DI ANTARA SUNYI DAN CAHAYA MELATI - KISAH MELATI SEORANG GURU PENDIDIKAN INKLUSIF
Angin musim kemarau menyapu lembut jalanan tanah merah yang memanjang menuju kaki bukit di sebuah desa Tanjung Pauh di Kabupaten Kerinci. Debu-debu beterbangan, menari bersama daun-daun kering yang gugur dari pohon sirsak dan jeruk bangka. Di antara langkah-langkah yang mantap namun pelan, terlihat sosok perempuan berjilbab cokelat lusuh, membawa tas jinjing dari rotan dan buku-buku yang diikat tali kain.
Cahaya Melati . Nama itu pernah nyaris hilang dari ingatan desa tempat ia lahir. Ia pergi jauh sejak lulus sekolah menengah, melanjutkan kuliah keguruan di kota Jambi yang tak disebut-sebut dalam percakapan keluarga desa. Tak banyak yang tahu bahwa ia kembali bukan untuk menjadi istri kepala desa atau membuka toko kelontong, apalagi menjadi petani padi dan ladang seperti harapan orang-orang, melainkan untuk mendirikan sesuatu yang lebih sunyi dari sekadar sekolah: tempat belajar bagi mereka yang sering disebut "anak-anak yang berbeda namun istimewa"
Di atas tanah kosong bekas kandang ayam milik almarhum ayahnya, Melati mendirikan rumah belajar kecil untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Beberapa tuli, beberapa tuna grahita, dan lainnya dengan kondisi yang tak bisa disebutkan tanpa menyentuh luka lara keluarga mereka. Di desa, mereka disebut "cacat", "malang", atau bahkan "kutukan". Tapi bagi Melati, mereka adalah cahaya yang akan bersinar kelak.
"Aku bukan pahlawan," katanya suatu kali, saat seorang wartawan lokal datang mewawancarainya. "Aku hanya ingin mereka tidak terus dianggap hantu di rumah sendiri."
Hari pertama membuka kelas, Melati hanya ditemani tiga murid: Rino, anak lelaki berusia tujuh tahun dengan sindrom down, Lela, gadis kecil yang tuli sejak lahir, dan Rara, anak bungsu dari keluarga petani yang mengalami kelumpuhan otak ringan. Tak ada papan tulis, tak ada meja kursi layak, hanya tikar dan papan tripleks bekas terpampang di dalam ruang.
Orang-orang meledek. "Ngapain si Melati ngajarin anak-anak cacat? Mereka mana ngerti apa-apa." "Apa dia udah gila? Anak-anak itu cuma beban!" "Buang waktu. Mending nikah, Melati."
Tapi Melati tak menjawab. Ia tahu, sunyi sering lebih keras dari hinaan berujung cerca dan sakit hati. Ia belajar menulis alfabet di telapak tangan Rino, mengajarkan Lela bahasa isyarat buatan sederhana, dan menuntun Rara mengenali warna lewat sentuhan dan nyanyian lembut.
Setiap hari ia berjalan kaki 3 kilometer ke kota untuk memfotokopi materi belajar. Gajinya? Tak ada. Bahkan beberapa orang tua murid enggan mengakui anak-anak mereka belajar di tempat Melati. Malu, katanya. Aib, kata lainnya.
Suatu siang, ia pulang dengan luka sobek di lengan, tersayat pagar kawat saat berusaha menyelamatkan Rara yang hampir jatuh. Di rumah, ibunya hanya diam menatap, lalu berkata lirih, “Nak... kamu perempuan. Hidupmu seharusnya tenang. Kenapa kamu pilih jalan berdarah begini?”
Melati tersenyum, meski matanya merah. “Karena kalau bukan aku, siapa lagi, Bu?”
Pada bulan ketiga sejak rumah belajarnya berdiri, badai prahara datang. Bukan dari langit, tapi dari kepala desa sendiri. Pak Karsa, pria paruh baya dengan suara keras, lantang dan ketidaksukaan mendalam pada hal-hal yang "mengganggu ketertiban desa", memanggil Melati ke balai desa.
