ILLAMU DI BALIK RAGA NYAI
Ilamu Dibalik Raga Nyai
By: Nyi Dedes
Bagian I
.
.
.
Sudah dua bulan lamanya aku harus kembali dan menetap sementara di rumah tua ini, rumah panggung terbuat dari kayu belian peninggalan moyang keluarga dari sebelah ayahku. Rumah ini hawanya terasa dingin dan sejuk sekali. Pintu dan jendela kayu dengan ukuran besar dan fentilasi ukiran kayu yang tersusun jarang di atasnya semua masih tampak kokoh dan kuat. Mungkin itulah mengapa rumah ini begitu dingin karena sirkulasi udara yang begitu banyak masuk dalam rumah, tidak seperti perumahan yang ada di kota. Di tambah dengan letak lokasi di pinggir Kabupaten yang masih asri dengan alamnya dan hutan tropis yang masih lebat menutupi bukit-bukit yang berjejer di belakang rumah tua ini.
Aku tak pernah tinggal di rumah ini, selama hidupku ku habiskan bersama anggota keluargaku sendiri di pusat kota. Sejak empat bulan yang lalu aku di PHK di perusahaan tempatku bekerja selama tujuh tahun, sejak itulah aku menganggur. Karena alasan itulah, pada pertemuan arisan keluarga di tempat bibiku yang tertua. Aku di bujuk agar dapat mengurus Nyai Dasima. Adik bungsu dari Enek Bini (ibu dari almarhum ayahku) yang tinggal sendirian dan sudah sangat renta juga sakit-sakittan di kampung ini.
Awalnya aku ingin menolak, karena tempat yang begitu jauh dari rumahku. Aku takut tak terbiasa tinggal di kampung yang sepi dan juga aku masih ingin mencari pekerjaan lain di kota ini. Lagi pula aku tak begitu dekat dengan Nyai, seingatan dalam hidupku aku hanya pernah bertemu empat kali dengan beliau yakni pada saat lebaran jika dibawa ayahku balik kampung dan saat ada anggota keluarga besar kami yang kebetulan menikah di kota tempatku tinggal.
Akan tetapi dikarenakan tuntutan ekonomi mau tak mau aku berada di rumah ini. Aku yang baru saja menikah enam bulan yang lalu. Tak mungkin rasanya bertahan tanpa pekerjaan dengan tanggungan anak perempuan orang yang sekarang harus aku nafkahi.
Ajaibnya, istriku itu tak menolak tawaran keluarga besar ku. Mungkin ia tergiur saat bibiku mencoba berbicara padanya dan memberi tahu iming-iming an upah dari sepupuku yang kaya raya sebagai imbalan kalau mau menjaga Nyai. Padahal aku lebih suka jika sepupuku yang kaya itu memberiku pekerjaan saja di salah satu anak perusahaan miliknya dari pada harus merawat orang yang sudah jompo walaupun aku orangnya penyayang terhadap orang tua. Akan tetapi untuk bicara meminta pekerjaan kepada keluarga itu tak enak rasanya. Pantang bagiku.
"Yun, tolonglah keluarga kita. Kasian Nyai Dasima sendirian di Jelai. Dia tak mau dan mengamuk saat akan kami bawa ke kota untuk kami rawat" ucap lembut merayu bibi kepada istriku.
"Bukannya tak ada orang yang bisa di pintai untuk menjaga Nyai di Kampung. Tapi kami merasa yakin jika yang menjaga itu masih keluarga sendiri. Masalah biaya hidup kalian di sana, Helius akan membantu sepenuhnya" timpal Oom Eric pada Yuni, istriku.
Kulihat mata istriku membulat dan wajarnya cerah sekali seperti Matahari baru terbit di ufuk timur saat mendengar kata pada bagian terakhir dari Oom yang menyilaukan bagi wanita muda itu.
Aku hanya bisa menelan saliva yang sebetulnya terasa sanagat kering di kerongkongan ku sedari tadi saat dimulai percakapan serius mengenai Nyai begitu ku melihat ia menganggukkan kepala dengan semangat menyetujui rencana itu. Istriku tentu saja pasti akan mau menyanggupi. Apalagi sebelumnya saat dikamar hendak siap-siap ke rumah Bibi kami sempat berbeda pendapat atas keluhan istriku mengenai keuangan yang mulai kritis karena sudah sebulan terpaksa biaya hidup hanya mengandalkan tabungan kami.
