Desnilawati

Desnilawati adalah guru MAN 1 Padang Pariaman ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Senyum lima juta( Tantangan hari ke 4)

Senyum Lima Juta

By : Desnilawati

"halah...baru uang segitu aja kamu sudah kayak nggak percaya sama aku.."

Bro bicara dengan nada kasar.

" Aku percaya Bro, tapi kali ini aku benar- benar butuh uang.."

" Anakku kecelakaan, kakinya harus segera dioperasi.."

" Kamu nggak percaya aku ya..?"

" Bukan begitu..a..aku.."

" Braakkk.." Bunyi telpon dibanting.

Airmataku mulai menggenang.

Terbayang sibocilku yang tak akan bisa jalan lagi jika kakinya tidak segera dioperasi.

Sibocilku menderita patah tulang sewaktu kecelakaan tabrak lari yang mengakibatkan tulang betisnya remuk.

Tenggorokan ku terasa sakit. Menahan amarah yang tak terkendali.

Rintihan sibocil yang kesakitan terasa sangat mengiris hatiku.

" Ma..Ami masih bisa jalankan?"

Tanyanya waktu itu.

Aku menggigit bibir kuat kuat. Membuang muka ke arah lain. Tak sanggup melihat wajahnya yang memelas menunggu jawaban dari pertanyaannya.

" Iyaa...Ami pasti sembuh dan bisa jalan lagi"

Aku berkata meski aku sendiri tidak yakin apakah Ami bisa sembuh atau tidak.

" Ya...halooo..."

Aku mengulangi pembicaraan yang terputus sesaat ditelpon.

" Sudah kubilang weet, aku lagi tak ada uang..!"

Suara diseberang makin tinggi.

" Tapi aku sangat butuh Bro.."

Kataku. Ingatanku berkelebat kepada masa tiga tahun lalu.

Sewaktu Bro memelas mohon belas kasihanku. Saat itu ia benar benar butuh uang. Usahanya bangkrut dan ibunya harus segera dioperasi.

Aku dengan ikhlas merelakan uangku dipinjamnya. Meski aku harus melalui perdebatan yang sengit dengan keluarga. Terutama misua.

" Uang sebanyak itu, kamu kasih pinjam?"

" Apa mungkin dia bisa mengembalikan ?"

Misua memperlihatkan muka tidak senang.

" Oke jeng, aku percaya kamu orang yang baik hati.."

" Tapi ini ratusan juta say.."

" Coba mikir lagi deh.."

Misua memutar badanku dan memandangiku dari ujung rambut sampai keujung kaki.

Misua memegangi dahiku.

" Kamu nggak ngigau kan?"

" Ah..mas, ini..apa sich?"

Aku mundur. Mencoba mengelak dari tatapan mata misua yang begitu tajam menggetarkan qalbu.

" Aku bukan tak percaya pada temanmu Sweety tapi ini ratusan juta lho.."

Misua kembali menatapku kali ini dia tak lagi memegangi ku.

Dia malah berdiri dengan tangan bersidekap didada.

" Iya mas, aku ngerti"

" Tapi aku dah terlanjur bilang ada.."

" Kamu ingat kan say?"

" Berapa lama kamu menunggu uang itu terkumpul?"

" Berapa lama kamu tahan selera untuk mendapatkan itu semua?"

" Kau ingat kan apa rencana kita jika uang itu sudah ada?"

Misua mencecarku dengan pertanyaan pertanyaan yang aku sendiri sudah tahu jawabannya.

" Tapi, ya sudahlah itu kan keputusan mu.."

" Sebagai orang terdekat darimu aku sudah berusaha mengingatkanmu.."

" Jika terjadi sesuatu yang diinginkan jangan salahkan aku.."

Akhirnya misua mengakhiri perdebatan kami.

Aku menghela nafas berat.

Berbuat baik pun harus mengalami hal yang rumit.

Berdebat dengan misua. Orang yang paling kupercaya selama ini.

Perkataannya yang selalu kudengar. Dan nasehatnya yang hampir tak pernah salah.

Tapi kali ini dia salah. Membantu orang yang dalam kesusahan itu baik.

" Lalu kenapa misua melarang?"

Ah..sudahlah, yang penting sekarang misua sudah memberi ijin.

Akhirnya kutelpon Bro.

" Ya ..halooo.."

Suara diseberang sana terdengar lemas sekali.

" Ini aku, Sweety, uangnya udah ada nih!"

Tapi jawaban yang kudengar sungguh tak diduga.

" Sweety, kamu bisa antar uangnya kesini kan?"

" Aku sibuk nih, nggak bisa jemput.."

" Kamu bisa kan?"

Suara diseberang sana kembali mendesak.

" Tapi, ta..tapi aku tak bisa bawa motor.."

Kilahku.

Hatiku mendongkol.

"Masak dia yang pinjam, malah aku yang ngantar ?"

" Mana hujan lagi.."

" Sweety..ayolah, kamu bisa kan?"

Bro menghentikan lamunanku.

" Tapi, aku kan tak bisa bawa motor.."

Aku mengulangi perkataan ku.

" Gampang , suruh aja bebebmu nganterin.."

" Bebebmu kan selalu sedia kemana pun engkau minta diantar.."

Bro mulai meledekku.

" Sialan tuh anak.."

" Tapi ini masih hujan.."

" Kamu punya mantel kan?"

Bro tidak mendengar alasan ku.

"Kamu pake mantel aja..cepat ya aku tunggu.."

" Klik.."

Terdengar bunyi handphone ditutup.

Aku menghela nafas berat.

Minta tolong misua sudah pasti tak mau.

Memang sih, biasanya kemanapun aku minta diantar misua pasti dengan senang hati mengantarnya.

Tapi, setelah perdebatan tadi aku tidak yakin apa dia mau.

Akhirnya kucoba minta tolong sama putra sulungku.

" Bre, tolong anterin ibu kerumah om bro..yaa"

" Ngapain Bu, hujan hujan gini?"

" Ayolah ibu ada perlu..pentiiiing bingiiits..please"

Aku memasang wajah memelas.

Bre putraku terheran.

" Nggak biasanya ibu begini?"

" Ya..udah, kamu mau kan?"

Aku merasa senang melihat Bre langsung berdiri.

" Aku tanya papa dulu ya ma!"

" Adeuh.."

Aku melongo melihat Bre justru beranjak menjumpai papanya.

" Pa, mama minta diantar ketempat om Bro.."

" Papa bisa ngantar mama nggak?"

Oooo... ternyata Bre minta papanya ngantar mamanya.

" Papa sibuk.." misuaku menjawab pendek.

Bre mengangkat alisnya. Dahinya berkerut.

Bre merasa ada yang tidak beres diantara papa dan mamanya.

" Ada apa sih pa?"

" No..tanya mamamu.."

Misua menjawab tanpa menoleh.

" Ada apa ma?"

Bre menatap ku minta penjelasan.

" Nggak ada apa-apa..cuma mama mau ketempat om Bro.."

" Ya udah, cepetan kita berangkat.."

Aku menggamit tangan Bre. Takut nanti makin banyak pertanyaan.

Aku mengenakan mantel warna kuning. Bre mengenakan mantel warna ungu.

" Ma, mantel Bre robek dikit.."

" Nggak apa-apa, hujan nggak deras kok.."

" Sini, mama kasih selotip biar air nggak merembes keluar.."

Aku mengambil selotip dan menambal mantel Bre.

Setelah semua siap kami berangkat.

" Pa, kami berangkat dulu.."

Misua hanya mengangguk sekilas. Matanya terus tertuju kepada koran yang dipegangnya.

Bre menghidupkan mesin motornya.

Aku segera naik keboncengan.

Derum

Derum

Motor melaju dengan kecepatan sedang. Sesekali Bre menyalip kendaraan yang melintas di samping kami.

" Hati hati Bre,.."

Aku berteriak ketika sebuah kendaraan melaju kencang dan air cipratan nya mengenai mantel kami.

