Deny Rochman

Deny Rochman bukanlah anak seorang penulis. Era reformasi 1998 telah mengubah talenta hidupnya. Ia mulai banyak menulis di media massa. Ada tuntutan moral sebag...

Selengkapnya
Navigasi Web
SIMALAKAMA BELAJAR DARI RUMAH
Kepala Dinas Pendidikan Kota Cirebon Irawan Wahyono, S.Pd., M.Pd didampingi Korwil Pendidikan Kec. Pekalipan Deny Rochman, S.Sos., M.Pd.I dan kepala sekolah meninjau rumah siswa yang sedang mengikuti PJJ lewat stasiun RCTV

SIMALAKAMA BELAJAR DARI RUMAH

Kapan belajar di sekolah ? Pertanyaan ini paling viral beredar di tengah masyarakat. Tak hanya obrolan warung kopi, atau di teras-teras rumah. Tetapi juga menu hot dalam berbagai program diskusi. Mulai kelas kafe hingga kelas petinggi negeri. Kemasannya ada yang off line (luring) maupun online (daring).

Sebuah pesan whatsapp viral yang sedang ramai adalah desakan orang tua siswa agar pemerintah membuka sekolah-sekolah. Kegiatan belajar di sekolah mulai beraktifitas. Sama seperti aktifitas sektor perdagangan, industri, perkantoran, transportasi dan lainnya. Belajar dari rumah sudah terlalu lama. Dampak negatifnya makin dirasakan, baik oleh orang tua dan juga anak-anak. Mulai kejenuhan, pergaulan, pemborosan, malas hingga ancaman kebutaan efek over penggunaan gadget.

"Tolong dg sangat " BUKA KEMBALI SEKOLAH UTK ANAK2 KAMI". Dgn adanya belajar online... tidak membuat anak2 kami ngerti dg materi pelajaran, malah tambah bodoh..... malas... tidak disiplin.... bahkan yg lebih parah.... MEMPERCEPAT ANAK2 INDONESIA MENGALAMI KEBUTAAN DINI karena kebanyakan mantengin ponsel.... .

Jika sekolah masih terus di tutup, apa jadinya dg anak2 kami....! Pasar bebas ramai , berkerumun, tanpa khawatir terpapar covid, pantai dan tmpat wisata di buka, tmpat hiburan di buka, pesawat penuh sesak dg penumpang.... mall juga di buka. Tapi kenapa SEKOLAH DI TUTUP hanya karena takut terpapar covid?!"

Penggalan pesan WA yang viral tersebut memang tak bisa dipertanggungjawabkan. Identitas pengirim entah siapa. Kendati isi pesan, merupakan curhatan yang biasa dikeluhkan oleh banyak orang tua siswa. Sekalipun masih ada orang tua siswa memilih bersabar anaknya untuk bersekolah karena alasan kesehatan dan keselamatan. Daripada anaknya jadi santapan corona.

RENTAN VIRUS

Belajar dari rumah (BDR) bagai buah simalakama. Guru, sekolah, Dinas Pendidikan dibuat serba salah. Dipaksa melaksanakan pembelajaran di sekolah beresiko tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan anak didik. Namun memilih tetap belajar dari rumah, dinilai tak efektif dan efisien. Masalah baru satu demi satu bermunculan. Mulai berdampak sosial, psikologi, fisik, dan ekonomi.

Semula, skenario "new normal" sektor pendidikan mulai dibuka pada 15 Juni 2020. Seiring mulai masuknya kegiatan penerimaan peserta didik baru (PPDB). Sekolah masuk fase ketiga yang menjalani Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB). Setelah lima bulan sejak Maret hingga Juli lalu menjalani pembelajaran jarak jauh, baik dalam jaringan (online) maupun luar jaringan (offline). Pembelajaran melalui media internet, radio, televisi maupun penugasan mandiri.

Namun kerinduan guru-guru membuka kelasnya masih harus tertahan. Pemerintah mengambil langkah menunda pembukaan sekolah. Menyusul angka jumlah korban terpapar virus corona tren grafiknya masih bergerak naik. Kebijakan pemerintah baru berani membuka sektor perdagangan dan bisnis, kesehatan dan kegiatan outdoor dengan skala massa terbatas. Langkah ini pun mengundang reaksi tim medis gerakan #Indonesia Terserah.

Jumlah korban terpapar virus corona trennya masih meningkat. Termasuk mereka yang berusia anak sekolah. Sejumlah riset di negara-negara maju dan data WHO menyebutkan, bahwa usia anak-anak sama berpotensi terpapar virus import tersebut. Hanya saja, gejala covid pada usia sekolah relatif tidak mudah terdeteksi. Di Indonesia, jumlah anak terpapar tertinggi di negara ASEAN.

