Desi Hardiany

Saya seorang abdi negara, mendidik anak bangsa di daerah kecil....

Selengkapnya
Navigasi Web
JANJI MATAHARI TENGGELAM
Ketika Orang yang Kau Sayangi Pergi, Maka Ikhlaskanlah. Ikhlas adalah Madu dalam Kehidupan.

JANJI MATAHARI TENGGELAM

JANJI MATAHARI TENGGELAM

Aku begitu semangat hari ini. Bagaimana tidak, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-52 tahun.

Mengajak suami untuk merayakan hari jadi hubungan kami sepertinya ide yang bagus. Bukan sekedar perayaan biasa, inginku percis sama seperti keadaan 51 tahun yang lalu saat dia melamarku.

Gili Kedis.

Tepat dipasir putih pantai itu, dengan romantis dia melamarku. Sunset ditanggal 13 Oktober 1978, sekuntum mawar putih tanpa duri dan sebuah cincin mata biru sebagai pelengkap sore itu.

Kala itu merupakan hal indah yang pertama kali kurasa. Sebagai wanita yang begitu diistimewakan oleh seorang pria.

Dengan gugup dia melamar, mengajakku menikah.

Aku tau dia berusaha keras agar bisa mengucapkan kata-kata itu. Itu terlihat dari setiap tetes keringat yang mengalir dari dahinya.

Namun ekspresi orang yang kucintai ini tak akan pernah dilupa. Lelaki dengan perangai lembut yang selalu menenangkan hati gadis perajuk ini. Tampak khawatir jika kutolak cintanya.

Semua kenangan itu begitu manis.

Berharap sore ini pun sama hangat dan manis seperti kala itu, cerah dengan pancaran jingga sang mega di atas langit. Mereka saksi bisu awal mula perjalanan hubungan kami kearah lebih serius.

Saksi dari peristiwa dimana kala itu sepasang mata dua insan berpadu, berjanji akan sehidup semati dalam cinta. Terikat seiring dilingkarkan sebuah cincin di jari manis gadis manis dengan pipi bersemu merah kala itu.

Dengan sisa tenaga tua renta yang dimiliki, kucoba berdandan secantik mungkin siang ini. Tak banyak kulakukan dengan kulit keriput, cukup bedak tipis dan lipstik merah samar-samar dipoles dibibir tipisku.

Gaun lengan panjang selutut warna putih gading dengan renda pita di dada, cukup mirip seperti waktu itu kupakai. Walau bukan baju yang sama, tapi ingatanku bisa kembali ke masa itu.

Gadis periang dengan rambut kuncir kuda ke belakang. Satu jepit rambut mutiara khas lombok tersusun berbentuk hati menempel manis di rambut dekat telinga sebelah kiri.

Jepit rambut inilah yang masih bisa kupakai kembali. Diselipkan di atas gelungan rambut yang semua sudah berwarna putih. Jepit ini sengaja kusimpan dengan baik.

Barang kecil yang kemudian jadi barang favoritku merupakan pemberiannya saat kami berjalan-jalan ke Mataram, dua hari sebelum lamaran itu.

Tak lupa memakai syall rajut putih dililitkan keleher agar tubuh renta ini tak mudah kedinginan nanti. Juga kubawa bekal selimut bulu tebal dan jaket didalam tas jinjing hitam untuk persiapan jikalau badan kami tak kuat dengan angin pulau itu.

"Aku siap sayang". Aku begitu bersemangat.

Sambil tersenyum kuajak suamiku pergi.

Kali ini kami ditemani Yadi, pemuda yang begitu sabar menghadapi cerewat wanita tua ini. Termasuk mengabulkan permintaan konyol hari ini.

Awalnya ia menolak, namun mungkin karena kasihan pada wanita ini. Akhirnya ia menyetujui untuk menemani, karena terus kubujuk selama beberapa hari dengan rajukan tak mau makan. Ini permitaan terakhirku sekaligus permintaan yang paling merepotkan untuknya. Mendampingi wanita jompo tua ini menempuh perjalanan jauh.

Kami mulai perjalanan dari penginapan menuju pelabuhan Tawun yang kemudian dilanjutkan menyebrang dengan perahu yang sudah dipesan dari jauh hari.

Perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan bagiku dengan usia tak lagi muda. Sekitar satu jam dengan perahu ini, kami akan sampai di pulau bersejarah itu.

Selama di atas perahu, kita bisa lihat hamparan gugusan gunung yang indah. Seperti lukisan, aku selalu takjub melihat pemandangan indah ini.

Walaupun setua ini, ternyata masih bisa merasakan kebahagiaan bersama suami. Senang rasanya hatipun berbunga-bunga, bibirku tak lepas dari senyum.

Akhirnya setelah sekian puluh tahun, kami bisa kesana lagi.

Tanpa sadar ku tertidur dalam perjalanan. Hingga suara Yadi membangunkanku dengan pelan.

"Maaf bu, ayo turun. Kita sudah sampai".

Sambil mengerjapkan mata membetulkan posisi dudukku, samar-samar suara ombak tenang pantai terdengar ditelinga. Badanku begoyang-goyang diatas perahu yang telah berhenti. Benar kami sudah sampai.

Pantai yang sepi pengunjung. Pasir putih yang menghapar panjang masih dapat kulihat jelas dengan mata tua ini. Pasir putih yang begitu bersih, lembut, dan halus. Berpadu dengan air laut yang biru bergradasi.

Di sekitar pantai, airnya tampak berwarna toska dan kita dapat melihat dasarnya dengan jelas. Tidak hanya itu, kita juga akan menyaksikan karang-karang di tepi lautan.

Gili Kedis memiliki pantai yang tenang dan nyaman. Jika surut pantai ini seolah-olah menyerupai bentuk hati. Hati putih yang dikelilingi oleh lautan biru di sekitarnya. Tempat yang romantis.

Bersantai di tepiannya saja dapat membawa ketenangan tersendiri. Kami dapat bersantai di tepian sambil menanti terbenamnya matahari.

Mungkin alasan itulah mengapa dia melamarku di pulau kecil yang hanya seluas lapangan bola ini. Tentunya dulu akses kepulau ini tak mudah didapat.

Di sekitar objek wisata ini tidak ada karang besar atau bukit yang menghalangi. Sehingga, kami dapat bebas tanpa halangan menyaksikan indahnya matahari terbenam.

Segera kuraih suamiku. Sambil mengelus-elus wajah tampannya.

"Sayang, kita sudah sampai" selembut mungkin suaraku berbicara pada suami dengan senyum yang tak lepas dari bibirku.

Begitu kami turun dari perahu, kulangkahkan kaki menuju arah pepohonan rindang ditengah pulau ini. Pelukanku tak lepas darinya. Kami begitu bahagia.

Kami pun duduk bersama menatap arah laut. Sebentar lagi sang surya akan tenggelam. Hari terang akan berganti gelap. Sunset yang sama ditanggal 13 Oktober. Sangat indah kurasa, lebih indah dari ingatanku saat dia melamarku.

Warna oranye matahari begitu sempurna berpadu dengan birunya lautan. Apalagi ketika sudah dekat di peraduan. Terkenal dengan sunset dengan bentuk Matahari terlihat lebih besar dibanding pantai lainnya di Pulau Lombok.

Bulatannya begitu sempurna, ditambah dengan cahayanya yang memantul di permukaan laut. Tampak berkilauan dilihat dari kejauhan. Menciptakan susana menyenangkan ketika menikmatinya.

"Sayang,,, kau lihat disana?" tanganku menunjuk ke arah bibir pantai.

"Disitu kita dulu berlari-larian. Hahaha. Aku mengejarmu karna kesal. Kau sering sekali memencet hidung pesekku waktu itu" ingatanku kembali menerawang kala itu sambil terkekeh.

Dia tak menjawab. Hanya tersenyum saja mendengarku.

"Ah... Sepertinya kita tak bisa berlari-lari lagi sekarang. Kita sudah terlalu tua. Berjalan jauh saja pinggangku sudah sakit apalagi mengelilingi pulau ini."

Aku mengeluh dengan suara manja. Memang pinggang ini sudah terasa sangat pegal. Mungkin juga terlalu lama duduk di mobil dan perahu sepanjang perjalanan.

Perlahan Matahari mulai tenggelam ke ufuk barat. Semakin indah.

"Sayang, terimakasih untuk selalu bersamaku selama ini"

"Aku wanita beruntung memilikimu, tolong temaniku selalu. Juga besok jika kita sudah bersama-sama dikehidupan nanti. Ya?"

Pintaku sambil menoleh kearah dia.

Dia tetap tersenyum, senyum tampan yang tak akan pernah lepas dari wajahnya.

Walau tanpa raganya, setidaknya potret pria didalam figura hitam ini cukup mewakili kehadirannya menemaniku sekarang. Aku benar-benar merasa ia ada disampingku.

Lima tahun dia meninggalkanku setelah menikah, kepergian yang sangat mengejutkanku. Aku begitu terpukul. Namun, sampai ke lima puluh dua tahun pernikahan kami, sedikitpun tak pernah merubah perasaan dalam hati.

Cintaku padanya tak pernah pudar. Disela kesibukan pekerjaanku sebagai dosen, tak pernah sedikitpun melupakan sosok suami tercinta. Tak pernah jua mencoba membuka hatiku ke yang lain. Selalu menjaga tulus cinta kami.

Dan sekarang, aku mampu membuktikan bahwa dialah satu-satunya pria spesial dan teristimewa yang ada dihatiku.

"Happy anniversary sayang"

Kata itu keluar dari bibirku ketika surya benar-benar tenggelam. Menandakan bahwa saatnya malam menggantikan peran siang dibumi.

Kupeluk erat foto suamiku. Damai terasa hati ini. Keinginan yang sudah lama untuk merayakan ulang tahun pernikahan kami dipulau ini akhirnya terwujud.

Terimakasih tuhan atas nikmat yang telah diberikan dan tetap memberikan rasa bahagia dihari tuaku.

Terimakasih Yadi, awalnya dia menghubungiku untuk meminta kerja sebagai supir setelah tamat SMA. Pemuda pintar yang tak cukup beruntung dari segi ekonomi, jujur, baik hati dan selalu bicara lembut dan sopan kepadaku.

Dia sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Walau telah selesai dibiayai kuliah sampai pasca sarjana, tak mau ia meninggalkanku untuk bekerja keluar kota yang menjanjikan.

---

Dengan hembusan nafas panjang, kupejamkan mata menikmati leganya rasa dihati. Memeluk pigura semakin erat, merasa seolah-olah suamiku memelukku dengan hangat sambil menggenggam tanganku.

Mungkin inilah saatku menemuimu sayang. Menghadap pencipta. Menutup kisah kita didunia fana.

13 Oktober 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerita yang menarik, juga diakhir dengan kesedihan, apakah si aku menemui ajal juga dan bertemu dengan sang kekasih hati? akhir yang sedih. salam

31 Dec
Balas

Terima kasih telah membaca tulisan saya. Salam kenal.

31 Dec



search

New Post