Denny Boy Roha

Adalah guru dan juga principal di SMA Negeri Jakarta. Alumini IKIP Padang, jurusan Akuntansi. Wakil Ketua MGMP Ekonomi DKI, Intstruktur Kurikulum 13, ...

Selengkapnya
Navigasi Web
T A K D I R
https://purbalingga.kemenag.go.id/

T A K D I R

TAKDIR

Hari itu, merupakan hari yang tidak akan pernah aku lupakan sampai akhir hayatku. Pengalaman getir yang menimpaku dan adik adikku.

Seperti biasanya rutinitasku, pagi pukul 03.40 aku sudah bangun. Seusai shalat malam, aku langsung menuju dapur untuk memasak kebutuhan keluargaku dan seorang perempuan yang tua, yang sangat aku cintai, dia ibuku yang seminggu lebih terbaring sakit.

Makanan untuk ibuku, kubuat khusus, karena makanan itu harus dihaluskan agar dia bisa menelannya, walaupun kadang-kadang keluar lagi, dengan sabar aku tetap menyuapinya, sesekali mencium pipinya yang sudah keriput. Kemudian aku menghidangkan sarapan pagi untuk anak dan suamiku.

Alhamdulillah sebelum berangkat kerja, aku selesai menyuapin ibuku walau hanya sedikit dan ditambah tiga sendok air putih. Terdengar air putih itu mengalir di tenggorokannya saat ditelan. “Emak, saya berangkat kerja, ya”. Ujarku pelan ke telinganya. Ibuku mengangguk pelan. Akupun mengambil tangannya untuk salaman dan mencium punggung tangannya serta pipinya. “Assalammualaikum”, sambungku melepas tangannya, “Waalaikumsalam…”, sahuatnya lirih.

Setiap sujud dalam shalatku, aku memohon doa pada-Mu ya Allah, semoga pelita hidupku itu diberikan kesembuhan dan kekuatan, agar kami anak-anaknya bisa merawatnya dengan baik. Kadang kala terbayang olehku saat-saat ibuku ketika terbaring memanggil-manggil anak-anaknya satu persatu, terkadang panggilan itu didiamkan saja karena badanku lelah, akhirnya ibuku tertidur sendiri.

Disaat kemanjaanku, aku seperti anak kecil kembali yang penuh manja memeluknya, menciumnya, bahkan usilku muncul menggelitiknya. Dia tersenyum kadang tertawa, terlihat rongga mulutnya yang kosong karena seluruh geliginya sudah ompong. Lalu kami terdiam, dan ibuku terlelap.

“Heni… Eris… Apep… Titi… Nining!” teriaknya yang sayup sayup terdengar lirih. “Ada apa mak”? tanyaku mendekat. “Enggak, Cuma pengen memanggil aja”, jawab ibuku seadanya, kucium pipinya dengan gemes. “Ih emak…” lirihku sambil berjalan.

Adakalanya dia memanggil semua anak-anaknya, suaranya tiba-tiba lantang dan jelas terdengar, semua berdatangan ke kamar ibuku. “Ada apa mak”? Tanya Apep yang lebih duluan dating. “Kalian temanin emak di sini!” perintahnya. Semua patuh dan duduk di pinggi ranjang, ada juga yang bersila di lantai. Kemudian ibuku tidur. Perlahan kami keluar kamar satu-satu dengan berjinjit, agar tidak gaduh.

Beliau tidak pernah meminta apa-apa selain minta pulang kampung. Bagaimana mungkin keinginan itu aku penuhi. Semua anak-anaknya ada di rantau, tidak tega kami seorang wanita yang sangat kami cintai diurus oleh orang lain di kampung, apalagi dalam keadaan sakit. Kami sepakat untuk tidak memenuhi keinginan emak.

“Heni…, emak mau keluar nih, bosen di dalam aja”, kata ibuku suatu pagi. Memang matahari sedang bersinar cerah, bagus untuk berjemur, namun kondisi ibuku belum bisa untuk di bawa keluar, berdiri saja susah apalagi jalan ke luar, untuk menggendong jujur aku tidak kuat. Di saat itu beliau berkata lirih, jika saja anak lelakinya ada saat itu, pasti keinginannya keluar akan terpenuhi, karena Apep kuat untuk menggendong ibuku keluar, itu sudah sangat menyenangkannya. Aku terduduk lesu, sebutir air mataku jatuh, ingat saat saat aku kecil, dengan susah payah ibuku menggendongku bermain di halaman rumah. Kenapa sekarang aku mampu menjawab tidak kuat??? Rasa bersalahku menghujam hatiku.

Dengan dengkul yang masih lemah, didera osteoporosis, dia bersikukuh untuk ke kamar mandi sendiri, atau memaksakan berjalan ke ruang tengah tempat keluarga kecilku berkumpul. Dia teringat masa di kampung dan sering bercerita tentang sawah, bertani, kebun sayur, ayam, dan kucing peliharaannya. Kalau sudah begitu aku dan adik-adikku menjadi pendengar teladan, harus memperhatikannya bercerita, walaupun cerita itu sudah berpuluh-puluh kali di ceritakan.

“Heni… emak pengen pulang kampung, lihat rumah kita, kapan kita pulang”? rajuk ibuku manja. “Sekarang lagi musim panen ubi dan panen padi, suruh bibimu kirim berasnya”! sambungnya semangat. “Ya mak, sabar ya, Insha Allah nanti jumat malam kita pulang, tapi sebentar ya mak, sekalian nyekar ke makam bapak”. Jawabku membuat ibuku bersemangat, dan mengangguk.

Hari ini seperti biasanya, aku berangkat kerja setelah semua ruitinitasku selesai. Syukur pimpinanku mengerti akan kondisi keluargaku, sehingga keterlambatanku dapat dimaklumi. Ibuku setiap hari di jaga oleh adik bungsuku, Nining. Nanti setelah aku pulang kerja, barulah Nining kembali ke rumahnya. Alhamdulillah suami Nining mengizinkan seperti itu, mumpung anaknya juga masih kecil.

Dalam perjalanan ke tempat kerja, aku sudah membayangkan nanti malam akan pulang kampung, dan akan kembali hari minggu. Keinginan ibuku terpenuhi, sekalian nyekar makam bapakku. Tapi mataku sebelah kiri berkedip terus,aku tidak paham apak penyebabnya, berkali-kali kuusap, setelah diusap berkedip lagi. Hingga di sekolah tempat aku mengajar.

Belum lagi masuk kelas, ponselku bordering. Awalnya aku biarkan saja dan sibuk mempersiapkan bahan untuk mengajar. Karena bunyinya tidak berhenti dan berulang-ulang. Aku raih ponsel itu dari atas meja, dan melihat, ternyata Nining adikku yang menelpon. “Teh…emak gimana nih…”? suaranya parau bercampur tangis. Dari belakang Nining sayup-sayup terdengar suara suamiku sedang mengaji. Tanpa menjawab, ponsel kumatikan, segera aku ke ruang pimpinan untuk minta ijin pulang.

Dalam perjalanan, rasanya lama sekali sampai di rumah, padahal driver ojol sudah memaksimalkan kecepatannya. Air mataku tidak terbendung, mengalir dengan deras, entah sudah berapa tisu yang habis menghapus air mataku. Aku tidak mampu membayangkan apa yang terjadi, aku hanya berdoa semoga tidak terjadi apa-apa.

Akhirnya sampai juga di depan rumah, aku menghambur kedalam rumah. Kulihat seseorang terbujur di ranjang ruang tengah, aku berteriak histeris “Emaaaaaakkkk….”! “Kenapa emak pergi, kita nanti pulang kampung…. Aku memeluk tubuhnya yang sudah kaku”. Suamiku memelukku dan mengangkatku untuk pada posisi duduk. “Dek… sudahlah, ikhlaskan emak”, lirih suara suamiku.

“Teh…untung aku belom berangkat kerja, aku merasa ada yang mengganjal di hati”, ujar Titi adikku yang setiap jelang berangkat pasti mampir ke ibuku. Adik-adikku sudah lengkap berkumpul. Samua ikhlas melepas kepergian emak.

Nining menghampiriku dan menceritakan, “tadi emak sudah aku mandikan, aku keramas rambutnya, aku suapin juga, masuk hanya satu sendok, tiba-tiba pingsan. Lalu si Akang memegang tangan emak dan mentalqin kan”. Sambung Nining. Aku hanya mengangguk sambil sesegukkan.

Rencanaku, mala mini aku akan berangkat bersama adik-adikku sekeluarga ke kampung, memenuhi keinginan ibuku, sekalian nyekar. Tapi Allah berkehendak lain, Ibuku menghembuskan nafasnya yang terakhir pada pukul 09.00. Semoga ibuku diampuni dosa-dosanya, diterima amal ibadahnya. Aamiin.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Pak. Salam literasi

11 Mar
Balas

Terimakasih pak Dede. Masih kagok pak, karena dah lama absen menulis

11 Mar



search

New Post