Dilansir VOA Indonesia, seperti dikutip kompas.com, Ikatan Doker Anak Indonesia (IDAI) mengatakan bahwa tingkat kematian anak akibat virus corona di Indonesia tertinggi di negara ASEAN. Data Kementerian Kesehatan per 30 Mei 2020, terdapat 1.851 kasus Covid-19 pada anak berusia kurang dari 18 tahun. Terdapat 29 kasus kematian pada anak.

Laman berita bbc.com menulis, lebih dari 40 anak Indonesia (yang berusia di bawah 18 tahun) meninggal akibat virus corona, menurut data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 per 2 Juli 2020. Data ini menunjukkan masih rentannya anak-anak usia sekolah terlebih sejak penghentian kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Mei lalu. Di Kota Cirebon pasca PSBB berakhir, jumlah pasien covid malah bertambah.

DAMPAK PJJ

Sejak pandemi covid-19 melanda negeri ini, pemerintah meliburkan belajar di sekolah. Di Kota Cirebon, sejak 16 Maret hingga awal Agustus ini guru dan siswa masih menjalani kegiatan mengajar dan belajar dari rumah (BDR). Dinas Pendidikan setempat melakukan pembelajaran melalui televisi lokal (RCTV). Dengan mengerahkan ratusan guru model yang terhimpun dalam MGMP (SMP) dan KKG (SD). Selain PJJ lokal di sekolah masing-masing.

Secara kasat mata, masyarakat menilai kegiatan PJJ terasa ringan dan mudah. Apalagi banyak orang menyangka, wabah ini hanya berlangsung hitungan minggu. Guru cukup memberi tugas, anak mengerjakan di rumah. Tak sampai berfikir, bahwa pembelajaran jenis ini sebenarnya berbiaya tinggi (high cost). Sehingga pemerintah pun luput menganggarkan diawal kebutuhan biaya pendidikan masa covid.

Memilih tetap mengajar dan belajar dari rumah sejak Maret lalu, bukan tidak menimbulkan masalah. Masalah baru satu demi satu mulai dirasakan dampak dari pembelajaran jarak jauh (PJJ). Mulai kesulitnya akses jaringan, keterbatasan kuota internet, ketiadaan alat pendukung (ponsel android atau televisi), ketidakmampuan mengoperasikan aplikasi, dan pengajaran hingga materi kurikulum yang belum diadaptasi masa pandemi.

Belum lagi kendala pembelajaran jauh dimata bagi anak-anak kelas rendah. Kelas 1, 2 dan 3. Terlebih anak-anak kober, PAUD, dan TK, guru-guru kebingungan. Anak-anak usia mereka perlu pendampingan khusus dan langsung oleh guru-guru. Sementara pembelajaran berbasis kelompok siswa belum dibolehkan.

Itu baru temuan dampak PJJ dari sisi ekonomi. Ada pembengkakan biaya kuota, pembelian ponsel atau anten tivi yang suport, namun belum bisa membeli akses dan jaringan terbatas. Dampak sosial, psikologi dan fisik pun belum terurai.

Ada orang tua mengaku, sejak belajar dari rumah anaknya mudah terserang penyakit flu, pilek, batuk. Kesehatan mata mereka menurun, karena penggunaan gadget meningkat. Pergaulan mereka sulit terkontrol. Sementara orang tua tak cukup kemampuan dalam mendampingi anaknya belajar dari rumah. Baik kemampuan keilmuan maupun mengendalikan emosinya.

Bagi mereka yang cukup dana, mencoba mencari guru les privat. Namun dalam situasi PSBB kala itu tak gampang. Guru-guru privat juga memilih aman saat masa pembatasan sosial. Memilih lembaga bimbingan belajar pun masih masa diliburkan.

Memainkan fungsi edukasi, orang tua pun tak cukup kesabaran mendidik belajar anaknya di rumah. Fenomena yang terjadi anak malah tambah stres karena diomeli saat sulit diajari. Ini baru realitas sosial yang muncul dipermukaan. Entah ada peristiwa dibalik berita selama pandemi berlangsung.

Dalam situasi yang tak menentu, memaksakan belajar di sekolah hanya akan melahirkan masalah baru. Jangan sampai hanya memindahkan masalah, dari masalah keluarga menjadi masalah sekolah. Bisa jadi, jika terjadi situasi terburuk ada siswa yang terpapar, sekolah bisa jadi bulan bulanan oknum yang tak bertanggung jawab.

Sampai kapan anak tidak ke sekolah? Pertanyaan ini cukup sulit untuk dijawab sekarang. Ini bukan sekadar memenuhi kerinduan guru dan siswa yang lama tak jumpa. Atau kembali agar pembelajaran siswa berjalan efektif. Tapi harus berfikir kesehatan dan keselamatan guru dan siswa. Karena ini menyangkut masa depan Indonesia. Penerus pembangunan bangsa. (*)

Cirebon, 2 Agustus 2020

Deny Rochman

Pegiat Literasi Kota Cirebon

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post