.

Waktu sudah menunjukkan jam 6 sore, satu persatu teman-teman dekatku, termasuk Pak Durahman meninggalkanku. Kebetulan waktu besuk memang sudah selesai.

“De, Bapak pulang ya, cepat sembuh ya, De,” kata Pak Durahman.

“ya, Pak, terima kasih udah menjenguk,” jawabku. Aku pun sendiri lagi, berbaring di ranjang pasien. Malam pun menjelang. Tiba-tiba, datang dokter ke kamarku.

“Malam, Pak,”

“Malam juga, dokter.”

“Bagaimana, Pak keadaannya?”

“Alhamdulillah dokter, udah enakkan,”

“Saya periksa dulu ya, Pak.”

“Silakan Dokter.” Dokter memeriksku dengan teliti.

“Selamat istirahat ya, Pak,” kata dokter setelah selesai.

“Ya, dokter, terima kasih.” Aku pun beristirahat.

Keesokan pagi, di hari ketiga aku di RS PMI. Setelah aku dibersihkan dengan dilap seluruh badanku. Lalu, aku diberi sarapan pagi oleh suster. Ditemani oleh Bapakku dan Mamet, adikku yang tetap setia. Datanglah dokter yang akan memeriksa aku keadaanku dengan ditemani Bapak Bambang Safali, orang yang bertanggung jawab membiayai masalahku di RS PMI Bogor.

“Diperiksa dulu ya, Pak.”

Ya, dokter silakan,”

‘Alhamdulillah Pak, bekas operasinya sudah agak mengering,”

“Alhamdulillah, dokter”,

“Sudah ya, Pak periksanya,”

“Ya, dokter terima kasih,”

Setelah dokter pergi, Pak Bambang Safali mendatangiku.

“Pak, apa kabar?”

“Alhamdulillah, baik, Pak,”

“Oh ya, Pak, bagaimana kalau kaki kanan Bapak yang patah parah, dipasangkan pen saja?” katanya.

“Pak, jangan dipasang pen, diurut saja,” kataku.

“Kalau dipasang pen kan lebih enak, lebih rapi,” Pak Bambang Safali membujukku.

“Pak, biar diurut saja,” jawabku lagi.

“Ya, sudah Pak, kalau itu keinginan Bapak, saya akan urus administrasi Bapak,” katanya sambil menuju ruang administrasi.

Akhirnya, aku dibawa ke daerah Cimande dengan ditemani Pak Bambang Safali dan Bapakku serta adikku, Mamet. Beberapa jam, aku telah sampai di daerah Cimande, tepatnya di daerah Tarik Kolot. Aku di bawa dengan tandu menuju rumah tukang urut yang kebetulan letak rumahnya di atas. Aku langsung ditanagni oleh tukang urut yang namanya H.Udin. Kemudian, aku ditempati di sebuah kamar praktik H.Udin.

“Pak, urusan perawatan Bapak di H.Udin, sudah saya urus, semoga cepat sembuh ya, Pak,” kata Bambang Safali.

“Ya, Pak terima kasih,” jawabku.

“Saya mau pulang dulu ya, Pak, insyaalloh nanti saya datang lagi,” ujar Pak Bambang Safali.

“Ya, Pak silakan,” kataku. Lalu, Pak Bambang Safali pun meninggalkan Tarik Kolot.

Aku membayangkan pengobatan dengan cara diurut akan lebih enak daripada aku harus pasang pen. Itu yang membuat aku mengambil keputusan untuk diurut saja, lebih praktis. Tidak seperti pasang pen, tidak praktis. Tetapi, apa yang aku duga tidak seperti yang aku rasakan sendiri. Ternyata, diurut sakit sekali, tidak ada pake bius-biusan.

Kebiasaan H.Udin setelah pulang dari sawah, baru mengurutku. Aku begitu takut, tegang kalau H.Udin sudah pulang dari sawah sambil membawa cangkul dan meletakan topinya.Istirahat sebentar, lalu H.Udin sambil membawa minyak urut Cimande masuk ke kamar perawatanku.

“De, Pak Haji urut ya,”katanya.

“Ya, Pak Haji, silakan,”jawabku sambil menahan rasa takut juga rasa takut.

“Pak Haji, sakit, sakit, sakit,”jeritku.

“Ngga apa-apa, De, yang penting cepat sembuh, tahan rasa sakitnya, daripada cacat seumur hidup,”ujarnya.

“Tapi sakit bener, Pak Haji,”kataku lagi.

“Ya, De, diurut mana ada yang enak, pasti sakit, tapi nanti akan sembuh,”ujarnya lagi.

Begitulah dari hari kehari aku diurut sama H.Udin. Aku begitu tersiksa, merasakan sakit yang amat. Aku baru tahu bahwa diurut tak seenak yang aku bayangkan sebelumnya. Tapi, sudahlah, ini sudah menjadi pilihanku.

“Sabar, De, tahan rasa sakit, yang penting elu sembuh,”ujar Bapakku.

“Ya, Pak, insyaalloh Dede tahan rasa sakitnya,”jawabku.

“Makan dulu, De,”ujarnya lagi.

“Ya, Pak, terima kasih,”jawabku.

Tak terasa hampir 3 minggu aku dirawat di Tarik Kolot, Cimande. Kondisi aku sudah sedikit membaik. Aku sudah bisa belajar berjalan dengan menggunakan 2 tongkat walau belum lancar, masih tertatih-tatih. Tapi walau begitu, aku sudah ngga betah kepingin segera pulang ke rumahku di Ciputat. Aku sudah kangen emakku, tempat tugasku, anak-anak didikku, dan teman-teman tempat tugasku.

“Pak, Dede udah ngga betah, kepingin pulang,”kataku.

“Kan elu belum sembuh bener, De, tunggu sampai sembuh bener,”jawab Bapakku.

“Saya udah sembuh, Pak, kan sudah bisa jalan pake tongkat,”jawabku.

“Tapi jalan luh kan belum normal bener, De,”kata Bapakku lagi.

“Udah sembuh, Pak, saya kepingin pulang, udah ngga betah,”kataku lagi.

“Ya, udah kalau luh pengen pulang, nanti Bapak bilang ke H.Udin,”kata Bapakku.

“Terima kasih, Pak,”kataku.

Tiba-tiba datanglah H.Udin setelah selesai bertani di ladangnya. H.Udin meletakkan cangkul dan topinya. Bapakku segera menemui H.Udin.

“Pak Haji, anak saya, Dede sudah kepingin pulang,”kata Bapakku.

“Pak Mawih, kan si Dede belum sembuh benar, masih lama pengobatannya,”jawabnya.

“Saya udah bilang begitu, Pak Haji, tapi si Dede tetep pengen pulang,”jawab Bapakku lagi.

“Ya, udah nanti Pak haji mau ngomong sama si Dede,”jawabnya.

Pak H.Udin datang mendekatiku yang sedang duduk di depan rumahnya.

“De, kamu emang udah pengen pulang, kan belum sembuh bener,”katanya.

“Ya, Pak Haji saya pengen pulang,”kataku.

“Nanti ngga bisa naik sepeda luh,”katanya lagi.

“Biar, Pak Haji, nanti biar belajar naik sepeda sendiri,”jawabku.

Pak H.Udin sudah putus asa, sudah tidak bisa lagi membujuk aku agar tetap melanjutkan pengobatan urut di Cimande, beliau pun mengalah.

“Ya, sudah karena emang eluh udah kepingin pulang, Pak Haji mengizinkan, jangan lupa di rumah kakinya dilemes-lemesin agar tidak kaku. Nanti Pak haji kasih minyak Cimande, biar dibawa ke rumah untuk ngurut,”katanya.

“Terima kasih, Pak haji,”kataku dengan perasaan gembira.

Bapakku segera mencari angkot yang akan membawa aku kembali ke Ciputat, yang jaraknya tidak jauh dari rumah H.Udin.

“De, Bapak ke depan ya, cari angkot,”katanya.

“Ya, Pak, semoga segera dapet angkotnya ya, Pak,”kataku.

Tak lama, Bapakku datang kembali ke rumah H.Udin.

“De, Alhamdulillah, angkotnya udah dapet,”kata Bapakku.

“Alhamdulillah, Pak, terima kasih,”kataku.

Aku langsung berkemas-kemas membereskan pakaian yang selama ini kupakai. Sekalian aku pamitan kepada H.Udin, istri H.Udin, dan anak-anaknya yang selama ini mengurusiku.

“Pak Haji, ibu, adik, kakak, saya pamit ya,”kataku.

“Ya, De, semoga cepat sembuh, jangan lupa di rumah kakinya dilatih ya,”jawabnya.

Aku dan Bapakku segera meninggalkan rumah H.Udin di Tarik Kolot, Cimande. Dengan menggunakan 2 tongkat yang menyanggah kaki kananku yang patah, kuturuni tangga dengan hati-hati menuju angkot yang akan membawaku kembali ke Ciputat. Selamat tinggal H.Udin, Selamat tinggal Tarik Kolot. Selamat tinggal rasa sakit, rasa takut. Selamat tinggal minyak Cimande.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Aamiin ya Robbal'alamin, terima kasih Bu Hj.Bahriah, alhamdulillah, Alloh swt.masih menyelamatkan saya walau kaki sy yg sebelah kanan harus patah, bersyukur

16 Feb
Balas

Aamiin ya Robbal'alamin, terima kasih Bu Hj.Bahriah, alhamdulillah, Alloh swt.masih menyelamatkan saya walau kaki sy yg sebelah kanan harus patah, bersyukur

16 Feb
Balas

Aamiin ya Robbal'alamin, terima kasih Bu Hj.Bahriah, alhamdulillah, Alloh swt.masih menyelamatkan saya walau kaki sy yg sebelah kanan harus patah, bersyukur

16 Feb
Balas

Sehat itu harta terbesar ya Pak Dede. Alhamdulillah smg syukurnya bertambah terus Pak Dede

16 Feb
Balas



search

New Post