Bre menghentikan motornya.

Badannya menggigil. Rupanya mantel yang tadi cuma ditambal selotip robek lagi. Selotip nya lepas.

" Gimana ma..?"

" Udah kita berhenti sebentar.."

Kataku sambil berusaha mencari sesuatu dari dalam tas.

Sesuatu yang mungkin bisa menambal mantelnya Bre.

" Ah, nggak usah ma..udah tanggung"

" Yuuk kita jalan lagi"

Bre mulai menghidupkan mesin motornya lagi.

Aku menurut saja duduk diboncengan.

Dalam hati aku merasa kasihan sama anakku.

Badannya kelihatan mulai menggigil menahan dingin.

Tapi aku juga tidak tega sama om Bro yang terus terusan memohon.

Pandanganku terasa kabur. Kenangan tiga tahun itu.

"Bukannya aku mengingat ingat kebaikanku Bro"

" Aku hampir saja berantem dengan misua karena belain kamu.."

" Sekarang, aku benar-benar butuh, tapi apa yang kudapat ?"

Aku bicara lagi.

Tapi hanya aku sendiri yang dengar. Telpon diseberang sana sudah ditutup. Pas bunyi klik yang kudengar tadi.

" Nelpon siapa ma?"

Tiba tiba Bre sudah berdiri di hadapanku.

" Ah, nggak cuma teman"

Aku berkelit.

" Udahlah ma, mama nggak usah nagih hutang sama orang munafik gitu.."

Bre bicara seolah-olah dia tahu siapa yang kutelpon.

" Tapi..ini"

" Ma, jangan menutup nutupi kejadian ma, "

" Mama tu paling nggak pintar bo'ong jadi cepat ketauan"

Bre memeluk bahuku.

Dan menepuknya pelan.

Aku terngungu. Malu rasanya. Mau marah pada siapa. Aku yang salah. Aku gegabah. Semua penyesalan menghantui pikiran dan perasaanku.

"Bukankah jauh jauh hari misua sudah melarang?"

" Itu tabungan kita satu satunya ma.."

Masih terngiang ditelingaku.

Aku menutup telinga. Tak kuasa. Suara mas Indra yang bariton begitu jelas bergema.

" Sudahlah ma..relakan saja"

" What's?"

Aku terbelalak tak percaya dengan apa yang diucapkan Bre barusan.

" Okey, sekarang Bre mau tanya"

" Kapan Om Bro janji bayarnya ?"

"Tiga bulan"

"Sudah berapa lama sekarang?"

" Tiga tahun"

" Sudah berapa kali mama nagih?"

"Nggak terhitung"

" Ya udah, ikhlasin aja.."

Bre kembali mengulangi kata katanya.

" Bagaimana mama mau ngikhlasinnya Bre.."

" Karena uang itu mama gagal mengobati papamu.."

" Karena uang itu juga nyawa papa mu tak tertolong.."

" Sekarang apakah karena uang itu juga kaki adikmu tak bisa dioperasi?"

Aku tak kuasa menahan tsunami yang menderu dikedua netraku.

" Ma, pasti ada jalan lain.."

" Allah maha tahu.."

" Maha kuasa atas segala sesuatu.."

" Ada rahasia yang kita tidak tahu ma.."

Bre memelukku.

Kulihat dadanya turun naik. Pertanda ia pun sebenarnya sedang berusaha menahan tangis.

" Tapi..adikmu Bre."

" Ami.."

" Mama tak punya uang untuk biaya operasi.."

" Ma..yuuk kita ambil wudhu' dulu.."

" Kita sholat dan berzikir..semoga Allah memudahkan jalan.."

Bre merangkulku dan membimbing kekamar mandi.

Selesai berwhudu' kami sholat sunat.

Aku duduk dengan diam.

Berzikir dan mohon ampun pada Allah. Juga pada almarhum misuaku.

Karena keteledoran ku beliau tidak mendapatkan pelayanan yang layak semasa sakitnya.

Aku berzikir lama sekali. Perasaan ku seolah olah berada dialam lain. Wajah misua yang tersenyum dan melambaikan tangan.

" Ya Allah, ampuni aku...bimbing aku menghadapi cobaan ini, jangan sampai kebaikan yang telah kuperbuat justru menjadi malapetaka bagi kami..."

"Sungguh engkau maha mengetahui apa apa yang tersembunyi..."

" Jangan kau ambil Ami dari kami.."

" Setelah papanya tiada, hanya mereka yang aku punya ya Allah.."

"Maaa.."

Bre kemudian memelukku erat sekali. Kami berdua saling berpelukan.

Perasaan ku terasa plong. Setelah semua kutumpah rumahkan diatas sajadah.

" Bagaimana ma, udah baikan?"

Bre menanyaiku halus sembari tersenyum.

Kutatapi wajah Bre yang mirip sekali dengan bapaknya.

" Kamu dapat ilmu dari mana sepintar ini?"

Tanyaku sembari mengelus rambutnya.

" Tidak sia sia mama menyerahkan ku kekelas menulis Jenius writting"

Kata Bre malam memujiku.

" Maksudmu?"

Aku tak mengerti kearah mana pembicaraan Bre.

" Iya ma.."

" Di JW kita tidak hanya semata diajarkan cara menulis tapi kita juga diajarkan bagaimana bersifat ikhlas menjadi penulis laris bahagia dan dirindukan pembaca.."

" Lalu, hubungannya apa dengan penulis laris?"

" Nah, itulah kata kuncinya.."

" Apapun yang terjadi , senyumin aja.."

" Ngaco kamu Bre.."

" Tapi buktinya iyakan?

" Bagaimana perasaan mama setelah mama mengikhlaskan semua?"

Aku tertegun.

" Benar juga kata Bre.."

Sekarang aku merasa lapang setelah mulai mengikhlaskan semua.

" Mama jadi penasaran hubungannya tersenyum dengan penulis laris apa?"

" Eits, tunggu dulu mama..ilmunya satu satu.."

Bre berkata jenaka.

Aku tersenyum. Walau masih samar.

" Nah, itu dia..."

Bre menunjuk kearah bibirku.

" Ah..apaan sih kamu Bre.."

Aku merasa geli melihat tingkah Bre.

Wajah Bre kelihatan gesum.

Bolamatanya berputar. Lucu.

" Okey, mama say..."

" Bre akan coba mentransfer ilmunya coach kemama.. dengerin yaa.."

Bre berlagak seperti coach beneran.

Aku tersenyum. Lagi lagi tersenyum melihat tingkah Bre.

Bre berjalan menuju meja disudut ruangan. Diambilnya sebuah topi berwarna merah.

Dipasangkannya dasi juga berwarna merah. Sangat kontras dengan kemeja putih dan celana putihnya.

" Eits..ada lagi"

Bre bersorak dan lari ke kamar.

Kembali dari kamar Bre sudah mengenakan sepatu cet warna merah juga.

" Haaaa.."

Aku tercengang melihat pemandangan yang tak biasa ini.

" Apakah coachmu berpenampilan seperti ini ?"

Aku bertanya sembari menutupi mulutku yang ternganga. Untung aja nggak ada nyamuk lewat.

" Okey siap ma.."

Bre tak mengindahkan pertanyaan ku barusan.

" Intinya dalam CGMW kunci yang pertama harus kita lakukan adalah

Siap

Sadar

Senyum"

" Apa itu CGMW?"

Aku kebingungan.

" Istilah apalagi ini?"

" Cara Gila Menuju Waras"

" Bre...yang benar aja!"

" Kamu sehat kan ?"

Aku meraba kening Bre.

Biasa aja tidak ada tanda tanda demam.

" Ma...nyimak dulu ya.."

"Kunci yang kedua CGMW

Iktikad

Intens

Indahkan.."

" Bre, beneran itu coach yang ngajarin..?"

" Benar ma.."

" Tapi ajari mama pelan pelan dong.."

" Mama kan udah tuir.."

