KEKASIH ITU KADO TERBAIK
Pak! Telapak tangan halus itu, mendarat keras tepat di pipinya sendiri. Nyamuk-nyamuk nakal terbang kian kemari, mengeluarkan suara berdengung yang dari tadi memang menggangu. Sesekali tinggal landas di atas kulit halusnya. Anteng hinggap, untuk menghisap darah. Tak perlu waktu lama, buncit juga perut nyamuk sialan itu. Kenyang, lalu terbang bersembunyi di tempat yang gelap, meninggalkan bentol di kulit halus gadis kampung itu.
Bukannya tidak menyadari kehadiran nyamuk-nyamuk. Tangan gadis berbadan langsing itu sedang sibuk menggengam sebuah setrika buatan tahun ’70-an. Menggesernya ke kanan dan ke kiri. Membuat pakaian yang sebelumnya kusut, menjadi licin. Dua tumpuk pakaian sudah selesai disetrika. Demikianlah kerutinan yang biasa dikerjakan Nuri. Ia lakukan demikian itu demi mendapatkan upah.
Setelah ayahnya meninggal setahun yang lalu, ia harus bekerja untuk biaya kuliahnya. Menjadi kuli jasa setrika. Bayarannya ia gunakan untuk ongkos kuliah. Sisanya dikumpulkan untuk biaya semesteran kuliahnya. Itu pun ia lakukan setelah jam kuliahnya usai. Mungkin pandangan sebagian orang menilai rendah pekerjaan yang digeluti Nuri. Namun ia tak mempedulikan cibiran orang itu. Baginya, kuliah itu lebih penting dari pada harus lelah mendengarkan cemoohan orang lain.
Bu Roso adalah pemilik Jasa setrika, tempat Nuri bekerja. Walau agak sedikit judes, ia selalu membayar karyawannya dengan upah yang memuaskan. Badannya yang agak lemu, sebenarnya tidak seimbang dengan suaranya yang melengking. Ia mempekerjakan Nuri karena dua alasan. Yang pertama karena Nuri gadis yang rajin dan terampil. Yang kedua karena ibunya Nuri adalah teman Bu Roso.
Sebenarnya kuliah Nuri hampir selesai. Ia hanya tinggal menunggu waktu wisuda. Selama ini, selain ibunya, tidak satu orang pun yang tahu, bahwa Nuri sudah bertunangan. Mungkin akan membuat kegaduhan di lingkungannya bila diketahui. Bukan karena status sudah bertunangannya, melainkan pemuda yang menjadi tunangannya itu adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan di kota. Tidak tahu seorang pun, karena Nuri rapi menutup mulut.
Sesuai dengan yang telah disepakati bersama. Nuri dan Panci merahasiakan pertunangan mereka. Sampai waktunya pernikahan tiba, yaitu bila usai kuliah Nuri. Semua itu dilakukan agar kuliah Nuri tidak terganggu dengan berbagai berita yang mungkin akan ramai. Meski Panci sering menawarkan untuk membantu membiayai Nuri kuliah, namun sering ditolak secara halus oleh Nuri. Alasannya adalah untuk membiasakan diri hidup mandiri.
Ting tong! Ting tong! Bel berbunyi. Nuri membuka pintu rumahnya. Tampak di depan rumahnya seorang berpakaian seragam pos. Rupanya seorang kurir pengantar barang. Menyerahkan sebuah paket yang dialamatkan kepada dirinya. Dia lihat nama pengirimnya. Tersungging senyuman manis di wajah Nuri. Tertera nama Panci di atas paket tersebut. Merasa telah selesai melaksanakan tugasnya, Pak Pos pun pergi.
Nuri duduk di depan teras rumahnya. Dibuka paket dengan perlahan. Sebuah benda kecil di dalam paket. Cincin emas dengan ukiran bunga pada batangnya. Cahaya menyilaukan mata berasal dari batu bening, yang menempel di tengah cincin yang tersinari mentari pagi. Ya, ternyata itu adalah cincin berlian. Secarik kertas terlipat. Sebuah tulisam tangan dari Panci. Di jaman modern ini, memang sudah jarang berkomunikasi lewat kertas. Tapi Nuri dan Panci selalu membiasakannya. Alasannya, selain karena hobi menulis, mereka ingin anak-anaknya kelak bisa juga terbiasa menulis.
NURI Sayang....
Tiga tahun kita tak bertunangan. Satu kalipun kita belum bersua. Bukannya Akang tidak rindu. Dan kutahu juga kau begitu. Namun, ini sudah jadi komitmen kita. Dan janjiku kepada ayahmu. Menjaga hubungan ini, agar senantiasa suci. Karena kuhanya ingin, perjumpaan kita adalah juga penyatuan. Dalam sebuah ikatan suci pernikahan. Kita paham, ini adalah kehendak Tuhan. Insya Allah, kita bisa berjumpa dalam indahnya keluarga. Sebuah ikatan yang indah dalam ridho ilahi.
Bukankah wisudamu telah selesai? Tadi akang menelepon ibumu. Beliau sudah menentukan tanggal pernikahan kita. Sebulan lagi Akang akan pulang. Insya Allah, kita langsungkan akad pernikahan. Karena kamu ingin selalu sederhana, hanya cincin itu hadiah dari Akang. Istimewa, karena akang beli dari gaji pertama Akang.
Kau tahu, aku sering mendengarkan lagu dari grup musik Edcoustic? Sangat cocok dengan kita. Ini lho liriknya, khusus buat kamu.
Di kedalaman hatiku tersembunyi harapan yang suci
Tak perlu engkau menyangsikan
Lewat kesalihanmu yang terukir menghiasi dirimu
Tak perlu dengan kata-kata
Sungguh walau kukelu tuk mengungkapkan perasaanku
Namun penantianmu pada diriku jangan salahkan
Kalau memang kau pilihkan aku
Tunggu sampai aku datang nanti
Kubawa kau pergi kesyurga abadi
Kini belumlah saatnya aku membalas cintamu
Nantikanku dibatas waktu
Sudah dulu ya. Tunggu akang di mahligai pelaminan. Insya Allah, kita menjadi keluarga di dunia dan akhirat.
SALAM RINDU,
Panci
Berkaca-kaca mata indah itu. Bagaimana tidak, surat itu mengingatkannya kepada kenangan tiga tahun silam. Saat pertemuan pertama dengan Panci, di teras rumah Nuri. Termenung seorang pemuda membelakangi Nuri, menghadap jalan raya. Tersentak Nuri, rupanya pemuda tersebut nekad menabrakan dirinya ke kendaraan yang lalu lalang. Untunglah Nuri berhasil menyelamatkannya.
Ditolong Nuri, pemuda itu malah marah-marah. Usahanya untuk mengakhiri hidup, digagalkan Nuri. Tak disangka pemuda itu berniat melayangkan telapak tangannya hendak menampar. Namun pemuda itu kalah cepat. Nuri yang telah lama belajar bela diri, berhasil memukulnya hingga pingsan.
Setelah pemuda itu siuman, bapak dan ibu Nuri sudah berada di sampingnya. Orang tua Nuri meminta maaf atas kelakuan anaknya, Nuri. Bertanya tentang alasan pemuda itu, yang nekad hendak mengakhiri hidupnya tadi pagi. Sambil menangis laiknya anak kecil. Pemuda itu menceritakan pengalaman hidupnya. Panci namanya. Sambil menunduk malu, ia melakukan hal itu hanya karena diputuskan gadis pujaannya. Yoyot panggilan gadis pujaannya. Gadis manis anak Bu Roso, bos pengusaha jasa setrika, di samping rumah Nuri.
Panci hidup sebatang kara. Ayah ibunya telah lama meninggal. Ia tinggal di rumah kontrakan, di samping rumah Bu Roso. Kerja sehari-harinya hanya sebagai tukang parkir. Rupanya Yoyot seorang petualang cinta, yang hanya memanfaatkan Panci. Tentu biasa bagi Yoyot, memiliki kekasih lain. Ah, harus ketahuan juga, Panci memergoki Yoyot sedang bermesraan di taman. Bukannya meminta maaf, Yoyot malah menghina Panci, sebagai tukang parkir miskin, yang tak punya harga diri. Bagai diiris sembilu. Umpatan-umpatan Yoyot sangat menyakitkan hati Panci. Akhirnya ia pun kehilangan akal sehatnya. Nekad mengakhiri hidupnya. Sampai akhirnya, ditolong oleh Nuri.
Ayah Nuri adalah seorang ustad ternama di kampung. Dengan lembutnya memberi nasihat kepada Panci tentang makna hidup. Kembali Panci menangis, menyesali segala perbuatannya. Ia sadar, nyawanya terlalu murah, bila harus menyerah kepada gadis menyebalkan itu.
Waktu berlalu, Panci pun menjadi seorang pemuda yang lebih bersih. Sering belajar mengaji kepada Ayah Nuri. Ya karena seringnya Panci berkunjung, Nuri dan Panci pun sama-sama menaruh hati. Bagi Panci, Nuri adalah gadis luar biasa yang belum pernah ia jumpai. Cerdas, kuat, rajin dan bahkan solehah.
Banyak pemuda yang jatuh hati kepada Nuri. Namun selalu ia tolak, dengan alasan tidak mau melanggar syariat, dengan berpacaran. Banya dari pemuda itu ditantang untuk mau langsung melamar kepada ayahnya Nuri. Namu, tak ada satupun yang sanggup melakukannya. Dengan bismillah, Panci memberanikan diri, menemui ayah Nuri, melamar gadis semata wayangnya. Ayah Nuri pun merestui, dengan syarat harus langsung menuju pelaminan.
Panci mantap dengan keputusannya. Ia ingin hubungannya dengan Nuri senantiasa dalam batasan yang benar menurut Allah. Panci meminta waktu untuk merantau. Ia ada panggilan kerja di kota. Panci berjanji, setelah tiga tahun merantau, ia akan pulang untuk menikahi Nuri. Sayang sekali, belumlah tiga tahun, ayah Nuri meninggal dunia.
Nuri pun harus bekerja untuk membiayai kuliahnya. Walau Panci sudah sukses diperantauan, Nuri tidak pernah merengek meminta bantuan biaya. Bahkan selalu menolak bila ditawari untuk dibantu, dengan alasan agar hidupnya lebih mandiri. Nuri tahu, tidak pantas bila menafkahi dirinya saat Panci belumlah sah menjadi suaminya.
Penantiannya selama tiga tahun ini tidaklah sia-sia. Air mata keharuan yang jatuh dari mata indahnya mengalir begitu saja. Jatuh membasahi surat dari Panci. Setelah menarik nafas panjang, Nuri pun masuk ke dalam rumah. Memberitahukan kabar, yang sebetulnya ibunya sudah tahu. Nuri pun mempersiapkan diri. Satu bulan lagi ia akan menikah. Ah, memang bahagia mendapatkan cincin berlian dari kekasih. Namun yang lebih membahagiakan adalah, perjumpaan dengan kekasih di pelaminan kelak. Masya Allah, berbunga hati Nuri, bahagia tiada terkira.
Undangan pernikahan pun sudah disebar. Bu Roso dan anaknya Yoyot pun tak luput dari undangan itu. Yoyot tertawa terpingkal-pingkal. Membaca nama pasangan calon mempelai prianya, adalah pemuda yang sangat ia kenal. Mantan kekasih di masa lalunya. Yoyot memang selalu sinis kepada Nuri. Mengolok-ngolok Nuri, karena calon mempelainya adalah pemuda kumal dan miskin, serapah Yoyot. Cincin yang dipakai Nuri, dianggap hanya imitasi belaka. Nuri tidak mau ambil pusing. Toh, dia sudah kenal benar sifat Yoyot.
Dua minggu lagi saat pernikahan tiba. Nuri semakin berdebar. Segala hal sudah ia persiapkan. Cincin hadiah dari Panci selalu ia pandangi. Ada kebahagiaan tersendiri. Cincin itu menjadi pelepas rindu. Ia ingin saat pernikahan tiba ia dapat tampil dengan tampilan yang terbaik. Pedicure medicure agar dalam tampilan terbaik, ia lakukan juga. Demi manyambut kekasihnya datang kelak. Pakaian, panggung, masakan, dan segala pernak-perniknya, tampak begitu mewah. Semua itu, Panci yang membiayai.
Mentari enggan menampakan wajahnya. Mendung hitam masih menutupi langit. Alam masih basah, bekas hujan tadi malam. Besok adalah hari yang dinanti, hati Nuri semakin dag dig dug. Selama ini ia hanya bisa lihat kekasihnya itu lewat hape. Ah, entah perasaan apa yang bergelayutan, khawatir, cemas dan bahagia campur aduk tak karuan. Ia terus memeriksa, jangan sampai ada persiapan yang terlewatkan. Nuri ingin berjumpa dengan Panci dalam keadaan yang terbaik.
Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk. Ibu Nuri memanggil. Jantung Nuri semakin berdebar. Rombongan Panci akan segera tiba, lima menit lagi kurang lebih. Yoyot ternyata hadir. Ia tidak menyangka resepsi pernikahan Nuri begitu mewah. Tapi Yoyot tetap yakin, kalau Panci masih tidak berubah, pemuda kumal dan jelek seperti yang ia kenal. Bu Roso dan para tetangga yang lain juga tak ketinggalan. Semua berjajar menyambut calon mempelai pria yang sebentar lagi tiba. Nuri telah selesai berhias. Aduhai! Cantik nian, semua mata takjub memandangnya. Namun banyak orang yang hadir menyayangkan, Nuri harus berjodoh dengan Panci yang selama ini mereka kenal sebagai pemuda miskin yang dekil.
Suara petasan meletup ramai sekali. Tanda mempelai pria sudah tiba. Hati Nuri berdegup kencang sekali. Para orang tua dan anak-anak ramai ingin melihat. Kembali Yoyot menyeringai, dengan wajah sinisnya melihat Nuri, lantas berbisik kepada Nuri. “Nur, selamat ya, kamu dapat mantanku yang kucel dan jelek, semoga bahagia, hi hi hi hi!” ujar Nuri terus berolok. Nuri tidak terlalu mempedulikan, ia hanya membalas dengan senyuman manisnya. Melihat ke arah jalan. Rasa yang lain terkalahkan oleh rasa rindunya yang membara.
Tiba sebuah mobil sedan yang mewah. Ah, itu mungkin salah satu mobil tamu undangan, pikir Yoyot. Disusul oleh sekitar sebelas mobil mewah dibelakangnya. Semua mata terbelalak. Tak disangka, ternyata itu adalah rombongan mobil mempelai pria. Pintu mobil paling depan terbuka. Keluarlah seorang pemuda tampan, dengan pakaian jas hitam berdasi. Rambutnya hitam berminyak, tersisir rapi. Ia melangkah paling depan, diikuti rombongan yang berseragam batik.
Mata Yoyot terbelalak. Pemuda yang melangkah paling depan itu sungguh tampan sekali. Ia pikir, itu adalah bosnya Panci. Namun, setelah lama ia menatap. Wajah pemuda itu mirip sekali dengan Panci. Bedanya adalah, mempelai pria ini lebih bersih. Lebih berisi badannya. Dengan kata lain, mempelai pria ini, tampan dan gagah. Ditanyakanlah hal itu kepada ibunya Nuri. Dan ternyata memang benar, pemuda itu adalah mempelai prianya, alias Panci. Dengan rasa malu dan tidak percaya, kepala Yoyot terasa pusing penuh tekanan, napas terasa pengap. Yoyot pun pingsan.
Lain hal nya dengan Nuri. Setelah tiga tahun tidak berjumpa. Wajah Panci semakin tampan tidak terkira. Demikan pula dengan Panci, Nuri begitu cantik mempesona. Perjumpaan mereka di pelaminan adalah pelepas kerinduan. Akad pun dilaksanakan. Nuri dan Panci sah menjadi sepasang suami dan isteri.
Dipandangnya cincin berlian yang melingkar dijarinya. Cincin berlian yang sangat mahal harganya. Hadiah dari Panci dulu. Sesaat kemudian, ia alihkan pandangannya kepada suaminya. Ah, ternyata perjumpaan dengan Panci dalam sebuah biduk rumah tangga, jauh lebih membahagiakan dari hadiah cincin itu.
Cerita di atas adalah sebuah tamsil, bahwa tak ada cinta tanpa pengorbanan. Kesetiaan untuk senantiasa berkorban itu adalah kesabaran. Tak mungkin seseorang itu dapat sabar berkorban, tanpa keikhlasan dalam batinnya. Tegasnya, seseorang yang benar cintanya, ia harus ikhlas hatinya, tanpa pamrih.
Syurga itu adalah hadiah yang indah, mahal harganya. Namun perjumpaan dengan Allah kelak, bagi para penduduk surga adalah jauh lebih indah lagi. Seperti perjumpaan Nuri dengan Panci, jauh lebih membahagiakan ketimbang hadiah cincin berlian yang mahal.
Dorongan atau motivasi yang kuat dalam berbuat adalah manakala seseorang berharap surga dan takut bila masuk ke dalam neraka. Semua itu bisa memagari seseorang agar terus berada dalam kesabaran. Ia tak ingin terlena dengan kenikmatan hidup, hingga lupa mengabdi kepada Allah, tahu bahwa kenikmatan hidup di surga jauh dibandingkan dengan kenikmatan di dunia. Maka ia tidak akan mudah tergoda, bahkan menggelora rasa syukur. Seseorang juga akan kuat terus melangkah, saat ia harus menderita di dunia ini. Karena ia yakin, kesengsaraan hidup di neraka jauh lebih menyakitkan. Maka ia akan bersabar.
Syahdan, surga hanyalah hadiah. Dari Tuhan Pemilik Semesta alam. Seperti halnya Nuri, jauh lebih bahagia saat menikah dengan Panci dibandingkan dengan hadiah cincin dari Panci. Motivasi untuk berjumpa dengan Allah dalam kondisi yang terbaik, adalah dorongan yang paling kuat. Mengalahkan kenikmatan surga.
Di dalam hadits yang disampaikan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu diceritakan bahwa manusia berkata:
“Wahai Rasulullah, apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari kiamat?” Beliau menjawab: “Apakah kalian berdesak-desakan ketika melihat bulan pada malam purnama di saat tidak ada awan di bawahnya?” Mereka menjawab: “Tidak, ya Rasulullah?” Beliau berkata: “Apakah kalian pun berdesak-desakan ketika melihat matahari di saat tidak ada awan?” Mereka menjawab: “Tidak.” Beliau berkata: “Maka sesungguhnya kalian akan melihat-Nya seperti itu.” (HR. Bukhari).
Demikianlah harapan terbesar seorang yang beriman. Yang memiliki dorongan dan tarikan untuk berjumpa dengan Yang Maha Pengasih. Allah yang telah menciptakan dirinya dan seluruh alam semesta. Sungguh perjumpaan dengan kekasih adalah perjumpaan yang paling indah. Kado yang terbaik dari kekasih adalah kekasih itu sendiri.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar