Dedi irwan

Alumni Sagusabuku Media Guru, Siak 2018. Penikmat literasi sastra , mencari hidup di Pangkalan Kerinci, Kab Pelalawan Riau...

Selengkapnya
Navigasi Web

Engkau Pergi di Saat Hatiku Sunyi

Lilian Tunggu Aku Pulang

sebuah cerita by Dedi irwan

“Lilian , tunggu aku pulang!”

Gadis mungil itu menoleh kebelakang, langkahnya terhenti dengan sorot mata riang menatapku. Lalu tangan kanannya mengayun ayun ayun memanggil ,“ayo cepat!” teriaknya dikejauhan. Dengan berlari lari kecil aku menyusulnya. Kami beriring menyulusuri jalan kota yang mulai panas. Sinar matahari kian menyengat, laju kendaraan padat beringsut ingsut, terasa gerah. Gadis kecil itu merasakan hawa yang sama denganku. Kemudian langkah kakinya tersentak. “Do, kita berhenti dulu,” ajaknya menarik tanganku duduk pinggir trotoar jalan . Sebatang pohon mahoni rindang memayungi, agak sejuk. Sepucuk saputangan keluar di ujung tas yang sudah terbuka resletingnya. Tetes - tetes keringat di kening dan lehernya tersapu sudah oleh tangan mungilnya.“Kamu mau do ?” tawarnya tanpa basa basi. Kembali sapu tangan putih kelabu itu berpindah ke keningku kemudian beranjak ke leher yang ada garisan dakinya. Kain itu berubah hitam. Tanpa ada risih sapu tangan itu akhirnya berpindah masuk ke dalam tas.

“Ayo kita pulang do !” ajaknya menarik kembali tanganku.

====

Lilian dari namanya kalian pasti sudah tahu bahwa dia bukanlah berasal dari puak melayu. Rambutnya panjang dikepang dua dengan poni berjuntai hampir menyentuh mata. Ingat film A chinese Ghost Story ? hantu cantik yang terperangkap dalam dunia cinta manusia. Film besutan Tsui Hark tahun 1987 ini salah satu actresnya ‘Joe Wong’- favoritku . Romannya lembut selembut ice cream haagen dazz yang dilumuri coklat dan caramel. Dan bukanlah seperti ice cream buatan mak Sari yang rasanya tak karuan. Andai wajahnya bisa di coel coel seperi ngemut es mungkin sudah bopeng bopeng kian kemari tak berupa. Lee adalah marganya dan penempatan marga ini haruslah didepan nama karena hormatnya mereka terhadap leluhur. Aku lebih suka memanggilnya Lilian dari pada Lee – seperti merek celana jean ayah.

Sahabat kecilku ini tinggal tidak begitu jauh dari rumahku. Ayahnya sendiri, aku tidak tahu pasti namanya, ejaan Kanton. Aku memanggilnya babah Lee. Badannya gemuk gempal , kepala plontos dengan kacamata bulat – Jhon lenon, melorot ke hidung .Ciri khasnya para toke besar. Ibu Lilian mati kena serangan jantung ketika dia masih menyusui. Saat ini babah Lee dibantu dengan pembantunya membuka usaha toko kelontong. Toko yang paling komplit isinya di kota kami mulai dari sayur kangkung sampai jarum penjahit.

Lilian, sederet cerita terukir hari hari masa kanak kanakku. Aku tidak memperdulikan ejekan teman teman kepadaku karena berteman dengannya. Teman teman dikelas sering mengejek dengan julukan, Lilian mata sipit !, Lilian mata sipit ! Dia bukannya marah malah tersenyum saja. Pernah suatu ketika ada beberapa anak dari kelas sebelah ikut ikutan usil menyoraki “Lilian tou tou. ! Lilian tou tou ! “ aku tahu tou artinya kepala. Kalau sudah menyangkut kepala dan nama orang tua aku langsung meradang. Bak pahlawan kesiangan aku hadapi dua orang anak kelas 6 yang baru saja siap bersunat itu . Blak,.. bluk,... blam!!. Sebuah benjolan sebesar bola pimpong hinggap di jidatku. Aku kalah, namun sakit hatiku terbayar sudah.

Lilian sering main kerumah. Ibu selalu menyambutnya dengan ramah seperti anak nya sendiri. Bermain kejar kejaran di belakang rumah , mendengarkan cerita dongeng ‘Timun Mas Sanggar Pratiwi’ di tape recorder 4 band ayah atau membantu ibu menggoreng tempe mendoan. Aku tidak habis pikir, mengapa ibu suka kepadanya ? entah karena aku belum mempunyai adik - kakak wedok atau karena gadis kecil itu sering mengambil hati ibu mencuci piring. “Lilian, anaknya baik do,” Itu saja jawaban ibu singkat. Biasanya sebelum azan maghrib berkumandang gadis manis itu pamit pulang .

===============

Masa SMA seiring dengan perjalanan waktu menginjak puberitas pertama, cerita masa kecilku berubah menjadi absurd, Cinta, ya , Cinta. Entah kenapa tiba tiba lidahku kelu, keringat dinginku bercucuran ketika bercakap cakap dengannya. Padahal sudah aku siapkan kata kata puitis ‘Khalil Gibran’ hasil contekan di buku Ibu.

Wajah rembulan itu selalu menampar hasratku untuk mengintipnya dari balik kaca nako kelas ketika keluar main. Alangkah senangnya hati melihat barisan gigi gingsulnya tersunging melihatku. Untuk pulang bersama sama aku tidak berani padahal mata bening itu selalu mengingatkanku. Yang sering merusak suasana ketika wajahnya muncul tenggelam di mangkok miso Bude Pri, rumus Phytagoras sampai dengan tempe mendoan ibu. Matanya, rambutnya, senyumnya, byar!! buyar sudah lamunanku ketika penggaris besi buk Sarmin singgah di pundakku.“Edo, apa yang kau lihat di depan?” tatapnya sangar. Aku pangling melihat wajah buk Sarmin kali ini sangat manis sekali.

Didalam kegembiraan hati, aku harus menghadapi realita kenyatanyaan pedih, tercampaknya aku ketitik nadir. Mencintai gadis non pribumi sama saja mencoreng wajah ayah dengan spidol warna warni. Budaya dan keyakinan sangat jauh berbeda. Ketika kuceritakan perasaan hatiku kepada ibu , Ibu malah tertawa terkekeh – kekeh. “Anak bujang ibu jatuh cinta ni yee !” senyum ibu tersungging jenaka. Bah, !! benci aku. Tetapi berusaha untuk melupakannya Lilian sama dengan mencampakanku ke pulau hantu, menjerit jerit , frustasi, lalu mati. Naif memang.

Salah satu obat untuk menghibur lara hatiku hanya dengan membaca novel . Novel usang ibu habis kusantap habis. Ibu jadi heran kenapa anak bujangnya sering ngendon dikamar saban sore. Wiliam Shakespeare dengan tokohnya Romeo and Yuliet, berakhir tragis mati minum racun, tidak masuk kriteria. Kedua, novel roman Siti Nurbaya pujangga angkatan lama Marah Rusli. Baru separuh halaman baca, langsung perutku mual mau muntah membaca tingkah laku datuk ganjen Maringgih, merampas hak gadis anak perawan. Dan terakhir kisah mengaru biru yang membuat aku tidak napsu makan, sebuah novel roman buya Hamka “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Seharian aku menangisi nasib malang Nurhayati mati tenggelam di laut, geram nya hati melihat tingkah pengecutnya si bledong Zainuddin yang cengeng. Aku ingin kisah cintaku ini semulus kisah percintaan Ratu Balqis dengan baginda Sulaiman, seromantis Galih dan Ratna, ‘Gita Cinta Dari SMA’atau....ah sudahlah kepalaku pusing. Novel novel itu kembali bersemayam di dalam ruang hampa gelap, kardus!

Perubahan tingkah laku Lilian kupikir hampir sama denganku. Dia jarang lagi ke rumah membuat ibu bertanya tanya. Kujawab enteng saja, Lilian sibuk membantu babahnya. Sebenarnya aku kalut, sebentar lagi Ujian Nasional tingkat SMA. Ibu sudah berjanji akan meyekolahkan ku ke Jawa, mengambil fakultas Kedokteran. Hati ku tidak tenang, aku bisa sinting dalam merangkai hati, bisa bisa ujian nasionalku hancur.

Sehingga suatu sore aku beranikan diri untuk singgah ke tokonya. Babah Lee sedang asik menghitung bon hutang piutang. Sementara pembantunya mengangkat karung gula, menyusunnya dari mobil box yang terparkir didepan

“Edo ?” tanyanya agak kaget, kacamatanya turun beberapa senti ke hidung.

“Iya bah,” jawabku.

Babah menghentikan pekerjaannya. Dengan segera kucium tanggannya. Babah tertawa sumringah mengusap kepalaku, “Hai, anak babah yang hilang”! katanya. Ya, anak babah yang hilang, beberapa tahun berselang aku memang jarang main ke warungnya babah. Tapi kali ini tujuanku bukan mencari babah. Aku hanya ingin melihat wajah Joey – wong- ku. Babah ngalor ngidul bercerita tentang toko. Aku hanya diam mengangguk angguk seakan akan mengerti padahal aku gelisah. Lama lama babah Lee mengerti dengan situasi kondisi yang tidak kondusif ini.

“Mau ketemu Lilian, Do ?” tanya nya kocak dengan mulut membetuk huruf oo.. bulat. Ia bersiul siul kecil.

Alamak mati aku,” Iya bah,” jawabku pelan sambil menunduk.

“Lilian baru saja pergi, Do ! ke pusara mamahnya.”

===========

Malam ini kutuangkan semua perasaan hati dalam bentuk surat biar hatiku tenang. Jikalau cinta hanya bertepuk sebelah tangan, gayung tidak bersambut aku tidak perduli. Kutitip kan surat lewat jongos cinta , teman sebangku ku Kurdi sepulang sekolah.

“Titip Di, untuk Lilian,” bisikku memasukan kertas warna ungu didalam saku bajunya.

Kurdi tersentak kaget, “Lilian ? Anak china itu ?”

Aku menatap mata Kurdi tajam, “Ya, memang kenapa ? “ aku balik bertanya.

Kurdi semakin bingung melihat perubahan wajahku memerah.

“Kamu mencintainya do ?”

Sebelum Kurdi berubah menjadi agen spionase, dua lembar wajah Sisimangaraja masuk disaku bajunya. Kurdi setan !

“Waktu berjalan setajam pisau mengiris denyut nadi peradaban, Aku tersudut didalam memori kehampaan dan kehilangan. Semburat cahaya indah mencoba menyibak tabir kelam pekat namun terasa sukar untuk menyelamnya. Beranjak dari rasa rindu kutaburkan perasaanku padamu (Lilian.tunggu aku di alun alun kota di tengah pertunjukan baroangsai – selepas Isya ).

Selain hari raya Idul Fitri dan hari raya qurban, hari Imlek lah yang paling kutunggu – tunggu. Ada kue bakul, kue mangkok, jiaozi ( mirip dengan pangsit yang ada di dim sum ), Yu sheng ( Salad campuranya buah, sayur sayuran dan ikan) , lapis legit. dan bermacam ragam buah ; apel, jeruk dan lengkeng. Babah dengan Lilian setelah sembahyang pasti datang kerumah mengantarkan makanan tersebut. Tentunya amplop berwarna merah- dengan huruf Han Zi mampir ke sakuku. Aku pura –pura menolak, malu dengan Lilian, padahal setelah mereka pulang isi amplop yang lumayan banyak itu berpindah tempat ke warungnya bude Pri.

Babah Lee pernah bercerita menurut hikayat lama ada raksasa pemakan manusia dari pegunungan yang bernama Nián muncul di akhir musim dingin untuk memakan hasil panen, ternak dan bahkan penduduk desa. Penduduk desa menyiapakan berbagai makanan, buah, gantungan lentera dan kertas gulungan merah didepan pintu agar raksasa tersebut tidak mengganggu lagi. Seandainya raksasa itu datang ingin menculik Lilian akan kupotong telinganya dengan pisau dapur ibu.

====

Bunyi petasan dan tabuhan gendang tidak menyurutkan langkah kakinya mencari- cari di sela sela kerumunanan manusia, berdesak desak, ribut riuh rendah, bertepuk tepuk. Dang ,.... dang dang,..... creng , dang....!. Tiga, empat lelaki memakai kaus kutang putih , ikatan kain merah di kepala dengan semangatnya menabuh tambur besar. Dua orang gadis muda oriental, memakai pakaian cheongsam baju panjang bermotif bunga peony memukul simbal , gemerincing. Atraksi musik padu yang di koloborasikan dengan gerak lincah dua ekor singa barongsai, merah dan kuning. Singa merah mulutnya seperti bebek dengan dahi tinggi. Memiliki tanduk lancip dan ekor panjang. Barongsai kuning dengan mulut moncong kedepan dengan tanduk yang tidak begitu lancip, ekornya lebih pendek.

Dung,,, dung ,,creng! barongsai merah berusaha mendekati kuning meliuk – liuk kian kemari. Tiba tiba saja ia menendang. Si kuning berusaha menghindar berkelit berjumplitan salto membentuk atraksi hebat di udara. Tepuk tangan kembali riuh rendah.

Sudah dua kali laki laki itu berputar mengitari kerumunan manusia di pertunjukan. Matanya tidak pernah lepas kian kemari mencari sosok wajah oriental ditengah kerumunan namun nihil. Apakah Kurdi tidak menyampaikannya? lelaki itu terhenyak pasrah. Wajah yang semula penuh pengharapan kini pucat tak berperi.

Dung ...dung dung creng. Si kuning kembali melenggok lenggokan ekor pendeknya, geal geol menarik perhatian si merah. Singa merah berputar putar kian kemari mengangkat kakinya tinggi seakan akan mengatakan singa kuning kegatelan.

Lelaki itu akhirnya menyerah kalah, bajunya sudah basah mandi keringat. Dia menjauh dari keramain barongsai melangkah masghul duduk di bangku alun alun dibawah sinaran lampu lampion merah syahdu. Apakah mimpi mimpi nya akan terjawab ?

Dari kejauhan matanya tertumbuk oleh seorang gadis anggun memakai baju cheongsam, ‘baju panjang’ dengan leher yang tinggi, kerah dan kancingnya berbentuk shanghai. Ikat rambutnya tidak berubah semenjak masih kecil, kucir kuda dengan poni hampir menutup mata melangkah menujunya. Laki itu bergetar menyebut namanya terbata ,L i – l i - a n...?!

Sinar bulan turun perlahan lahan berpadu dengan lampu lampion. Angin dingin mulai menggigit tulang. Atraksi barongsai sebentar lagi berakhir tetapi ini awal dari cerita mereka.

Sore itu lembayung turun menghujan langit, angin bertiup sepoi sepoi menyibak beberapa helai helai rambut panjang. Wajah itu seperti hari hari sebelumnya diam dan sunyi. Tapi matanya kali ini hilang. Kebeningan itu berubah menjadi titik titik air. Aku tidak sanggup lagi, kutatap maatanya lekat, “Lilian ,besok pagi aku harus berangkat ke Pulau Jawa.”

Wajah itu berubah menjadi pinggan pecah.“Aku tidak bisa mengikuti mu, Do. babah sangat membutuhkanku. Hanya ini yang bisa kutitipkan kepadamu.”

=========

Bulan Mei 1998, akhir dari segala mimpi – mimpi indah ku. Sebagai mahasiswa akhir kedokteran aku selalu dihadapkan dengan setumpuk tugas praktek pengabdian masyarakat. Membaca buku setebal roti bantal, coast hampir 1.5 tahun di rumah sakit, piket jaga, sangat melelahkan. Setelah melewati yudisium dan mengikuti Ujian Kompetensi Dokter Dasar Indonesia titel Dokter sudah bisa kusandang. Namun ibu belum memperbolehkan kan aku pulang. Ia menyarankan agar aku dapat mengambil spesialis. Berat rasanya hati ku mengikuti keinginan ibu

“Jangan kau risaukan gadismu itu, Do. Ada ibu yang menjaga.” kata ibu menjawab kerisauanku. Hatiku tidak bisa punah untuk sebuah nama yang selalu hadir dalam mimpi mimpi indah. Secarik kertas putih awal perpisahan dan photo kusam menemani tidurku.

Hati ku bukanlah seputih pualam. Hati ku bukanlah seindah bayanganmu. Sibaklah tabir kelam itu bersama cahaya hatiku. Karena aku tahu , hanya dirimu yang bisa aku labuhkan di tengah perbedaan. Bersama sama meraih cita dan harapan. Aku akan menunggumu pulang !

Lilian Lee

Dilatar belakangi berbagai faktor politik, sosial dan ekonomi. Naik nya bahan bakar, merosotnya nilai tukar rupiah dan kepemimpinan nasional yang berurat berakar membuat kegelisahan di dalam masyarakat. Mahasiswa mulai turun kejalan meneriakan adanya perubahan reformasi. Termasuk didalam kampusku Trisakti Jakarta.

Mahasiswa demo ke jalan hampir saban waktu sering kali ricuh. Bentrok dengan aparat tidak terelakan. Sadar dengan apa yang sedang terjadi aku jarang pergi kekampus, mengamati berita terbaru lewat media surat kabar dan Televisi. Bermacam macam prasangka buruk melintas dibenakku, mengambil cuti semester, pulang kampung atau menyelesaikan spesialisku dalam beberapa bulan lagi.

Suatu waktu ketika pulang ke tempat kos. Teman kostku dengan panik mengatakan “ada penembakan.” Keputusan ini harus ku ambil segera. Melewati jalan tikus di belakang rumah aku berlari lari mencari wartel menelpon ibu. Tetapi situasi sudah tidak kondusif. Banyaknya aparat di depan kampus, dipinggir pinggir jalan , mahasiswa memblokade jalan, ber orasi. Penyusup membuat kisruh dengan melempar botol dan batu.

Dan rupanya situasi ini merembet kedaerah daerah. Aku cemas alang kepalang, daerahku banyak etnis yang tidak serumpun . Kekuatiranku memuncak. Kutelpon ibu jaringan rusak, tidak diangkat.

Suasana kian memanas. Menjelang tengah hari masa diluar kampus tidak terkendali. Sebagan dari mereka mencegat sepeda motor, mobil, merusak dan membakarnya. Masa bergerak ke mall melakukan penjarahan. Di titik lain sekelompok masa menjarah toko toko. Beberapa TOKO dipampang tulisan “ milik pribumi” tidak menyurutkan merek untuk melakukan aksi brutal.

“Itu toko milik china!” teriakan masa menunjuk sebuah toko yang sudah tertutup rapat.

“Jangan, itu kepunyaan saudara kita! “

“Hari ini tidak ada saudara!”

“Bakar ! bakar !”

“Domprak pintunya.”

Rombongan massa tidak sabar mendomprak pintu, menendang beramai –ramai. Akhirnya pintu terbuka. Mereka bersegera mengambil apa saja yang ada didalam, mengobrak abriknya, memecahkan atalase toko, kaca jendela tanpa ada rasa ampun. Sejumlah orang orang naik keatas lantai dua.

Wajah berperawakan gempal itu memeluk seorang gadis dengan sekuat tenaga. Mereka duduk di sudut rumah itu dengan wajah memelas. “Jangan usik kami! ambilah apa yang kalian mau,”teriaknya. Pelukannya semakin erat.

Tapi kali ini nurani sudah hilang, angkara sudah merasuk , tidak ada lagi rasa kasihan dan iba. Norma hanya cerita. Beberapa orang masa menarik mereka turun, menendang - nendang.

Akhirnya dua beranak itu dibawa masa keluar. Mereka terpisah dan tidak tahu lagi nasibnya. Amuk masa tidak terkendali. Gejolak api berkobar kobar membakar toko. Beberapa serpihan kayu, atap. Sebuah pamflet terbang ke udara bersama loncatan bunga api dengan bacaan “Lee.”

=========

Dikota ini hati ku berlabuh. Dikota ini hidup dan hari hariku tertanam erat kokoh untuk sebuah nama. Tetapi di kota ini pula hati ku hancur menorehkan luka yang teramat dalam. Meninggalkan puing puing penyesalan yang tidak bertepi. Aku pulang Lilian tapi bukan untuk siapa siapa lagi. Duka itu menjalar, menjelanak kemana mana, dimata ibu, ayah dan warga kota. Tak ada yang bisa mereka ceritakan hanya tangisan tentang nasib anggota keluarga yang hilang.

Di RS JIWA pengabdian ku, hanya pengabdian bisa aku lakukan dengan nilai nilai penderitaan, kesetiaan dan. harapan, suatu saat nanti. Niat tulus dalam menghadapi pasien, mendengarkan segala jerit hati dan rasa sakitnya mengobati luka hari hariku.

“Dokter, pasien terakhir!” kata suster berdiri disampingku menyodorkan medical record. Waktu sudah menunjukan pukul 18.00 wib . Waktu praktekku hampir habis. Lamat lamat ku baca riwayat penyakitnya ‘Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).’ Kondisi mental dimana terjadi kejadian traumatik berat di masa lalu. Penderita bisa berulang kali mengingat kembali pengalaman traumatis tersebut melalui kilas balik, halusinasi, dan mimpi buruk.

Pasien itu di papah oleh suster duduk di kursi. Ia menunduk menekur ke kelantai. Mulutnya bergumam tidak jelas. “Selamat sore, ada yang bisa saya bantu ?” sapaku ramah.

Wajah itu mendongak menatapku. Aku terperanjat kaget, bibirku tercekat kelu. Gadis itu wajahnya menghitam dengan gores gores luka di kening dan pelipisnya. Tetapi mata itu, ya Allah ! mata bening itu tidak pernah berbohong untuk membingkai kenangan bersama puluhan tahun yang silam. Seorang gadis mungil dengan rambut ikat ekor kuda, tersenyum manis sambil berlari lari kecil meninggalkanku. Lilian , tunggu aku Pulang!

Medio maret, 2018.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post