Denny Boy Roha

Adalah guru dan juga principal di SMA Negeri Jakarta. Alumini IKIP Padang, jurusan Akuntansi. Wakil Ketua MGMP Ekonomi DKI, Intstruktur Kurikulum 13, ...

Selengkapnya
Navigasi Web
KEPERGIAN AYAH
https://jatim.nu.or.id/

KEPERGIAN AYAH

KEPERGIAN AYAH

Suasana kampung Betawi dua puluh lima tahun yang lalu, sangatlah berbeda. Dulu jumlah rumah dapat dihitung dengan jari tangan, jarak rumah tetangga sangat berjauhan. yang jelas setiap halaman rumah pasti ada pepohonan, yang merupakan salah satu perkampungan Betawi. Bila malam datang, rasa sepi segera menelusuk, yang ada hanya bunyi burung malam yang menakutkan. Menurut cerita dari mulut ke mulut, bahwa bunyi burung itu ada yang memberi tanda bahwa seseorang di daerah itu ada yang meninggal.

Saat ini, tetiba saja aku teringat akan ayah. Tepat Sabtu pagi serasa ada yang aneh, ayah selalu memperhatikanku dari arah ruang tamu, ketika mataku bersirobok pandang, ayah memalingkan muka, aku heran, namun segera kuabaikan, mungkin ini perasaanku saja.

Aku berkemas diri untuk siap menuju sekolah dimana aku mengabdikan diriku sebagai guru honorer di sebuah sekolah swasta. Bagiku menjadi guru sudah merupakan cita-citaku, namun ayah tidak menginnginkan anak perempuannya menjadi guru, ia ingin aku menjadi pegawai kantoran. Hmmmm aku hanya bergumam. “maaf ayah, bagiku menjadi guru sangatlah mulia, walau dengan penghasilan yang sering tidak cukup”, bisikku dalam hati.

Seperti biasanya, ayah berangkat ke sawah dengan memanggul cangkul di pundak, mesin potong rumput di sandang, dan air minum jika kehausan di siang hari. Pagi ini cuaca di langit kurang bersahabat, gerimis-gerimis kecil mengiringi langkah ayah ke sawah. Ayah memang seorang lelaki ulet dan bertanggung jawab pada keluarga, aku bangga memilikinya. Setelah bayangan ayah menghilang di balik rimbun pepohonan, aku kembali ke dapur membantu ibu.

Matahari sudah sepenggalan, diperkirakan sudah pukul Sembilan. Biasanya ayah sudah kembali ke rumah, tapi hari ini belum sampai juga. “apakah sedang berteduh dari rinai hujan?” bathinku. Terdengar suara ibu menyuruh adikku menyusul ayah ke sawah dan membawa topi capingnya. Aku menoleh sejenak dan lalu terdiam. Baru saja aku memulai menata meja mempersiapkan makanan untuk ayah, suara lengkingan adikku memanggil ibu memecah suasana pagi. “Bu… ibu… tolong bantu ayah”! soraknya. Aku bergegas menemuinya di halaman, dan kemudian bersama sama kami menuju ke sawah. Kulihat ayahku dengan mata melotot, serta nafas tersengal, duduk bersandar di pematang sawah. Dengan di bantu penduduk lain, ayahku dibawa ke rumah sakit.

Pada rumah sakit pertama, ayahku ditolak, alasannya aku tidak paham. Kemudian akhirnya ayah kami bawa ke rumah sakit yang ke dua dengan harapan, penyakit ayah dapat ditangani dokter. Dalam perjalanan nafas ayah semakin sesak, matanya tajam menatapku bergantian menatap ibuku. Kudekap dia dan kubisikkan di telinganya “Ayah kalau ayah mau pergi, aku dan lainnya ikhlas, Insha Allah ibu dan adik-adik akan aku urus dengan baik”. Air mataku terus mengalir, satu persatu kelopak mata ayahku menutup, terakhir kelopak mata kanannya menutup, kulihat dia seperti menelan ludah, lalu pergi untuk selamanya. Aku berteriak histeris… aku kehilangan sosok ayah, lelaki pekerja ulet untuk keluarga. Ibuku mencium pipi ayah. Ayah tidak jadi sampai di rumah sakit, kami berbalik membawa ayah kembali pulang ke rumah.

Setelah semua proses penguburan ayah selesai, kami sekeluarga dan tetangga mengadakan tahlilan selama 40 malam. Hingga malam terakhir, rumah kembali sunyi, yang ada kami tanpa ayah. Suara jangkrik dan burung malam menambah suasana mencekam, segera semua gorden ruang tamu kututup rapat. Kami tidur satu kamar dengan ibu, kecuali adik laki-lakiku, dia tidur di ruang tamu. Hari-hari berlalu, perlahan tapi pasti berbagai permasalahan mulai bermunculan.

Entah dapat khabar dari siapa, seorang laki-laki datang ke rumah. Setelah basa basi, dia menyampaikan keinginannya untuk membeli atau menyewa tanah peninggalan ayah. Sebagai anak tertua aku memberikan jawaban untuk kami perbincangkan dulu, dan minta dia datang esok lusa. Dia paham dan mohon pamit, aku dan ibuku mengantarnya ke depan pintu.

Melalui diskusi kecil yang kupimpin, kusampaikan pada adik-adikku “Jika tanah ayah dijual maka akan habis tak berbekas, dan kita akan terlunta-lunta ke depannya, maka sebaiknya tanah itu kita sewakan saja”. Jelasku pada adik-adik. “Terus uangnya untuk apa mpok”? tanya adik bungsuku. “Uang sewa tanah itu akan kita berangkatkan ibu naik haji dan ba’dal ayah sekalian, sebagian lagi akan kubangun kontrakan untuk makan sehari-hari”, jelasku. Adik-adikku mengangguk setuju.

Jadilah lelaki itu datang menepati janjinya. Aku sudah siap dengan penawaran sewa tanah. Ternyata tanahku di sewa untuk memdirikan tower. Sejumlah uang aku terima tunai, dan surat perjanjian sewa menyewa. Kami tersenyum lega dengan sejumlah uang sewa selama setahun ke depan.

Segera sebelum uang itu habis untuk makan, sebagiannya kubagun kontrakan untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari, sebagian lagi memberangkatkan ibu naik haji dan memba’dalkan ayah. Ibuku tersenyum bangga dengan keputusanku.

Tidak menunggu lama, kami adik kakak mengantarkan ibu ke bandara untuk berangkat haji. Ada rasa sedih dan haru melihat ibu dengan pakaian hajinya. Air mata kami mengalir ketika melambaikan tangan ke pesawat yang menerbangkan ibu ke Mekkah. Kami kembali pulang.

Empat puluh hari, ibu berangkat haji, kini sudah kembali berkumpul bersama kami. Kuutarakan kepada ibu dan adik-adikku, niatku untuk menambah kontrakan, dan membukan warung kecil depan rumah untuk ibu berdagang, mereka menyetujuinya. Aku bagaikan perempuan bertenaga laki-laki, mengurus ibu, adik-adikku dan juga keluargaku. Alhamdulillah kondisiku ini dapat restu dari suamiku.

Satu persatu adik-adikku menyelesaikan sekolahnya, dan satu persatupun menikah dengan pasangannya. Aku lega telah menunaikan janjiku pada ayah. Sembilan tahun kepergian ayah, ibukupun menyusul. Kini tinggalah aku dan suamiku di rumah itu, sementara adik-adikku di rumahnya masing-masing yang masih berdekatan denganku. Kami selalu menjaga hubungan baik seperti pesan ibu menjelang meninggal. Kini mereka sudah tiada, yang ada hanya kenangan dan tanah merah kuburannya. Semoga mereka tenang di sisi Allah. Aamiin.

-ceritananisusanti

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap ulasan yang keren

11 Mar
Balas

Terimakasih bu atas komentarnya, senang dengan komentar ibu, moga penambah semangat menulis

13 Mar



search

New Post