" Tuh kan, jenaka mama dah keluar lagi.."

Bre menggodaku.

" Baik ma..."

" Simak ya.."

Jika ada orang yang nyerobot antrian mu padahal kita juga lagi perlu banget..

Senyumin aja...

" Mana bisa"

Jika ada yang belum bayar hutang padahal kita lagi butuh banget lupain aja..

" Uang segitu banyak dilupain?"

" Lho itu kan milik Allah yang dititipkan pada kita..kenapa mesti kita yang marah ?

Itu namanya nggak sopan sama Allah?"

Aku terpana. Benar juga.

"Senyum udah, ikhlas udah, lupain bisa..."

" Lalu kaitannya dengan menulis apa?"

" Pelan pelan ya ma, kita bahas cara menjaga fisik dulu ya.."

Untuk mengatasi agar tidak kelelahan secara fisik

1. Bayangkan dulu sebelum melakukan

2. Meditasi berlian sekali sehari

3 baca alfatihah untuk tubuhmu

4. Lakukan gerakmu dengan senyum halus

Lalu...

Untuk mencapai ikhlas :

Kuatkan tekad mama

Lakukan upaya dengan intens

Indahkan semua yang terjadi

Niscaya ikhlas mama akan terpatri

Lupakan

Kalau mama ingat uang itu

Segera sedekah berapapun pada orang terdekat yang bisa ditemui

Nah mau sulit tapi uang mama balik

Atau mudah dan emosi tapi

Uang ga pernah balik + sakit hati?

Lupakan

Karena sejatinya itu bukan uang mama

Uangnya Allah

Kalo mama ingat ingat dan merasa memiliki namanya mama melekat pada materi

Dan mama ga sopan sama Allah

Belajar ikhlas, dari hal hal kecil. Misalnya memaafkan temen yang tiba tiba membatalkan janji. Padahal sudah di tunggu kurang lebih 1 jam di tempat ketemuan

Mulai besok

Banyakin senyum halus dan batin

Banyakin mendoakan yang baik untuk diri sendiri dan orang lain

Seringin sedekah berupa apapun

Lakukan semua aksi mama dengan senang hati

Niscaya ikhlas akan terpatri sendiri

" Sudah Bre...mama ngerti.."

"Maksudnya jika ingin jadi penulis laris bahagia dan dirindukan pembaca..

Kudu 3 S

Siap

Sadar

Senyum

Dan 3 i

Iktikad

Intens

Indahkan

"Begitu ya ?"

" Mama pintar.."

" Tapi kurang cerdas.."

" Lho kok?"

" Karena terlalu cepat menyimpulkan sebelum Bre menguraikan nya lebih lanjut.."

" Terus gimana?"

" Ya udah, besok mama PO aja buku CGMW biar bisa ikut gabung belajar nulis dikulwag..."

" Ah, kan ada kamu.."

" Iya, tapi ilmunya kan nggak encer kayak coach ngejelasin.."

" Tapi, katanya hanya khusus buat Gen JW ?"

" Eh..iya ya..lupa"

" Tapi mama boleh beli bukunya nggak?"

" Buku apa?"

" Cara Gila Menuju Waras"

" Nggak bisa ma"

" Kenapa?"

" Buku ini khusus diperuntukkan untuk Gen JW.."

" Nah tu..kan.."

" Tapi, kalau mama ingin lebih jelasnya tanya mbak Ristanti aja .."

Bre menutup penjelasan nya dan memelukku dengan hangat.

Terimakasih ya Allah...

Tak sia sia aku mendaftarkan anakku kekelas menulis JW.

Tiba tiba aku merasa telah mendapatkan kembali uangku yang ratusan juta itu.

Iyyyesss...jika anakku jadi penulis laris bahagia dan dirindukan pembaca , jangankan ratusan juta.

Milyaran bahkan keliling Eropa bukan hal yang sulit baginya.

Terimakasih ya Allah... terimakasih coach. Telah mengajarkan ilmu yang amat berguna untuk kehidupan kami.

" Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan(QS. Al insyirah: 5-6)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post