Maafkan, De, Uda!
By: Desi Fatma
Dezia kembali memandangi amplop coklat berlogo Dinas Pendidikan. Kantor tempat ia mengabdi selama ini. Dibukanya amplot dengan hati-hati. Tertulis dengan jelas nama dan jabatannya dalam surat tugas tersebut. Ia ditugaskan untuk mengikuti pelatihan pembuatan bahan ajar berbasis multimedia. Kegiatan yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan kebudayaan ini akan diselenggarakan selama empat hari di kota Bogor. Mulai hari Senin sampai Jum’at. Dezia bersama tiga teman lainnya menjadi peserta yang mewakili provinsi Sumatera Barat. Dua temannya berasal dari Kota Padang, satu orang dari Tanah Datar dan ia sendiri dari Kota solok.
[Dezia, tolong kirimkan foto KTP dan datanya, uni mau pesan tiket kita untuk berangkat hari Senin]. Sebuah chat masuk melalui whatsAaps group. Ternyata dari teman yang di Kota Padang. Dezia pun langsung mengirimkan foto kartu identitasnya.
[Kita berangkat Senin pagi dan kembali hari Minggu sore ya, teman-teman. Kita mampir dulu ke Jakarta] kembali chat masuk ke aplikasi hijaunya.
Pulang Minggu sore? gumamnya sambil membaca chat tersebut berulang-ulang.
Apakah Uda Zein akan mengizinkannya? Untuk meminta izin lima hari ini saja ia harus mencari waktu dan cara yang tepat untuk mengatakan pada suaminya. Apalagi harus ditambah dua hari lagi. Apa alasan yang harus ia berikan?
Diliriknya jam di dinding ruang kerja, masih setengah jam lagi waktu pulang. Ia pun mempersiapkan dokumen yang harus dibawanya hari senin. Namun ia terus memikirkan bagaimana cara meminta izin pada suaminya.
Uda Zein, laki-laki yang telah menikahinya sepuluh tahun yang lalu adalah seorang yang kuat agamanya. Ia akan sangat keberatan mengizinkan Dezia pergi ke luar kota sendirian, meskipun dengan alasan kedinasan. Beberapa kali Dezia menolak surat tugas ke luar daerah, karena ia sudah pasti tidak akan diizinkan berangkat. Namun untuk kali ini, ia tidak bisa menolak, karena pelatihan yang akan diikutinya khusus untuk pemenang Apresiasi GTK berprestasi dan berdedikasi tingkat Nasional yang diikutinya tahun yang lalu. Jadi, kegiatan tidak bisa diwakilkan kepada pegawai yang lain.
Deringan di gawai membuyarkan lamunan Dezia. Ternyata panggilan dari uni Fauziah, temannya dari Kota padang.
“Assalammualaikum, Uni,” ucap Dezia dengan sopan.
“Wa’alaikumussalam, De,” balas uni Fauziah.
“Alhamdulillah, tiket sudah Uni pesan. Kita berangkat hari Senin pukul 9;50 ya, De,” ucap uni Fauziah.
“Kita pulangnya, hari apa Uni?” tanya Dezia.
“Hari minggu dengan pesawat sore, sekitaran pukul 4,”jawab uni Fauziah.
“Apa De boleh pulangnya hari Jum’at saja, Uni, sesuai jadwal yang diberikan kementerian?” Dezia mencoba meyakinkan uni Fauziah.
“Kenapa, De? Kapan lagi kita bisa pergi sama-sama. Kan cuma nambah dua hari. Nanti di Jakarta, kita menginap di rumah saudara Uni.”
“Jangan khawatir, Uni sudah menghubungi panitia, kita diizinkan pulang hari Minggu, tapi untuk yang dua hari tersebut diluar tanggung jawab mereka.” Uni Fauziah menjelaskan detai perjalanan mereka nanti.
“De, belum minta izin Uda Zein, Uni,” lanjutnya.
“Uni doakan, semoga Zein mengizinkan. Dan lagian tiket pulang juga sudah Uni pesan. Maaf ya, De tadi uni pikir, De sudah setuju seperti teman-teman yang lain.”
Karena merasa tidak enak dengan usaha yang telah dilakukan teman-temannya, Dezia akhirnya menyetujui kesepakatan yang telah mereka buat. Dengan konsekwensi ia harus menanggung apapun nanti keputusan suaminya.
***
Setelah menunaikan salat Magrib, Dezia langsung menuju ruang makan untuk mempersiapkan makan malam. Uda Zein dan Hanan, putra tunggal mereka sebentar lagi akan pulang dari masjid. Dezia menata meja makan dengan cekatan. Ia telah mempersiapkan menu spesial untuk suami dan putranya. Setelah pulang dari kantor tadi sore, ia menyempatkan belanja ke pasar terlebih dahulu, sekalian buat stok bahan makanan selama ia pergi ke luar kota nanti. Agar suaminya tidak perlu repot-repot lagi mencari bahan makanan.
Suara ketokan dan ucapan salam dari ruang depan menghentikan aktivitas Dezia. Ia langsung menuju pintu depan. Saat pintu dibuka, wajah tampan sang putra dan suami telah menyambutnya dengan senyum sumbringah.
“Bundo, Hanan lapar,” ucap bocah yang baru berumur lima tahun tersebut dengan mimik menghiba.
“Duh, kasiahan anak Bundo.” Dezia langsung memeluk putra kesayangannya itu.
“Ayo,kita langsung ke meja makan. Bundo sudah menyiapkan makanan kesukaan, Hanan dan ayah,” ajak Dezia.
“Wah, enak tuh. Ayah ganti sarung dulu. Hanan, jangan habisin makanannya, ya.” Uda Zein berkata sambil melangkah menuju kamar.
“Siap, Ayah. Hanan tunggu Ayah di meja makan, ya,” jawab Hanan sambil berlari menuju ruang makan.
Dezia hanya tersenyum melihat tingkah Hanan. Putra semata wayang yang dititipkan di rahimnya ditahun ke lima pernikahan mereka. Sekarang Hanan telah tumbuh menjadi bocah yang sangat lincah dan penurut. Tingkahnya yang lucu selalu menggemaskan seluruh keluarga. Ini jugalah menjadi alasan Dezia selalu menolak ditugaskan ke luar kota. Karena ia tidak ingin meninggalkan Hanan yang masih kecil. Namun saat ini ia harus menguatkan hatinya untuk berpisah beberapa hari dengan buah hatinya tersebut.
“Bundo, ayo. Hanan sudah lapar nih.” Teriakan Hanan menerbangkan lamunan Dezia. Ia pun menuju ruang makan. Hanan sudah duduk di kursi kesayangannya. Uda Zein pun sudah berada di sana.
Setelah salat Isya, Dezia menemani Hanan di kamarnya. Bocah itu minta dibacakan buku cerita tentang kisah-kisah nabi. Hanan pun tertidur setelah dibacakan cerita. Setelah menyelimuti dan mematikan lampu kamar Hanan, Dezia pun beranjak menuju kamarnya. Ia akan mencari kesempatan untuk memberitahukan suaminya perihal surat tugas yang diterimanya tadi siang.
Saat memasuki kamar, terlihat Zein sedang membaca buku sambil menyandarkan tubuhnya ke tempat tidur. Dezia mendekat dan ikut berbaring disamping suaminya. Dezia merapatkan tubuhnya. Sebelah tangan Zein membelai lembut rambut Dezia, dan sebelahnya lagi masih memegang buku yang dibacanya.
“Uda, ada yang mau De bicarakan.” Dezia mulai membuka percakapan sambil membelai-belai tangan Zein.
“Bicara apa, De? Apa ada masalah di kantor?” jawab Zein sambil melirik sekilas kearah istrinya. Ia pun kembali mengarahkan matanya kebuku yang dipegangnya.
“De, dapat surat tugas untuk mengikuti pelatihan ke Bogor selama satu minggu, Da,” ucap Dezia agak terbata-bata.
“Kan bisa, De tolak seperti biasanya,” ucap Zein dengan datar.
“Tapi, Da. Untuk yang kali ini De tidak bisa menolaknya. Karena pihak kementerian yang langsung menugaskan karena pelatihan ini khusus untuk para pemenang Apresiasi GTK tahun yang lalu.” Dezia kembali melanjutkan ucapannya.
Zein membuka kacamata, menutup buku yang sedang dibacanya lalu meletakkan di atas nakas. Ia melihat lurus ke bola mata istrinya. Terlihat ada bening mengelantung di sudut matanya. Ia paling tidak tahan melihat embun di mata bening istrinya.
“Boleh Uda lihat surat tugasnya?” ucapnya kemudian.
Dezia langsung turun dari tempat tidur dan mengeluarkan surat tugas tersebut dari dalam tasnya. Wajah Zein agak berubah saat ia membaca surat tugas yang diberikan istrinya.
“Di sini hanya tertulis lima hari, De, bukan satu minggu seperti yang kamu katakan tadi,” ucap Zein sambil menoleh ke arah Dezia.
“Iya, Da. Surat tugas yang ini memang untuk lima hari. Untuk dua harinya lagi akan menyusul kemudian, karena tadi kepala dinas sedang tidak di tempat,” jawab Dezia sambil berusaha menyembunyikan kebohonganya.
“Kok bisa begitu? Apakah kegiatannya berbeda, hingga harus membuat dua surat tugas?” Zein kembali melontarkan pertanyaan.
“Iya, Uda. Untuk hari Senin sampai Jum’at kegiatannya di Bogor. Sedangkan Sabtu dan Minggu di Jakarta.” Dezia kembali berusaha meyakinkan suaminya.
Setelah diam beberapa saat, Zein pun akhirnya mengizinkan Dezia mengikuti pelatihan tersebut.
“Baiklah, Uda mengizinkanmu. Tapi kamu harus hati-hati dan jaga diri baik-baik” ucap Zein sambil membelai rambut Dezia mesra. Meskipun jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ia tidak ingin membiarkan istrinya pergi ke luar kota tanpa ada yang mendampingi. Tapi semua ini demi tugas yang diemban istrinya.
“Terima kasih, Uda. De janji akan menjaga diri dengan baik.” Dezia langsung memeluk suaminya dengan mesra.
***
Dezia menangis dalam sujud panjangnya di sepertiga malam. Uni Fauziah terlihat tidur dengan nyenyaknya. Malam ini adalah malam terakhir mereka menginap di hotel ini. Karena, besok mereka akan melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Demi teman-temannya, ia telah tega berbohong pada suami yang sangat menyayanginya.
“Ampuni hamba, ya Robb. Hamba telah berbohong pada suami hamba. Maafkan, De, Uda. De janji tidak akan mengulanginya lagi.” Dezia menutup doanya saat terdengar suara azan Shubuh dari mushalla hotel.
Kota Solok, 12 Oktober 2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Pertama dan untuk yang terakhir.
Iya, bu. Terima kasih atas kunjungannya Bu, sehat dan sukses selalu
Bergumam, tidak boleh ada tanda baca
Terima kasih atas koreksinya bu. Sehat dan sukses selalu
Aduh kenapa tidak jujur saja de, bilang tiket sdh terlanjur di pesan.
Kalau De jujur, pasti uda Zein tidak mengizinkan...hehehe
Semoga ini penyesalan yang menjadi pelajaran, De.
De sangat menyesal sekali...