Desy Wahyu Hastika

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Senyum yang Tertahan, Rindu Tak Tersampaikan

Corona... Corona... Corona... Tak seindah namannya, tak semanis kedengarannya. Harusnya kamu cantik. Harusnya kamu menarik, memikat, anggun seperti seorang ratu atau puteri kerajaan di dongeng dongeng itu.. Tapi kenyataannya, kamu mengerikan. Kamu bagaikan hantu yang tak terlihat tapi ada, dan menakut-nakuti kami semua.

Kehadiranmu merubah segalanya. Kaupisahkan kami dari orang-orang yang kami sayangi. Paramedis berguguran karenamu, seakan kausombongkan diri, "bahkan pemerhati kesehatanpun, kalah olehku!"

Kau tahu? Sudah dari sononya kami ini makhluk sosial. Makhluk yang mana kami tidak bisa hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan sesama. Jadi, diam di rumah, silahturahmi lewat HP, tak bebas haha..hihi dengan kawan-kawan kami, itu beraaattt. Senyum kamipun kau tahan. Tak bisa lagi kami nikmati senyum sapaan kawan-kawan, tetangga dan orang yang kami jumpai. Kau tahu kenapa? Masker ini lah yang membuat senyum indah mempesona ini tak bisa kami bagikan kepada sesama. Padahal kau tahu? Ada pepatah mengatakan smile is such an infecious virus like influenza. Senyum itu seperti virus flu yang bisa menyerang siapa saja. Sekali orang sebarkan virus senyum itu kepada satu orang, mereka yang terkena senyum itu pasti akan ketularan ikut tersenyum juga. Tapi sekarang hilang sudah. Entah senyum entah menjulurkan lidah, tak kehihatan bedanya.

Anak-anak kau buat pusing tujuh keliling memandang HP penuh dengan materi belajar. Paham enggak, minus mata yang ada makin nambah. Belum lagi suara radio siaran tunggal emaknya tak kunjung henti. Bukannya mengajar, si emak malah menghajar jadinya. Mana gurunya telpan telpon laporan si anak tidak mengerjakan tugas lah, bikin si emak makin emosi. Kacau sudah kedamaian belajar kami.

Gurupun kau buat seperti orang gila. Mengajar tiada murid dihadapannya. Ngomong sendiri di depan kamera. Pontang panting belajar IT, ikut workshop sana sini, unduh aplikasi itu ini. Merasa bersalah tak bisa mendampingi belajar siswa. Berusaha tebal telinga mendengar ungkapan "nggak mulang kok dibayar", "nggak ke sekolah kok bayar SPP." Aduuuhh... Miris mendengarnya.

Dua waktu yang biasanya membuat kami, sebagai perantauan ini bahagia, terlewatkan pula karenamu. Idul Fitri yang di negara kami sudah seperti hari raya semua umat beragama, ajang silaturahmi dengan sanak saudara, terlewatkan begitu saja. Nuansa mudik tak lagi menyibukkan kami seperti tahun-tahun biasanya. Padahal, rindu kampung halaman ini sudah kami tahan, hingga tiba waktu lebaran. Liburan kenaikan kelas, yang biasanya merupakan waktu membahagiakan anak sebagai reward perjuangan belajar mereka, tidak ada lagi. Tempat wisata ditutup.

Kebiasaan beribadahpun berubah. Sejak kedatanganmu, kami cukup beribadah secara virtual di rumah. Beberapa waktu sudah diperbolehkan beribadah di tempat ibadah kami dengan protokol kesehatan yang sedemikian rupa, dan batasan-batasan usia. Ini membuat kami tidak bisa beribadah bersama-sama satu keluarga. Kami rindu suasana itu. Bahkan ketika ibadah perdana setelah sekian lama kami tidak dapat ke gereja, tak terasa air mata ini mengalir, menahan haru.

Tapi, lepas dari segala permasalahan yang muncul karenamu, corona, kami tetap bersyukur. Kami bersyukur dengan keadaan yang mendadak berubah ini. Kenapa? Karena kami semua ciptaan Tuhan yang tangguh, yang disayangi oleh Nya.

Tuhan kirimkan kamu, yang kecil tak kasat mata tapi luar biasa, untuk mengingatkan kami. Betapa dashyat kuasaNya. Menyadarkan kami, bahwa kami bukanlah apa-apa tanpaNya. Mengajak kami untuk lebih mensyukuri apapun keadaan kami. Kesadaran untuk berbagi satu sama lain semakin kuat.

Pengalaman belajar online karenamu, corona, membuat para guru Indonesia yang tangguh menjadi semakin kreatif. Kamu tahu, karenamu banyak sudah guru yang mendadak menjadi youtuber. Semakin lihai dalam berkomputer.

Kesadaran hidup bersih? Tak perlu diragukan. Entah sampai tak terhitung berakali dalam sehari kami cuci tangan. Belum lagi hand sanitizer yang setiap saat kami pakai. Masker selalu menempel di wajah ini, walaupun kadang lucu juga, tak terasa masker kami pakai kalau pas lagi diam. Tapi ketika ngomong, tanpa sadar masker malah kami lepas. Wajarlah, perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru.

Anjuran diam di rumah, membuat ibu-ibu semakin kreatif. Banyak yang mendadak menjadi pandai berjualan online, pandai memasak, rajin belajar (karena harus mendampingi anaknya belajar)

Ah, pokoknya banyak lah, hal-hal positif yang kami buat untuk mengatasi masalah karena kedatanganmu. Makanya, cepat pergi sajalah kamu, corona. Karena akan selalu berusaha untuk mengatasimu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga pandemi lekas berlalu, keren bu

09 Sep
Balas

Amin, matur nuwun, Bapak...

09 Sep

Ulasan yang ciamik,Bu. Dalam setiap masalah pasti ada hikmah. Tuhan akan senantiasa bersama kita. Salam sukses,Bu.

09 Sep
Balas

Amin.. amin... Terima kasih, Bu...

09 Sep

Bahagia itu sederhana. Ketika bisa hadir di beranda rumah baca sahabat literasiku. Menikmati tulisan yang disuguhkannya. Mengagumi kerendahan hatinya. Meneladani semangat menginspirasinya. Teruslah berkarya sahabatku.

08 Sep
Balas

terima kasih

09 Sep

salam literasi, Bapak.... mohon bimbingannya nggih...

09 Sep



search

New Post