Denny Boy Roha

Adalah guru dan juga principal di SMA Negeri Jakarta. Alumini IKIP Padang, jurusan Akuntansi. Wakil Ketua MGMP Ekonomi DKI, Intstruktur Kurikulum 13, ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menghampar Rinduku di Mentawai

Menghampar Rinduku di Mentawai

Menghampar Rinduku di Mentawai

Langit cerah bertemankan cahaya rembulan. Perlahan kapal kayu mernggangkan diri dari dermaga Muara, bersiap mengharungi samudera. Duduk bersandar di tiang bendera seorang anak muda, menatap langit berbatas laut.

Alunan gelombang, membawa kapal terus berlayar, sesekali ditingkahi bunyi terompet petanda diri ada. Satu-satu kapal nelayan membuka layar, menuju samudera yang sama dengan tujuan berbeda.

Angin sepoi-sepoi menerpa wajah pemuda yang kini mulai terduduk di ujung sana. Gemeretak giginya menahan hawa dingin dari laut. Satu harap segera merapat di darat Mentawai. Gemeretak gigi sudah tidak ada lagi, semua hilang sembunyi dalam kantuk. Lelap dalam mimpi hingga pagi.

Mimpi usai seiring dengan merapatnya kapal di dermaga Sikakap. Pemuda tadi bangkit, sandang tas, jinjing kardus bekal. Langkah tegap menuruni kapal, mata menuju arah yang tak pasti.

“Bang, sekolah ini dimana ya?” Ujarnya pada seorang tukang becak yang sedang menunggu tumpangan. “Oh ini di Havea, arahnya di sana.” Ujarnya menunjuk satu arah. Pemuda itu agak sedikit bingung, karena jalanan yang dilalui sedang pasang naik. “Bersama saya saja pak, saya juga kea rah sana.” Tawar abang becak kepada pemuda tadi. “Bo boleh bang, sampai di tempat ya.” Pemuda tadi langsung naik ke becak berdampingan dengan barang-barang yang lain.

“Pak kita sudah sampai, itu sekolahnya.” Abang becak menunjuk bangunan putih di antara samar sama embun pagi. “Baik bang, berapa saya bayar?” Ujarnya sembari turun dari becak. “Oh tidak usah bayar pak, gak apa-apa saya sekalian ke sini juga.” Si Abang becak sudah mengayuh becaknya meninggalkan pemuda. “Terimakasih bang, semoga Allah membalas kebaikan abang.” Sorak pemuda tadi memecah keheningan pagi.

Seorang perempuan setengah baya lewat dan menyapa. “Selamat pagi, bapak guru baru?” Pemuda tadi terkesiap “Oh iya bu, saya menunggu sekolah buka bu.” Jawab pemuda itu sedikit gugup. “Kalau begitu istirahat di rumah saya dulu pak, saya juga guru di sini. Nanti bersama saya ke sekolah.” Ibu setengah baya menawarkan. “Baik terimakasih bu.” Kemudian mereka berjalan ke arah rumah ibu setengah baya. Rumahnya tidak jauh dari sekolah.

Selesai mandi, mereka bersiap ke sekolah. “Saya bu Yu, bapak namanya siapa?” Tanya ibu yang bernama bu Yu. “Oh ya bu, saya Denny.” Kami beriringan menuju kantor dewan guru. “Orang sini baik-baik ya bu?” Tanya pemda tadi memecah keheningan. “Iya, disini banyak perantau, jadi serasa satu keluarga.” Jelas bu Yu sambil meletakkan bukunya di atas meja.

Setelah melapor ke kepala sekolah, pemuda itu memperkenalkan diri kepada dewan guru. Semua menyambut hangat kehadiran pak guru baru. Pulang sekolah, beberapa orang guru laki-laki menawarkan rumahnya untuk ditempati sebelum mendapat rumah sewaan. Akhirnya pilihan jatuh pada rumah pak Marlis, rumahnya di belakang sekolah.

Sore hari dia dan beberapa guru laki-laki naik perahu pergi memancing ke pulau Karawe. Dia hanya duduk saja karena tidak bisa membawa perahu. Ada tiga perahu yang pergi memancing. Banyak obrolan selama perjalanan memancing. Bersama pak Yunardi dan Albert dalam satu perahu. Keakraban cepat terjalin. Rasa khawatir sebelum berangkat hilang sirna dengan rasa kekeluargaan yang didapat.

Pulang memancing, ikan yang didapat langsung di serahkan kepada bu Renta dan bu Marina untuk dijadikan lauk makan malam dan besok pagi. Malam sehabis maghrib, bapak bapak guru termasuk pemuda tadi sudah duduk di halaman depan rumah bu Renta, mereka duduk beralaskan tikar.

Satu satu goreng ikan dikeluarkan bu Renta, sementara setiap bapak-bapak sudah membawa sepiring nasi dari rumah masing-masing. Makan sambil ngobrol memang mengasyikan. Cepat sekali rasa kekeluargaan itu terjalin.

Waktu berlalu, satu persatu pindah ke ranah tepian, ada yang ke Padang, ada juga ke Pariaman, ada yang Lubuk Alung dan ke Painan. Setiap ada yang datang, pasti ada guru yang pindah ke tepian. Begitu juga dengan pak Denny. Guru baru bernama pak Masdi datang, pak Denny segera mengurus surat pindah.

Tidak menunggu lama, surat pindah sudah ditangan, dia pindah ke Bukittinggi, tanah kelahirannya. Selang berapa lama, setelah menikahi seorang gadis Payakumbuh, dia hengkang ke Ibukota Jakarta.

Di Jakarta, kerinduan akan kehidupan di Mentawai selalu menggoda. Rindu kekeluargaan, rindu kedamaian, rindu alamnya, rindu keakraban. Semoga kerinduan ini dapat terobati. Aamiin.

-Sawangan023-

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post