"Melati, kegiatanmu itu nggak resmi. Nggak ada izin, dan banyak warga yang keberatan. Mereka takut anak-anak itu bikin masalah. Ada yang bilang, itu bisa bawa sial," ucapnya, dengan nada yang tidak memberi ruang bantahan.
Melati menggenggam erat ujung selendangnya, berusaha membaca situasi. "Pak, saya tidak minta dana desa. Saya hanya butuh ruang dan kesempatan mereka untuk belajar, tidak lebih."
Pak Karsa menggeleng. “Kalau kamu perempuan biasa, mungkin kami bisa bantu. Tapi kamu keras kepala. Terlalu berani, lancang. Jangan salahkan kami kalau nanti warga bertindak sendiri.”
Keesokan harinya, tikar kelasnya dicuri. Papan tripleksnya dibakar. Seseorang melempar bangkai ayam ke halaman rumah belajarnya, meninggalkan aroma busuk yang menyengat penciuman.
Melati duduk di tangga, memeluk Rino yang sedari tadi ketakutan. Matanya menatap kosong ke ujung jalan. Lela hanya bisa menatapnya sambil membentuk isyarat "takut" dengan tangan mungilnya menggigil. Rara menangis dalam suara tak sempurna, tapi cukup menyayat hati Melati.
Malam itu, Melati hampir menyerah, pasrah, semua seakan berakhir. Ia menulis surat pengunduran diri kepada hati dan jiwanya. Bukan dari pekerjaannya, tapi dari mimpinya. Sebelum amplop itu sempat disegel, ibunya datang, membawa satu benda kecil: kalung emas yang sudah lama peninggalan ayahnya.
“Ayahmu dulu pernah bilang, perempuan paling kuat itu yang berani kehilangan segalanya demi satu hal kecil yang benar. Kamu punya kekuatan hati itu, kamu punya jiwa itu dan kamu memiliki darah itu, Melati,” ucap ibunya lirih.
Surat itu dibakar. Keesokan harinya, Melati kembali berdiri di depan murid-muridnya. Kali ini dengan papan tulis baru dari sisa lemari tua, dan spidol bekas yang ia minta dari kantor sekolah formal di kota Sungai Penuh, dan satu demi satu, cahaya kecil itu mulai menyala kembali.
Suatu pagi yang berkabut, suara motor tua terdengar berhenti di depan rumah belajar Melati. Seorang pemuda turun, membawa tas ransel dan kamera. Namanya Ardi Winata, mahasiswa tingkat akhir dari jurusan pendidikan luar biasa yang sedang menyusun skripsi tentang guru-guru alternatif di desa.
“Aku dengar tentang tempat ini dari blog milik relawan pendidikan,” katanya sambil tersenyum. “Aku ingin belajar dari Ibu Melati.”
Melati sempat ragu. Banyak yang datang hanya melihat untuk liputan, ambil foto atau video, lalu pergi tak meninggal pesam apapun. Tapi Ardi berbeda. Ia meminta tinggal di gudang kecil di belakang rumah ibunya Melati, bantu membersihkan kelas, bahkan ikut mengajar, jiwa dan hati yang tulus terpancar dari batinnya.
Dalam beberapa minggu, Ardi memotret kegiatan anak-anak, merekam video sederhana, dan menulis tentang mereka: Rino yang akhirnya bisa menyebut namanya sendiri, Lela yang mulai menari dengan tangan dan gerakan kecil kakinya, Rara yang tertawa lepas dan keras untuk pertama kalinya.
Tulisan-tulisan Ardi menyebar di media sosial, dan untuk pertama kalinya, Melati menerima surat dari Provinsi. Bukan surat ancaman, tapi undangan Dinas Pendidikan Provinsi Jambi ingin mengunjungi rumah belajar Melati. Mereka tertarik memberi bantuan, bahkan mempertimbangkan menjadikan tempat itu sebagai sekolah luar biasa tidak resmi pertama di wilayah kabupaten Kerinci.