Yuni memang penurut dan punya sifat keibuan, akan tetapi apakah dia akan betah tinggal di Jelai? Entahlah. Aku pun tak punya alasan untuk menolak dengan keadaan sekarang yang telah menjadi pengangguran.
Saat menyetir mobil dalam perjalanan pulang ke rumah kembali kutanyakan kesungguhan Yuni untuk menjaga Nyai di Kampung.
"Dek, kau tak pernah ketemu Nyai. Nyai itu orangnya cerewet. Kau akan kewalahan mengurusnya di sana". Aku mecoba membuka obrolan dan menakutinya.
"Ah ... Gampang. Kau lupa bang kalau istrimu ini seorang perawat? Kau lupa saat kuliah Aku sempat praktik di Panti Jompo tiga bulan bang?" Jawab istriku dengan cepat.
"Sayang ... Tempat itu sepi. Masih banyak hutan rimbun binatang buasnya. Entah ada sinyal internet atau tidak. Kau pasti tak akan betah Dek". Aku masih mencoba agar dia ragu akan niatnya itu.
"Bang, di Panti tak hanya satu orang tua yang ku urus. Beberapa orang dalm sehari sekali shift. Sekedar satu orang tua apalagi itu Nenek kemenakanmu rasanya tak akan menyusahkan aku. Bang, aku yang bakalan urus Nyai. Abang bisa sambil bertanam atau beladang di sana kudengar tadi dari Oom kalau halaman belakang rumah Nyai luas sekali. Iya kan? Dan juga disana ada listrik dan sinyal juga kata Sepupu mu itu".
"Oh dan satu lagi! Kau jangan lupa dengan ini Bang! Hahahaha ... Ini penyelamat hidup kita." Dia menepuk-nepuk tas tangannya.
"Nanti dirumah tak sabar rasanya mau aku hitung jumlahnya! Sudahlah Bang, dulu saat baru menikah kau pinta aku untuk berhenti bekerja di rumah sakit. Sekarang susah sudah cari pekerjaan dengan musim Pandemi seperti sekarang Bang. Buktinya Kau, Bang. Udah mantap pekerjaanmu gaji besar. Eh ... bisa juga terkena PHK. Baik itu Abang maupun Aku yang mengirimkan surat lamaran kerja, tak satupun ada panggilan kepada kita sekarang"
Dengan cepat tangannya segera meraih amplop warna cokelat dari dalam tas hitam dipangkuannya. Dengan lentur dan lentik jarinya menari-nari menggoyangkan amplop yang nampak tebal itu di depan mukaku yang masih fokus kearah depan sambil menyetir.
Oh Tuhan, astaga Yuniiiiii ... Aku hanya menampar keningku yang sebetulnya tak ada satu ekorpun Nyamuk yang hinggap di kulit yang mulai sedikit meluas areanya karena pengaruh kebotakan dini.
Kali ini aku bagaikan orang yang kalah main Catur di Pos Ronda. Mukaku mengkerut. Benar-benar kalah skak mat dengan jejeran pion kata-kata semangat empat lima istriku, di tambah dengan keberadaan amplop cokelat beraroma khas kebahagiaan manusia di dunia fana yang tak sengaja terhirup hidungku dari dalamnya saat ia goyangkan di depan mukaku. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku kalah dengan keputusan Yuni sekarang.
Semoga saja dia benar-benar betah di Dusun itu. Entahlah ... Tapi kenapa perasaanku benar-benar tak enak dengan keputusan untuk hidupku kali ini. Mungkin hanya perasaanku saja yang mungkin sebenarnya belum siap harus hijrah ke kampung apalagi jika akan merubah profesi yang biasanya memegang laptop dan pensil kelak menjadi seorang Petani dan berkebun yang akrab dengan cangkul dan tanah seperti kata Yuni. Oh yang benar saja, semoga semua ini hanya mimpi.
**
Bersambung ....

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar