Deny Rochman

Deny Rochman bukanlah anak seorang penulis. Era reformasi 1998 telah mengubah talenta hidupnya. Ia mulai banyak menulis di media massa. Ada tuntutan moral sebag...

Selengkapnya
Navigasi Web
GAJI PABRIK INI TAK SEMANIS PRODUKNYA
Pabrik Gula Sindanglaut Cirebon, riwayatmu kini. (sumber: internet)

GAJI PABRIK INI TAK SEMANIS PRODUKNYA

*Tantangan hari ke-37

#TantanganGurusiana

Catatan: DENY ROCHMAN

"Setelah selesai kuliah, kamu ga usah kerja di pabrik ini. Cukup bapak saya yang merasakan. Gajinya tak semanis produknya. Masa depan pabrik ini masih belum jelas," ujar Ayahanda menasehati saya ketika masih masa kuliah tahun 1998 silam.

PerkataanAyahanda itu membuat saya heran. Mengapa orang tua tak membolehkan saya bekerja di pabrik gula. Pabrik yang sudah menghidupi keluarga kami hingga mampu menyekolahkan 9 anaknya, kendati rata-rata pendidikan SMA sederajat. Ayahanda hingga pensiun di Pabrik Gula Karangsuwung. Sekitar 2 km dari tempat tinggal kami. Ibunda adalah ibu rumah tangga.

Pada 2014 silam, pabrik gula ini menjemput ajalnya. Bangkrut. Setelah 118 tahun beroperasi sejak berdiri pada tahun 1896. Pabrik gula ini dibangun tahun 1854 oleh NV Maatchappij tot Expoitatie der Suiker Onderneming Karangsoewoeng (perusahaan untuk pengelolaan perusahaan gula Karangsuwung), satu perusahaan Belanda. Alasan penutupan pabrik ini, karena terus merugi, disamping bahan bakunya kian berkurang.

Pada hari Rabu, 19 Februari 2020 mendadak ada kabar tak sedap. Surat kabar Radar Cirebon memberitakan kabar duka. Lagi, Pabrik Gula Sindanglaut mulai tahun 2020 tak beroperasi. Tutup. Setelah 122 tahun beroperasi sejak beroperasi pada tahun1898. Alasan penutupan klise, karena sering rugi. Mesin giling sudah sepuh alias tua. Reaksi petani dan karyawan agar pabrik jangan ditutup tak disetujui pihak manajemen.

Kabar penutupan pabrik gula membuat saya gelisah. Setelah Karangsuwung, sekarang Sindanglaut. Dua pabrik itu tak bisa lepas dari kehidupan keluarga kami. PG Karangsuwung adalah tempat Ayahanda mencari penghidupan. Terakhir tercatat sebagai karyawan bagian pertamanan. Di pabrik ini, kakak saya yang kedua pernah bekerja karyawan musim giling (kampanyean). Sementara PG Sindanglaut sekarang, kakak ketiga dan adik kedelapan masih bekerja di sana.

Sejak kecil hingga kini kehidupan kami tak jauh dari pabrik gula. Terbiasa bermain di kawasan pabrik. Mulai mandi-mandian di balong penampungan air panas sisa gilingan. Atau menyipi tebu segar di kereta gontrok yang terparkir antrian ke ruang penggilingan. Sesekali dikejar-kejar sama Kape (Satpam) pabrik. Juga pernah naik kereta berbahan bakar ampas tebu keliling perkebunan tebu Sindanglaut.

Kini, pabrik gula bersejarah itu tak lagi menunjukkan kekuatannya. Suara jeritan sirinenya tak lagi terdengar setiap jam sembilan malam, jam satu siang dan saat shubuh tiba. Suara petanda bunyi bel keluar masuk karyawan bekerja. Suasana pabrik sepi sunyi. Hanya terdengar hebusan angin yang menyapu debu di pabrik tua itu. Hanya suara hewan malam terdengar sayup-sayup.

Taka adalagi kereta gontrok pembawa tebu yang suka dinikmati anak-anak. Sekadar main atau makan tebunya. Anak-anak tak perlu takut lagi dari kejaran kape (satpam) saat main dan ambil tebu di kereta. Tak akan merasakan lagi keramaian pesta giling bancakan tiap tahunnya. Tak melihat lagi penganten tebu dengan iringan musik burok. Atau warga tak lagi menyapu halaman rumah dari debu pembakaran tebu setiap musim giling.

Kematian pabrik gula Sindanglaut memang sudah terdengar lama. Saat Menteri Hatta Rajasa berkunjung ke Pabrik Gula ini pada musim giling 4 Agustus 2011 silam sudah memberikan sinyal suram masa depan PG Sindanglaut. PG Sindanglaut dan Karangwusung adalah dua dari ratusan pabrik sejenis yang ditutup oleh pemerintah. Sekalipun gula pasir adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat.

Tercatat, pabrik gula pada masa kolonial Belanda sebanyak 179 pabrik. Pada masa pembangunan berkurang menjadi 50 pabrik. Kemudian 11 pabrik diantaranya ditutup. Termasuk PG Karangsuwung dan PG Sindanglaut. Sebuah pabrik yang telah menjadi bagian penting keluarga kami. Kendati gaji pensiunan janda ibunda hanya 200 ribu per bulannya. Membenarkan pesan Ayahanda, gajinya tak tak semanis gulanya. (PaDE)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post