Hari itu, pintu kayu tua di rumah belajar Melati terbuka lebar, pohon-pohon seakan menari. Para orang tua yang dulu mencibir, mulai berdatangan. Pelan, malu, tapi dengan tatapan berbeda.
“Apa… anak saya boleh ikut, Bu Melati?” tanya seorang ibu sambil menggendong anak laki-laki dengan kaki kaku dan sorot mata tajam.
Melati menatap anak itu, lalu tersenyum. “Tentu. Semua anak boleh belajar di sini. Karena semua anak… berhak punya cahaya dan mereka istimewa.”
Malam itu, hujan turun deras, seperti sedang membawa segala kesedihan yang tertahan di langit. Melati sedang duduk di ruang kecil rumahnya, menyusun laporan perkembangan murid untuk keperluan dinas. Lela dan Rino sudah pulang, Rara dijemput lebih awal karena demam.
Tiba-tiba, terdengar ketukan panik di pintu.
“Ibu Melati! Ibu Melati! Ibu Melati! Cepat! Rino... Rino tenggelam di sungai Batang Merao!”
Jantungnya seketika mencelus, berdetak kencang seakan membelah. Tanpa sempat mengganti bajunya, Melati berlari kencang menembus hujan menuju sungai kecil di dekat sawah. Di sana, warga sudah berkumpul. Beberapa pria mencoba menyelam, beberapa ibu menangis histeris.
Rino, si kecil ceria itu, diduga terpeleset saat mengejar layangan. Setelah hampir dua jam pencarian, tubuh mungil itu ditemukan. Kaku, tak bergerak. Matanya tertutup, tangannya masih menggenggam pecahan benang warna dari kelas Melati. Ia belum sempat menyelesaikan gambar pelanginya. Tangisan Melati pecah di pinggir sungai. Bukan hanya karena kehilangan seorang murid, tapi karena ia tahu... Rino adalah anak yang paling percaya pada dirinya. Dari Rino pulalah Melati belajar banyak cara bekerja keras dan bersabar.
Di pemakaman, ia berdiri paling belakang dengan duka yang mendalam. Hujan belum reda, menyeringai seperrti air mata duyung tiada henti. Tak satu pun wartawan atau pejabat datang hari itu. Hanya tangis, tanah basah, dan selembar benang biru yang ditinggalkan di nisan kayu kecil. Selama beberapa hari, Melati tak mengajar. Kelas ditutup. Lela murung bungkam, Rara diam membisu. Ardi mencoba menghibur, tapi Melati hanya berkata, “Apa gunanya semua ini, kalau akhirnya mereka tetap tak aman? Dunia ini terlalu kejam untuk anak-anak seperti mereka.”
Pada hari ketujuh kepergian Rino, Lela datang dengan papan kecil bertuliskan satu kalimat, ditulis oleh Ardi atas ide Lela: “Rino ingin Bu Melati tetap mengajar. Dia bilang, Ibu adalah pelanginya, Ibu adalah cahayanya.”
Melati menangis. Kali ini bukan karena hancur tapi karena dia ingat: perjuangan dan pengorbanan ini bukan soal dirinya. Ini tentang mereka yang tak punya suara, tapi punya harapan. Tentang mereka yang punya masa depan, tapi tak ada kepedulian. Ia mengikat benang biru Rino di tangkai papan tulis. Kelas kembali dibuka keesokan harinya.
Beberapa bulan setelah kepergian Rino, kelas Melati perlahan tumbuh. Sekarang muridnya sudah sepuluh orang dengan berbagai kondisi dan keunikan. Ardi, yang semula hanya mahasiswa magang, memilih menetap di desa Tanjung Pauh, menjadikan rumah belajar Melati sebagai tempat risetnya jangka panjang.
Sampai suatu hari di penghujung tahun 2017, surat resmi datang dari Kementerian Pendidikan dan menawarkan Melati sebagai calon penerima Penghargaan Pendidikan Inklusif Nasional, atas dedikasinya yang dianggap luar biasa. Sebuah undangan ke Ibukota Jakarta, tempat ia akan berdiri di panggung, di depan para pejabat dan tokoh pendidikan, serta guru-guru hebat di Bumi Indonesia.
“Ibu adalah inspirasi,” tulis salah satu juri dalam surat. Tapi Melati tak segera menjawab. Ia termenung lama di beranda rumahnya. Pikirannya jauh, bukan soal panggung, tapi tentang anak-anaknya. Kalau ia pergi, siapa yang akan mengajar? Bagaimana kalau anak-anak kehilangan ritme yang perlahan merangkak berhasil ia bangun dengan susah payah?
“Pergilah, Bu,” ujar Ardi suatu malam. “Bukan untuk dirimu, tapi untuk mereka. Biar dunia tahu bahwa anak-anak ini ada, bahwa mereka nyata, berguna, dan luar biasa. Bahwa mereka juga bagian dari negeri ini yang harus diberi kesempatan yang sama dengan murid-murid lainnya.”
Akhirnya, dengan jaket tenun Kerinci sederhana dan jilbab putih polos, Melati berangkat ke Jakarta. Ia berdiri di atas panggung megah, menyampaikan pidato dengan suara bergetar banjir air mata:
“Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seorang perempuan biasa dari sebuah desa kecil, yang percaya bahwa semua anak, seberbeda apapun mereka, berhak disambut dengan hangat di ruang belajar…”
Tepuk tangan panjang menggema di ruang gedung disebuah hotel bintang lima. Namun dalam keramaian itu, Melati hanya memikirkan satu hal: senyum Rino yang dulu pernah berkata, “Bu Melati guru yang baik… aku sayang Bu Melati…” Di malam penghargaan itu, langit ibukota begitu cerah. Seakan satu bintang kecil turun diam-diam dari langit dan berdiam di pundak seorang perempuan sederhana dari desa kecil, yang tak pernah berhenti menyulam cahaya dari duka dan luka.
Setahun setelah menerima penghargaan nasional, rumah belajar Melati kini punya nama resmi: “Sekolah Cahaya Melati”, sebuah penghormatan yang disepakati oleh Dinas Pendidikan dan masyarakat. Dulunya hanya papan tripleks dan tikar robek, kini berdiri bangunan kayu sederhana yang dicat warna lembut, penuh gambar dan huruf-huruf besar di dinding.
Anak-anak datang bukan lagi dengan sembunyi, tapi dengan senyum. Orang tua mulai ikut terlibat, membantu berkebun di halaman sekolah, membuat alat peraga dari barang bekas, bahkan bergiliran memasak minuman dan makanan ringan untuk anak-anak.
Melati tidak sendiri lagi. Ardi kini menjadi guru tetap di sana, dan dua orang lulusan baru dari jurusan pendidikan luar biasa bergabung setelah membaca kisah Melati di berbagai media. Namun meski semua tampak indah, Melati tetap menulis surat setiap minggu. Surat yang ia simpan di dalam kotak kayu kecil di ruang kelas. Surat untuk Rino yang sudah pergi selama-lamanya.
“Hari ini Lela berhasil menyebut kata ‘air’. Rara sudah bisa menggambar rumah. Rino… terima kasih sudah menjadi cahaya pertama kami.”
Setiap pagi, Melati masih berjalan kaki ke sekolah. Jilbabnya tetap sederhana, langkahnya tetap pelan. Tapi kini, di sepanjang jalan itu, anak-anak akan melambai dan berkata, “Bu Melati! Selamat pagi!” Dan ia akan menjawab, “Selamat pagi, cahaya kecilku.”
Ia tahu, perjuangan belum selesai. Dunia belum sepenuhnya ramah. Tapi ia begitu percaya, selama masih ada satu anak yang tersenyum karena belajar, maka sekolah ini akan terus hidup.
Di depan pintu masuk sekolah, sebuah kalimat terukir di papan kayu:
“Di sini, semua anak berhak tumbuh. Karena mereka berbeda. Karena mereka istimewa.”
Dan Melati, guru perempuan dari desa kecil itu, menjadi saksi bahwa dari luka bisa tumbuh cahaya, dan dari sunyi bisa lahir harapan yang besar.
Lima tahun telah berlalu di akhir tahun 2022. Sekolah Cahaya Melati kini berdiri kokoh dengan tiga ruang kelas permanen, satu ruang terapi, dan sebuah taman sensorik kecil yang dirancang bersama komunitas relawan dari ibukota. Lela kini sudah SMP, menjadi asisten pengajar untuk anak-anak yang baru datang untuk belajar. Rara telah lancar membaca dan suka menyusun puisi pendek yang ia bacakan di depan kelas setiap Jumat pagi.
Dan Melati? Kini ia tak hanya dikenal sebagai guru di desa, tapi menjadi narasumber nasional untuk pendidikan inklusif. Namun ia tak pernah mau pindah ke kota atau bekerja di instansi besar, meski banyak tawaran berdatangan agar dia bisa lebih popular dan bisa mengembangkan karirnya di ibukota.
“Aku hanya ingin tetap menanam di tanah yang pernah kering. Aku hanya ingin menyiram di bumi tandus kasih” katanya suatu kali pada seorang wartawan.
Suatu siang yang teduh, seorang anak laki-laki datang bersama ibunya dari kota. Anaknya autistik, tak bisa bicara, dan tak diterima di sekolah manapun. Mereka mendengar tentang Melati dari media sosial.
“Maaf Bu, kami bukan warga sini. Tapi… apakah anak saya boleh belajar di sini?” sang ibu bertanya dengan suara gemetar.
Melati tersenyum, lalu mengulurkan tangan pada anak itu. Ia tidak bertanya apa-apa. Ia hanya mengajak sang anak duduk di bawah pohon dan menunjukkan daun, angin, dan suara jangkrik. Perlahan, anak itu menatap Melati dan tersenyum kecil. Sang ibu menangis pelan.
“Di sini,” kata Melati sambil menatap mata sang ibu, “tak ada anak yang datang terlambat. Mereka datang… ketika waktunya tepat.”
Di pintu sekolah, kini berdiri kutipan baru di bawah papan nama:
“Perjuangan tak selalu mengubah dunia, tapi ia mengubah seseorang. Itu sudah cukup.”
Setelah bertahun-tahun menanam harapan dari akar terdalam pada tahun 2023, perjuangan Melati kembali menarik perhatian pemerintah pusat. Kali ini, undangan datang dari Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan bukan lagi sekadar penghargaan, tapi sebuah kepercayaan baru. Melati diminta menjadi salah satu reviewer nasional untuk modul ajar Pendidikan Inklusif tahap Mahir dan Lanjut yang modul ajar itu berasal dari negara Kangguru, Autralia.
“Ibu Melati sudah memiliki sertifikat Pendidikan Inklusif Dasar dari PMM. Dedikasi beliau di lapangan menjadi bukti hidup bahwa praktik inklusi itu bukan teori semata,” tulis surat resmi dari kementerian.
Awalnya Melati ragu. Ia tidak terbiasa duduk di ruang rapat ber-AC, berbicara dalam istilah-istilah akademik yang rumit. Tapi Ardi meyakinkannya, “Bu, siapa lagi yang lebih tahu dari realitas pendidikan inklusif di lapangan kalau bukan Ibu sendiri?”
Dan benar saja. Dalam diskusi bersama para ahli dari Kementerian dan dosen dari berbagai universitas, Melati tak banyak bicara. Tapi ketika ia menunjukkan gambar buatan Rara dan catatan harian Arif yang kini sudah bisa mengenali huruf, semua panel terdiam. Mereka mendengarkan.
“Modul yang baik,” kata Melati lembut, “bukan yang paling banyak teorinya, tapi yang paling dekat dengan kehidupan anak-anak.”
Tak lama setelah itu, ia diberi kesempatan mengikuti pelatihan Pendidikan Inklusif tahap lanjut dan mahir. Kali ini pelatihannya berskala Internasional, diselenggarakan daring oleh pusat inklusi dari Australia. Pada akhir tahun 2024 kejutan besar datang, ia diundang sebagai peserta dalam program Kemeterian Pendidikan ke Australia, selama 8 minggu.
Di sana, ia mengunjungi sekolah-sekolah inklusi di Brisbane dan Melbourne. Ia belajar tentang ruang tenang (sensory room), manajemen perilaku positif, dan sistem Individual Learning Plan (ILP) yang terintegrasi. Tapi yang paling menyentuh hati Melati adalah ketika ia melihat seorang anak tunarungu membacakan puisi bahasa isyarat di panggung sekolah, dan seluruh siswa berdiri memberikan tepuk tangan dalam isyarat. Hening, tapi penuh makna dan menyentuh jiwa.
Dalam hati, Melati berkata, “Anak-anak di Indonesia juga pantas punya panggung seperti ini.”
Pulang dari Australia, ia tidak membawa cinderamata khas . Tapi ia membawa sketsa rancangan ruang terapi kecil, buku-buku pelatihan, dan semangat baru yang menyala di matanya.
“Sekolah Cahaya Melati,” katanya pada Ardi saat kembali ke desa, “akan punya ruang tenang dan panggung ekspresi anak.”
Melati tahu, belum semua orang siap menerima pendidikan inklusif. Tapi ia juga tahu, langkahnya kini telah menembus batas negeri. Tugasnya belum selesai, karena selama masih ada satu anak yang berbeda dan bertanya, “Apakah aku pantas belajar?”, maka ia akan terus menjawab:
“Kamu bukan hanya pantas. Kamu adalah alasan kenapa sekolah ini ada.”
Waktu berjalan. Musim berganti. Sekolah Cahaya Melati telah tumbuh menjadi rumah belajar yang tak lagi hanya dihuni oleh anak-anak dengan kebutuhan khusus, tapi juga oleh anak-anak dari sekolah reguler yang datang setiap pekan untuk belajar bersama, bermain bersama, tumbuh bersama.
Di papan nama sekolah yang dulu hanya dari tripleks, kini tertulis:
“Sekolah Cahaya Melati - Rumah Inklusif Berbasis Kasih dan Kolaborasi.”
Lela telah lulus SMA dan diterima di jurusan Pendidikan Luar Biasa di universitas negeri. “Saya ingin seperti Bu Melati,” katanya saat berpidato dalam acara kelulusan. “Mengubah luka menjadi pelita.”
Rara rutin mengirimkan puisi ke majalah anak nasional, dan puisinya tentang perbedaan pernah dibacakan dalam perayaan Hari Disabilitas Sedunia. Ardi, yang kini menjadi kepala sekolah muda, meneruskan jejak Melati dengan semangat yang tak kalah menyala.
Dan Melati? Ia tak pernah berubah. Masih mengenakan jilbab sederhana, sepatu kain tua, membawa termos teh dari rumah, dan selalu datang lebih pagi dari siapa pun.
Jika kau bertanya padanya, apakah semua ini sudah cukup, ia akan tersenyum dan berkata, “Cahaya tidak memilih tempatnya bersinar. Ia hanya butuh satu celah kecil untuk masuk.”
Dan selama ada satu anak yang belum diterima, satu guru yang belum paham, satu sekolah yang belum membuka pintunya.
Melati tahu, cahayanya masih dibutuhkan, karena sejatinya, pendidikan bukan hanya tentang nilai dan ijazah. Ia adalah jembatan. Ia adalah titian kokoh dan Melati, Melati… telah menjadi penyeberang paling setia lebih dari dasawarsa.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar