Deni Wardani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
MAIN API DAN MANDI HUJAN

MAIN API DAN MANDI HUJAN

Masya Allah, sungguh dingin dan menyegarkan angin sore ini. Hembusannya lembut menembus ke dalam pori-pori kulit. Tarikan nafas seolah tanpa hambatan, bablas mengalir di sekujur tubuh. Sang hujan sore lah penyebab semua ini.

Air yang tergenang masih membasahi halaman rumah Pak Jaja. Awan hitam menggelayut di langit Karawang, yang seolah enggan untuk pergi. Memberi kesempatan kepada Sang Mentari untuk terpejam di baliknya.

Astagfirullah! begitu sesak dada Pak Jaja terasa. Tertekan perasaannya yang campur aduk. Menggulung kalimat tanya yang semakin menghimpit batin. Merenungi nasib diri yang hampir tertimbun longsor kemaksiatan.

Mata yang semakin haru biru menatap jalan kecil di depan rumah. Halaman yang beberapa menit yang lalu kotor, tergilas roda kendaraan yang tergulung tanah basah. Tanah yang menempel di jalan bebatuan itupun kini bersih di sapu Sang hujan. Subhanallah.. akhir kesudahan hujan itu sungguh luar biasa. Ia mampu membersihkan segala yang tersiraminya. Itu semua menjadi tamsil pelajaran diri bagi Pak Jaja.

Ah, begitu terasa berat beban dosa diri Pak Jaja. Memaksanya tertunduk malu menatap dedaunan yang basah. Kejadian siang tadi sungguh menggores luka yang sangat dalam menusuk hati. Diawali dengan candaan dan curhatan. Diakhiri dengan bergandengan tangan. Sebagai seorang Kepala Sekolah, Pak Jaja tahu itu dosa, menggandeng tangan wanita bukan muhrim, guru di kantornya. Ya, itu semua masih membuat jantungnya berdegup keras. Malu tiada terkira.

Bu Anies adalah seorang guru wanita yang lumayan cantik. Guru honorer yang hidup berkecukupan karena isteri seorang pelaut. Namun Bu Anies selalu kesepian, bukan hanya belum dikaruniai anak, tapi karena suaminya pun jarang pulang. Bayangkan hanya setahun sekali.

Sebagai kepala sekolah, tentu kewajiban Pak Jaja adalah ikut membantu menyelesaikan permasalahan para guru. Sudah lama Bu Anies mencurahkan permasalahannya, tentu wajar dong, begitu pikirnya. Niat bulus itu terselimuti ucapan seolah tulus. Naudzubillah.

Setelah dua bulan curhat, komunikasi semakin terasa nyaman. Sering dilanjut melalui hape, bahkan bertanya hal yang terlalu sepele. Makan atau belum? Sudah mandi kah? Sudah berangkat kah? dan lain pertanyaan yang biasa. Kepo istilah anak gaulnya.

Kesepakatan terjadi, Pak Jaja pun bertandang ke rumah Bu Anies. Ah, tapi kenapa batin Pak Jaja selalu saja tidak merasa tenang. Setelah basa basi, pembicaaraan pun mulai menjurus ke ranah pribadi. Bu Anies menumpahkan segala kesepian hatinya, karena jarang berjumpa dengan suami. Tentang kekecewaannya kepada suami, yang memiliki isteri muda dan persoalan kehidupan lainnya.

Posisi duduk pun mulai bergeser. Bu Anies mulai berani bersandar di pundak kepala sekolahnya sambil memegang tangannya. Dag dig dug der! rasa bersalah dan sifat jahat berperang dalam diri. Membuat gemuruh jantung berdetak tak karuan. Main api mengarah ke kebakaran. Bahaya!

Tok! Tok! Tok! Suara seperti pintu diketuk. Terperanjat mereka dibuatnya. Membuat posisi duduk mereka kembali bergeser saling menjauh. Bu Anies membuka pintu. Pak Jaja pun mengikuti. Memberanikan diri menghampiri lubang pintu. Jreng! Tak ada siapapun di depan pintu. Ternyata suara pintu itu adalah ranting-ranting pohon yang terbawa angin. Kencangnya angin meluncurkan ranting-ranting menabrak pintu rumah Bu Anies.

Tersentak hati Pak Jaja. Batinnya berteriak keras, ranting itu kiriman Tuhan untuknya. Tak ada lagi gairah untuk melanjutkan momen curhat-curhatan, ia pun bergegas pamit pulang. Menancap gas motor tuanya, di tengah guyuran hujan sore.

Masih termenung di teras rumah, diajari alam sore pasca hujan. Menyegarkan sekaligus menyesakkan. Memaksa seorang lelaki untuk meneteskan air matanya. Bertanya dalam hatinya, akankah hujan juga turun ke hatinya? Membersihkan batin dirinya, seperti jalanan kotor yang bersih tersiram hujan itu? Ternyata bermain api itu sangat berbahaya.

“Pa, bapak, sudah sholat belum?” suara lembut itu menyadarkannya dari lamunan. Bidadarinya yang selama ini setia menjadi pendamping perjuangannya. Ya, Bu Ijot, isteri tercintanya. Wanita lugu asal kampung. Memegang lembut tangannya, dengan tatapan penuh cinta. “Eh alah pa, kenapa menangis? Ibu ganggu bapak ya? Maafkan ibu ya pa”. Pertanyaan Bu Ijot tak mampu ia jawab. Malah menatap sendu wajah isterinya, itu pun itu sekilas.

Tak sanggup Pak Jaja bicara. Sambil melirik ke arah halaman rumah ia bergumam, “Terima kasih Tuhan, Engkau berkenan mengutus Sang Hujan. Memadamkan api fitnah”, sambil tersenyum. Pak Jaja menghilang di balik pintu rumah dengan janji dalam batinnya. Kapok main api!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post