Dede Sunaryat

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

AKU ORANG KAMPUNG

AKU ORANG KAMPUNG

Oleh:

Dede Sunaryat

(Pengawas SMK Kabupaten Cianjur)

Menurut ceritera orang, pada pertengahan Bulan Juli Tahun 1964, telah lahir seorang anak laki-laki dari pasangan suami istri yang teramat sangat sedarhana. Bapak dari anak tersebut adalah seorang guru SD yang berpendidikan SPG C1, atau kalau sekarang, setingkat dengan jenjang SLTP. Sementara ibunya adalah seorang ibu rumahtangga yang mengenyam pendidikan hanya sampai kelas dua sekolah dasar. Anak itu adalah aku.

Aku lahir di sebuah kampung yang sangat terpencil, bahkan tempat itu sampai sekarangpun masih termasuk wilayah terpencil. Saking terpencilnya, sangat jarang ada pejabat daerah yang mau datang ke tempat kami. Jika ada pegawai negeri, khususnya guru, yang ditempatkan di kampung kami, jarang sekali yang dapat bertahan lama. Camat di kecamatan kamipun sangat jarang yang betah bertahan lama, sehingga pergantian camat di tempat kami tergolong sering. Saking seringnya pergantian camat dan saking jarangnya camat berada di lokasi, banyak warga yang tidak mengenal camatnya sendiri, padahal secara logika seharusnya mereka kenal dengan pemimpinnya, karena lingkungan kami adalah lingkungan yang kental dengan suasana kekeluargaan dan masyarakatnya yang cenderung manut kepada pimpinannya. Begitulah kampung tempat kelahiranku.

Jika kondisi sekarang seperti yang diceriterakan di atas, dapat dibayangkan keadaan pada setengah abad lebih yang lalu. Saat itu, kampung kami adalah kampung yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan manusia. Tidak ada sepeda, sepeda motor apalagi mobil. Untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain, masyarakat di kampung kami saat itu hanya mengandalkan berjalan kaki, tanpa alas kaki pula. Saat itu, kampungku masih belum menjadi kecamatan, melainkan berupa suatu desa yang sangat luas dengan penduduk yang sangat jarang dan lokasi tempat tinggal penduduk yang terpencar-pencar. Uniknya, walaupun tempat tinggal penduduk kampung kami saling berjauhan, namun pada umumnya mereka saling mengenal, sehingga, kalau ada orang baru menanyakan alamat seseorang di kampung kami, dijamin yang ditanya dapat menjawabnya dengan benar.

Ada dua kampung yang kuanggap sebagai tempat asalku. Kampung yang pertama adalah kampung tempat aku dilahirkan. Kampung yang kedua adalah kampung tempat aku mulai dapat mengingat sesuatu dengan baik sampai aku menyelesaikan sekolah dasarku.

Tidak begitu banyak yang dapat kuingat dari kampung tempat kelahiranku. Saat aku dibawa pindah oleh orang tuaku ke kampung baru, masih terlalu kecil bagiku untuk dapat mengingat segalanya. Yang masih agak kuingat adalah rumah tempat tinggal kami. Sebuah rumah kayu sangat kecil dan sangat sederhana, tidak bercat dan tanpa asesoris, yang terletak di sebuah lereng di atas jalan desa yang berkoral. Tidak banyak rumah di situ. Tetangga terdekat kami ada di seberang jalan, tepatnya di bawah tempat tinggal kami. Tetangga kami itu sebenarnya adalah masih kerabat kami. Masih ada beberapa rumah yang ada di sekitar itu, namun aku tidak ingat lagi, siapa pemiliknya. Aku juga tidak ingat siapa-siapa saja yang pada saat itu menjadi tetangga kami. Yang aku agak ingat juga adalah bahwa di kampung tersebut setiap seminggu sekali suka ada hari pasar, namun aku tak tahu harinya hari apa.

Aku mulai dapat mengingat dengan baik setelah aku pindah ke kampung baru. Kampung yang sangat terpencil, bahkan untuk ukuran orang-orang yang tinggal di kampungku yang lama sekalipun. Kampung yang belum ada seorang pejabat pemerintahpun menginjakkan kakinya di tempat itu. Kampung yang belum terjamah teknologi. Kampung yang pada umumnya penduduknya berpenghidupan dari berhuma (menanam padi di lahan darat dengan cara membuka hutan dan berpindah-pindah) dan berkebun.

Walapun kampung itu terpencil, namun bagiku kampung itu adalah surga, karena di tempat itulah kehidupanku dimulai, di tempat itu pula aku banyak memperoleh pelajaran hidup, yang sampai saat ini tidak pernah aku dapatkan di bangku sekolah, bahkan ketika aku sekolah di luar negeri sekalipun. Kampungku adalah kampung yang damai dengan udara yang segar dan air sungai yang bersih serta kehidupan yang ramah. Kami tidak perlu merasa cemas ketika bepergian ke kampung lain dengan tanpa bekal, karena kami tidak akan pernah kelaparan, sebab berhenti di manapun pasti akan ada orang yang menawari kami makan dan minum. Sebuah pola kehidupan yang mungkin jarang ditemukan di tempat lain.

Hanya sekitar dua belas tahun dari seluruh usiaku aku tinggal secara penuh di kampungku, namun tetap bagiku kampungku adalah kampung yang kucintai, kampung yang menyimpan sejuta kenangan indah dan mungkin tak akan pernah kualami kembali. Kampung yang telah mengantarku dapat mengetahui berbagai jenis makanan alternatif di hutan ketika lapar. Kampung yang telah mengantarkanku mengetahui berbagai tanaman yang dapat dijadikan obat ketika keadaan darurat. Kampung yang telah mengantarkan aku dapat berenang di sungai ketika sungai meluap karena banjir. Kampung yang telah mengantarkanku dapat memanjat pohon yang tinggi untuk mendapatkan makanan di hutan. Kampung yang telah mengajarkan aku untuk dapat bersaing dalam mengarungi kehidupan yang keras. Dari kampung itulah, walaupun dengan penuh kesedarhanaan, aku memperoleh makanan bergizi sehingga aku dapat tumbuh menjadi anak yang sehat dan ketika usia dua belas tahun serta bersekolah di kota, aku dapat menyaingi dan mengungguli anak anak kota, baik dalam ketangkasan fisik, maupun dalam ketangkasan belajar. Buktinya, ketika bersekolah di SMP pada sebuah kota kecil di Jawa Barat, aku cukup dikenal oleh guru guruku karena aku pintar bermain sepak bola, mampu berlari dengan cepat serta yang penting lagi, aku adalah juara kelas dan aku adalah juara umum di sekolahku.

Kepindahan ke kampung baru

Pada suatu hari, mungkin usiaku pada saat itu sekitar tiga atau tiga setengah tahun, pagi pagi sekali, banyak orang di rumahku. Yang aku ingat pada saat itu kakak laki-lakiku yang usianya enam tahun lebih tua dariku, ada di antara mereka. Seingatku usia mereka rata-rata lebih tua dari kakaku. Setelah aku berada di kampung baru, aku baru tahu, ternyata mereka adalah teman-teman sekelas kakakku di sekolah barunya, yang sekaligus juga murid-murid ayahku.

Kala itu, aku belum memahami betul, kenapa mereka berada di rumah kami. Aku baru menyadarinya setelah aku berada di kampung baru. Ternyata kami telah berpindah tempat tinggal, dari kampung tempat aku dilahirkan ke kampung baru. Sementara, orang-orang yang berada di rumahku tadi adalah murid-murid ayahku sekaligus teman-teman kakakku yang menjemput kami. Kepindahan kami adalah dalam rangka mengikuti tugas ayahku yang konon saat itu ditugaskan menjadi kepala sekolah di kampung baruku.

Jika kampung tempat aku dilahirkan merupakan sebuah tempat terpencil, maka kampung baruku ini adalah sebuah tempat yang jauh lebih terpencil. Walaupun di kampung tempat aku dilahirkan saat itu terpencil, namun setidaknya masih terdapat jalan koral yang sesekali dilalui truk pengangkut hasil bumi ke kota, atau sesekali dilewati oleh oplet yang mengangkut orang-orang pergi ke kota. Berbeda sekali dengan kampung baruku. Tak ada jalan berkoral menuju ke sana. Yang ada adalah jalan setapak yang melewati bukit, lereng, lembah dan sungai. Sehingga, kepindahan kami yang dijemput oleh murid-murid ayahku juga harus melalui jalan tersebut. Sekarang aku tahu, jarak dari kampung lama ke kampung baruku sebenarnya tidak terlalu jauh, mungkin tidak lebih dari sepuluh kilo meter, namun karena medan yang berat, jarak itu harus ditempuh selama berjam-jam.

Kami hanya mengandalkan kaki yang tidak beralas untuk menempuh perjalanaan dari kampung lamaku ke kampung baruku. Saat itu, karena aku masih kecil, dalam perjalanan kepindahan kami, aku berada di atas punggung ayahku. Sesekali aku harus terguncang karena ayahku harus menahan agar tidak jatuh ketika melewati jalan setapak yang licin, atau kadang-kadang terjal. Aku ingat, kala itu semua orang yang bersama kami membawa barang-barang rumah-tangga milik keluarga kami. Ada yang memikul dandang, ada yang menggotng kasur, ada yang membawa bantal, ada yang menggotong meja dan lain-lain. Mungkin untuk ukuran kehidupan di kota, kejadian tersebut tergolong langka dan aneh, karena anak-anak seusia itu telah dengan sukarela mengorbankan tenaga untuk membantu gurunya. Memang begitulah kehidupan anak-anak di kampung baruku pada masa itu. Mereka cenderung sudah terbiasa mandiri sejak kecil. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pun pada umumnya mereka sudah dapat melakukannya sendiri, misalnya untuk membeli buku tulis dan pakaian sekolah, mereka dapat membelinya sendiri dari hasil upah pikul pisang, atau membersihkan ladang atau apapun yang dapat mereka lakukan selepas sekolah atau di hari libur sekolah. Tidak ada istilah kehilangan masa kecil bagi mereka. Buktinya mereka masih tampak selalu gembira dan dapat bermain bersama teman-temannya di sela-sela kegiatan mereka bersekolah dan berusaha mencari uang. Salah satu permainan pavorit mereka adalah bermain sepak bola di sore hari, atau pada jam istirahat belajar. di lapang samping sekolah. Bolanyapun sungguh unik, karena bola tersebut adalah bola yang mereka buat sendiri dari daun pisang kering yang dipintal-pintal menjadi bulatan, kemudian dibungkus dengan kulit pohon pisang kering dan diikat (istilah kami dikarut) dengan tali-tali yang juga terbuat dari kulit pohon pisang kering. Tentu saja kulit pohon pisang yang digunakan adalah yang berasal dari jenis pohon pisang pilihan, artinya, tidak semua jenis pisang dapat menghasilkan kulit pohon yang baik untuk digunakan sebagai bahan membuat bola. Sementaara itu, bagi anak-anak perempuan, permainan pavorit mereka adalah bermain kasti dengan menggunakan bola yang juga unik, yaitu bola yang terbuat dari anyaman daun kelapa dengan stik yang mereka buat sendiri. Dalam hal ini, yang membuatkan stik biasanya adalah anak laki-laki.

Kala itu, sungguh perjalanan memang berat, tetapi aku tidak melihat diantara mereka yang mengeluh karena capek, yang ada adalah mereka bersuka ria, bahkan sepanjang perjalanan mereka asyik bernyanyi nyanyi, kadang menyanyikan tembang daerah, kadang menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Sesekali mereka juga bercanda, saling meledek dan kadang-kadang saling mengolok-olok dengan menyebutkan bahwa si anu pacarnya si anu.

Siang hari sekitar waktu dhuhur rombongan kami tiba di tempat tujuan. Tempat yang kami tuju ternyata sebuah rumah panggung berdinding dan beralas bilik bambu. Konon rumah tersebut adalah rumah dinas untuk kepala sekolah. Artinya, di rumah itulah kami akan tinggal. Sangat sederhana dan tanpa berisi apa apa di dalamnya. Di sebelah timur rumah tersebut terbentang panjang sebuah bangunan yang terbuat dari kayu. Bangunan itu katanya adalah gedung sekolah tempat ayahku mengajar. Setelah sehari kemudian aku berada di kampung baruku, aku jadi tahu bahwa bangunan sekolah tersebut sebagiannya berlantai kayu dan sebagiannya lagi berlantai tanah. Betapa sederhana, tak ada asesoris lain yang menghiasi bangunan tersebut, juga tidak ada sumur air serta WC. Di depan salah satu ruang kelas tergantung sebuah benda – sekarang saya tahu bahwa itu adalah velg mobil bekas – yang katanya adalah lonceng. Di depan rumah dinas, sebelah bawah terdapat sebuah lapangan yang cukup luas. Lapangan tersebut keadaannya kurang terawat, kurang rata dan agak miring. Namun sepertinya cocok dijadikan tempat bermain anak-anak kampung seperti saya.

Tidak banyak rumah di sekitar itu. Yang saya ingat hanya ada satu rumah di sebelah timur lapangan dan tiga rumah di sebelah bawah lapangan. Ada juga sebuah surau yang letaknya tidak jauh di sebelah kanan tempat tinggal kami. Terasa sepi memang, lebih sepi dari kampung lamaku. Yang ada di sekitar tempat tinggal kami hanyalah hutan dan kebun kebun milik masyarakat. Agak jauh di sebelah bawah lapang terdapat sebidang lahan sawah dan mata air. Setelah kedatangan kami ke kampung itu, dari situlah kami memenuhi kebutuhan harian air kami, karena walaupun hanya berupa rembesan, mata air tersebut tidak pernah sampai kering sekalipun kemarau cukup panjang. Di kemudian hari, lahan tersebut menjadi milik keluarga kami.

Hidup baru di kampung baru

Aku masih teringat, setiap kali ketika matahari mulai meredup dan sore menjelang petang, suara suara binatang mulai banyak terdengar, kalong-kalong dan kelelawar mulai beterbangan. Warna langit berubah menjadi jingga dan perlahan lahan meredup menjadi gelap. Sunyi, begitulah gambarannya, tapi di situlah letak kenangannya. Di tengah kesunyian kampung, ada beberapa anak tetangga dan mungkin anak kampung sebelah yang belajar mengaji di suaru dekat tempat tinggal kami. Kehadiran mereka sungguh menghangatkan suasana. Suara riang gurauan mereka telah mengubah keadaan sunyi menjadi sedikit ramai. Mereka belajar mengaji dengan penerangan berupa lampu cempor yang terbuat dari kaleng susu. Sebenarnya, jauh dari keadaan terang. Namun demikian mereka tetap belajar mengaji dengan riang. Mereka belajar mengaji dari selepas maghrib sampai isya dan selepas itu mereka tidak pulang ke rumah melainkan terus belajar dan menginap di surau. Dini hari buta mereka bangun untuk sholat shubuh berjamaah dan selepas itu mereka belajar mengaji lagi sampai sekitar jam setengah enam pagi. Sungguh pembiasaan hidup mandiri yang luar biasa. Kelak kemudian hari kebiasaan mereka itu aku ikuti juga dan aku menjadi terbiasa belajar dan tidur di surau setiap malam sehabis sholat isya.

Aku menjadi semakin terbiasa dengan kehidupan di kampung baruku. Kini aku telah memiliki teman bermain. Dia adalah anak tetangga yang rumahnya di seberang lapangan. Dia adalah anak perempuan yang usianya sedikit di atas usiaku. Sebagaimana anak-anak lainnya, semula aku canggung bermain dengannya. Namun karena kami sering bertemu, akhirnya kami menjadi terbiasa bermain dengannya. Karena teman baruku adalah perempuan, untuk beberapa waktu aku harus mengikuti permainan yang ia lakukan, yaitu permainan anak perempuan, misalnya bermain rumah-rumahan, masaka-masakan atau sejenisnya. Tak ada boneka yang dia miliki layaknya anak kota.

Selang beberapa waktu, aku juga mulai mengenal anak-anak laki-laki di kampung itu. Ada dua anak laki-laki yang mulai kukenal, mereka adalah kakak beradik dan kedua-duanya berusia di atas usiaku. Sayang, pada saat- saat awal aku mengenal mereka, aku kurang senang bermain dengan mereka, terutama dengan kakaknya. Kekurang senanganku lebih disebabkan oleh adanya kebiasaan yang berbeda, mereka cenderung suka bertindak kasar dan omongannya juga kasar, padahal di rumahku aku tidak diperkenankan berkata-kata dengan kata-kata yang kasar dan tidak sopan. Walaupun ibuku tidak tamat SD, ibuku sangat tahu tentang tata krama, ia selalu mengajariku hal-hal yang baik, mulai dari cara berbicara, cara duduk, cara makan, cara minum dan lain-lain. Namun demikian, sesekali aku bermain juga dengan mereka, terutama dengan adiknya yang perangainya cenderung lebih baik dan lebih mudah mengikuti kebiasaanku, khususnya dalam hal berbicara, ketika bermain denganku, biasanya dia tidak terlalu sering menggunakan kata-kata yang kasar dan mau belajar dariku dalam hal menggunakan bahasa halus. Permainan pavorit kami biasanya adalah sepak bola dengan menggunakan bola yang terbuat dari daun dan kulit pohon pisang kering. Sesekali aku juga ikut menggembala kambing-kambing temanku itu.

Hidup di kampung baru memang tidak mudah bagiku. Dalam beberapa hal aku butuh penyesuaian. Ketika aku tidak dapat bertemu dengan teman-temanku, aku hanya dapat bermain dengan ibuku. Sementara kakakku, karena usianya jauh di atas usiaku, ia sudah memiliki temannya sendiri. Aku sering melihatnya bermain jauh dari rumah. Kadang-kadang mereka bermain di sungai untuk mencari ikan atau sekedar untuk berenang. Karena aku masih terlalu kecil, ibuku tidak mengijinkan aku ikut dengan kakakku. Dalam keadaan seperti ini aku sering merasa kesepian.

Itulah kampungku, kampung yang kelak akan mengantarkanku menjadi anak yang berani dan tangguh dalam menghadapi tantangan, anak yang kemudian hidup dan besar di kota tetapi tidak malu disebut sebagai orang kampung, anak yang sangat bangga menceriterakan kampung halamannya kepada gurunya di kota, anak yang punya cita-cita ingin hidup lebih baik dari orang tuanya, anak yang ingin bersekolah setinggi-tingginya, anak yang ingin mengalami belajar di negeri orang, anak yang bercita-cita untuk melakukan perubahan dan anak dengan sejuta harapan.

Kampung dengan sejuta kenangan.

Bersambung!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

wah seruuu ceritanya,,ditunggu sambungan ceritanya pak..

21 Jun
Balas

Kampung yang bikin iri orang kota pak Dede.

21 Jun
Balas

ditunggu ya pak kelanjutan ceritanya bikin penasaran neh.

21 Jun
Balas

Saya pun demikian. Menunggu cerita selanjutnya. Kampung yang kaya cerita.

21 Jun
Balas

Kampung dengan sejuta kenangan...bikin penasaran ...keren

21 Jun
Balas

Dari kampung saja sudah menghasilkan tulisan sebanyak ini. Hebat sekali. Menunggu yg berikutnya

21 Jun
Balas

hampir sama dengan kebiasaan di kampungku, cuma kepala sekolah di kampungku biasanya berasal dari daerah lain yang lebih maju, atau orang kota, jadi anaknya jarang bermain dengan anak-anak asli kampung seperti kami

21 Jun
Balas



search

New Post