SERIAL CERITA PETRA - BUAH SABARKU (TANTANGAN GURUSIANA HARI KE-12)
Nenekku meninggal pada bulan November 2008 saat aku berada di tahun ketiga di SMA-ku.
Kepergiannya seperti waktu tanggung rasanya.
Sebab sepeninggal nenekku aku menjadi sebatang kara.
Jikalaupun ada saudara yang mau membawaku tinggal bersama mereka, waktunya sangat tidak pas.
Karena bulan depannya sudah harus ujian akhir semester dan posisiku di kelas 12 membuatku harus fokus ke ujian nasionalku.
kemudian ada saudara jauhku pindah ke rumah nenek bersama keluarga kecilnya . Akhirnya aku tinggal bersama mereka.
*
Keseharianku cukup sibuk.
Dimulai dari bangun subuh, menyiapkan tungku, memasak, mengambil air dan mencuci piring ke Danau Toba, beres-beres rumah dan yang pasti aku sudah harus standby di pinggir jalan untuk naik bus tumpangan ke sekolah pukul 5.50 pagi.
*
Sementara di sekolahku ada program persiapan ujian nasional dan selesainya bisa sampai pukul 17.00.
Pulang sekolah biasanya ada bus tumpangan. Tapi jika sudah di atas pukul 15.00, mobil menuju kampungku sudah sangat sepi.
*
Suatu hari, aku bangun kesiangan. Tidak sempat memasak apalagi mencuci piring.
Aku bergegas mandi bebek dan buru-buru menuju bus tumpangan yang sedari tadi memanggil dengan klaksonnya.
Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, jika bus tumpangan terlewat, habislah kita. Takkan bisa kita sekolah hari itu.
Nah, hari itu bertepatan pula kami pulang satu jam lebih lama dari biasanya dan tidak ada mobil tumpangan yang lewat.
Menunggu hingga satu jam berlalu, nihil tak ada hasil. Aku bersama sembilan kawanku yang bernasib serupa dan rumah yang searah.
Akhirnya kami putuskan berjalan kaki bersama-sama.
Tak terasa kami telah berjalan lumayan jauh dan waktu telah menunjukkan pukul 20.00, jarak yang kami tempuh belum bisa disebut separuh jalan. Kami hanya bisa pasrah dan terus berjalan.
Kemudian ada satu mobil pribadi lewat, kami serempak memberi tanda, minta tolong untuk bisa menumpang.
Untunglah pemilik mobil itu bersedia. Mungkin merasa kasian melihat wajah kami yang sudah layu, kuyu, lusuh dan telah berjalan jauh.
Kami bersepuluh ditambah dua pemilik mobil hanya bisa disusun bak ikan rebus.
Itu pun kami sangat syukuri karena kami bisa punya tumpangan untuk pulang ke rumah.
*
Pukul 20.30, sampailah aku di rumah. Betapa kecewanya aku ketika kudapati piring yang tak sempat kucuci paginya ternyata masih teronggok di sana.
Sepertinya sebuah penegasan bahwa memang tugasku lah itu tak peduli apapun yang sedang kualami.
Dengan penat di sekujur tubuhku, kubawa piring kotor itu ke tepi Danau Toba tak lupa kukepit senter di ketiakku sebab malam itu sudah sangat gelap dan angin malam berhembus sangat dingin.
*
Keesokan harinya kudengar kabar tak mengenakkan.
Katanya aku perempuan pemalas yang tidak bisa diandalkan walau hanya untuk mencuci piring.
Deg. Gosip itu menancap dalam di hatiku. Aku sedih sekali. Rasanya sangat tidak adil.
Hanya sekali itu aku kesiangan dan tak sempat cuci piring, itu pun langsung kucuci sepulang dari sekolah walau sudah hampir larut malam, tapi telah tersiar kabar sekampung bahwa aku perempuan pemalas.
*
Wahh, dimensi baru dari rasa sakit kembali kurasakan.
Aku hanya bisa menangis di kamarku. Aku cuma bisa berdoa agar diberi kesabaran hingga aku bisa lulus SMA dan setelah itu aku bisa menentukan masa depanku.
Aku hanya gadis sebatang kara. Tak punya daya untuk menentang apa yang diberi kehidupan, hanya bisa manut saja.
Kesabaranlah yang hendak hidup ajarkan padaku waktu itu.
*
Akhirnya aku lulus dari SMA-ku dan diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di kotaku.
Tapi masalah baru muncul. Ada biaya yang harus aku bayar, mulai dari uang kuliah, uang praktikum, dan uang adminitrasi lainnya yang total jumlahnya membuat aku sangat tercengang.
Kuhitung uang tabunganku hasil membantu pekerjaan rumah di rumah tetangga, tetap tak cukup. Jauh sekali selisihnya.
Terbayang kembali kenangan saat aku menjadi mantan siswa sekolah milik mantan menteri hanya karena keterbatasan ekonomi.
Hatiku sakit sekali.
Bayangan implikasi kemiskinan kembali menghantui.
*
Tiba-tiba pintu rumah nenekku diketok. Kubukakan pintu, terlihat seorang bapak paruh baya berwajah sangar, berkacamata hitam dan berjaket kulit dengan tas pinggangnya yang menggendut .
Bapak tukang koperasi ternyata.
Kupersilahkan masuk dan duduk di tikar tempat kami biasa menjamu tamu.
Si bapak mengeluarkan segepok uang dan buku catatan.
"Mana yang namanya Petra di sini?" tanya si bapak walau sudah jelas hanya aku yang di rumah saat itu.
Mungkin untuk memastikan kembali pikirku.
"Akulah si Petra, tulang." Jawabku.
" Oh, jadi kaunya itu. Baiklah. Ini ada sejumlah uang untukmu. Ini uang yang dari dulu ditabung oppungmu atas namamu."
Diserahkannya segepok uang itu padaku dan kuterima dengan tangan bergetar.
Hampir menangis keras aku saking harunya. Tapi kutahan.
Malu aku pada bapak koperasi berjaket kulit itu.
*
Begitu bapak koperasi pergi, kututup pintu dan aku menangis keras hingga sesenggukan.
Dengan segepok uang itu tentu lebih dari cukup bagiku untuk melunasi uang administrasi kuliahku itu.
"Aku bisa kuliah, Pung. Mak, Pak, anak kalian yang sebatang kara ini akhirnya bisa kuliah." Kataku berucap sendiri sambil air mataku bertetesan mengalir dengan derasnya.
*
Barulah aku mengerti apa yang terjadi setiap sabtu sore selama ini.
Nenekku selalu menyetor uang sepuluhribuan pada bapak berwajah sangar, berkacamata hitam, berjaket kulit dan bertas pinggang menggendut itu.
Kupikir nenekku menjadi korban pemalakan oleh preman, ternyata beliau hanya sedang mempersiapkan sesuatu untuk masa depanku walau hanya sepuluh ribu yang bisa disimpannya dalam seminggu.
Tak berhenti aku menangis mengingat semua kebaikan, kepedulian, dan cinta kasih nenekku.
Nenekku mencintaiku sepenuh hatinya, sekuat tenaganya dalam keterbatasan dan kemiskinannya.
"Oppung, terima kasih banyak."
Takkan kusia-siakan cinta kasihmu padaku. Aku akan belajar sungguh dan meraih prestasi di kuliahku nanti.
********************************************************************************
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Terharu Bu dengan ceritanyaSukses selalu
Terima kasih banyaak untuk supportnya Ibu.. Terima kasih sudah mampir Ibu juga ttp semangaat dan sukses selalu yaa
Semua udah ada skenario nya dari Tuhan yh des. Semangat selalu
Iyaah bebh.. Haruss ttp semangaat kitaa.