Dety anugrah fajarwati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Pendidikan Karakter sebagai Upaya Holistik

Pendidikan Karakter sebagai Upaya Holistik

Pendidikan Karakter sebagai Upaya Holistik

Ramai diperbincangkan beberapa tahun terakhir ini mengenai pendidikan berkarakter. Sebelum membahas mengenai pendidikan berkarakter, ada baiknya memahami terlebih dahulu pengertian dari karakter itu sendiri. Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online) berarti sifat- sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Menurut Puskur dalam artikel Afif Burhanudin menyebutkan karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakininya dan digunakannya sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Ciri khas atau pembangunan karakter bangsa Indonesia sebagai harapan yang hendak diwujudkan. Menjadi salah satu rencana pembangunan jangka panjang nasional tahun 2005–2025. Rencana itu tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007, yaitu: “...terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotong-royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis dan berorientasi IPTEK”. Sejalan dengan itu, pembangunan berkarakter juga menjadi tujuan pendidikan nasional. Sebagai bentuk pengejawantahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia no. 20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Terdapat delapan belas nilai pendidikan karakter yang wajib diterapkan dalam setiap proses pendidikan atau pembelajaraan di Indonesia, diantaranya:

a. Religius, sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan agamanya, toleran terhadap pelaksanaaan ibadah lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

b. Jujur, perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan.

c. Toleransi, sikap tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, tindakan orang lain yang berbeda dengan dirinya.

d. Disiplin, tindakan yang menunjukkan perilaku-perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

e. Kerja keras, perilaku yang menunjukkan upaya sugguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

f. Kreatif, berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

g. Mandiri, sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

h. Demokratis, cara berfikir, bersikap, bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

i. Rasa ingin tahu, sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat dan didengar.

j. Semangat kebangsaan, cara berfikir, bertindak dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan sendiri dan kelompoknya.

k. Cinta tanah air, cara berpikir, bertindak, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

l. Menghargai prestasi, sikap, dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan sesuatu.

m. Bersahabat atau komunikatif, tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain.

n. Cinta damai, sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

o. Gemar membaca, kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

p. Peduli lingkungan, sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam sekitarnya dan mencegah kerusakan dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

q. Peduli sosial, sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

r. Tanggung jawab, sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan alam, sosial, budaya, negara, dan Tuhan Yang Maha Esa.

Dari delapan belas nilai-nilai pendidikan karakter dapat dilihat sasaran penerapan pendidikan karakter. Pendidikan berkarakter mencakup semua aspek kehidupan baik ruang lingkup masyarakat, keluarga, sekolah maupun tempat bekerja. Jika ditelaah lebih jauh, nilai-nilai pendidikan karakter tersebut lebih banyak mengendepankan penumbuhan dan pembiasaan sikap bergotong-royong. Sikap yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia dan dikenal oleh bangsa-bangsa lain di dunia dari sejak dulu. Sikap gotong-royong atau teamwork dilakukan juga oleh para pendahulu kita di masa penjajahan. Demi meraih kemerdekaan mereka menyatukan tekad untuk mempertahankan kedaulatan serta kesatuan Republik Indonesia. Berkat kerjasama tim yang baik, akhirnya kemerdekaan pun dapat diraih. Sehingga, nikmatnya kemerdekaan dapat dirasakan oleh kita hingga saat ini. Itu adalah salah satu contoh nyata hasil dari bergotong-royong. Berkaca dari peristiwa bersejarah itu, terdapat benang merah dalam upaya menerapkan nilai-nilai pendidikan karakter. Bahwa betapa pentingnya kerjasama tim dalam mengatasi permasalahan dan meraih suatu tujuan.

Dengan membiasakan diri bergotong-royong, sedikit demi sedikit akan menumbuhkan sikap bertanggung jawab, toleransi, peduli sosial, peduli lingkungan serta nilai-nilai karakter lainnya dalam diri individu yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, membangun karakter bangsa merupakan upaya holistik (Satu kesatuan) yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Sehingga untuk dapat mewujudkannya memerlukan dukungan dan kerjasama semua pihak. Sebagai satu kesatuan utuh dalam mencapai tujuan bersama.

Namun, pada kenyataannya karakter yang paling menonjol saat ini adalah karakter kompetitif. Ditandai dengan maraknya ajang kompetisi dalam berbagai bidang kehidupan. Tidak luput dalam dunia pendidikan pun terjadi. Mulai dari taman kanak-kanak sampai ke perguruan tinggi. Bahkan, tidak hanya diikuti oleh peserta didik saja, akan tetapi diantaranya ditujukan kepada para gurunya seperti; Seleksi Guru Berprestasi, Olimpiade Guru Nasional (OGN), Guru Berkonstitusi, dll. Awalnya kegiatan kompetisi yang diselengarakan ini bertujuan baik. Sebagai upaya untuk memacu guru dan peserta didik dalam mengembangkan berbagai potensi kecerdasan yang dimilikinya. Akan tetapi perlu diperhatikan pula dampak negatif yang tidak dapat diabaikan. Apakah dengan cara ini akan membantu terwujudnya cita-cita bangsa?. Apakah ajang kompetisi yang diselenggarakan dapat menemukan bibit-bibit unggul? Lalu adakah tindak lanjut setelahnya?. Pada akhirnya, berbagai ajang kompetisi yang diselenggarakan tanpa disadari membentuk seseorang untuk berjiwa kompetitif yang cenderung individualis. Sangatlah manusiawi jika seseorang yang mengikuti kompetisi ingin menjadi juara. Sehingga mereka harus bersaing dengan peserta lain untuk mendapat gelar juara. Tidak sedikit diantaranya yang pada akhirnya menghalalkan segala cara untuk bisa menang. Meskipun terkadang hanya diberikan penghargaan berupa selembar piagam namun, perasaan bahagia dan bangga atau dikenal banyak orang karena prestasinya menjadi sesuatu yang tidak ternilai harganya.

Sementara hal yang lebih penting dari penyelenggaraan kompetisi terasa terabaikan. Sisi yang terlihat bahwa kompetisi hanya sebatas menang dan kalah. Bagi pihak yang menang mungkin akan semakin memacu diri untuk mengikuti kompetisi-kompetisi lain yang lebih bergengsi. Hingga persiapan pun dilakukan jauh hari sebelum kompetisi itu diselenggarakan. Sementara hasil yang diperoleh belum tentu sebanding dengan berapa banyak waktu yang tersita. Banyak siswa atau guru yang harus meninggalkan tugas utama bahkan tugas-tugas perkembangannya demi mengikuti sebuah kompetisi. Hingga tidak sedikit murid berprestasi namun memiliki kemampuan bersosialisasi yang rendah, memiliki kepedulian sosial yang kurang dan ketidakmampuan untuk bekerja sama dengan tim atau kelompoknya.

Tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh guru. Tidak sedikit guru yang berprestasi di berbagai bidang namun, sangat sedikit waktu untuk ia dapat berinteraksi dengan peserta didik maupun keluarganya. Jangankan untuk berbagi ilmu pengetahuan yang dimilikinya, untuk sekedar mendengarkan keluh kesah anak didiknya hampir tidak pernah dilakukan. Lalu, bagaimana guru tersebut dapat membantu para siswanya untuk mencapai keberhasilan dan menjadi teladan yang baik?.

Sementara dipihak lain yang mengalami kekalahan. Bahkan orang yang selalu mendapatkan kekalahan akan semakin terpuruk tenggelam dalam rasa rendah diri yang semakin besar. Hingga menariknya untuk berhenti berusaha dan menutup diri untuk percaya pada kemampuannya. Mungkin bagi orang dewasa akan lebih bijak dalam menyikapi kekalahan namun, bagi anak usia dini memiliki pengaruh yang luar biasa. Diusia semuda itu harus merasakan kekalahan yang seharusnya mereka menikmati masa bermain dan belajar dengan suasana menyenangkan. Perasaan kalah yang melunturkan rasa percaya dirinya. Memaksanya untuk berhenti belajar bersosialisasi, berinteraksi dengan lingkungan bahkan bergaul dengan teman sebayanya. Ditambah dengan tekanan orang tua dan rasa kecewa yang dilampiaskan kepada anaknya karena tidak menjadi juara. Maka tak sedikit anak yang memiliki rasa percaya diri yang rendah. Menutup diri hingga memutuskan mengakhiri hidupnya atau terjerumus kepada pergaulan yang salah.

Beberapa permasalahan yang terjadi itulah menjadi indikasi terjadinya ketidakseimbangan dalam penerapan nilai-nilai pendidikan berkarakter. Oleh karena itu, dalam pendidikan berkarakter hal yang paling utama adalah menyatukan serta menyeimbangkan nilai-nilai karakter dalam diri. Sehingga dapat bersinergi saling melengkapi guna tercapainya tujuan menjadi insan berkarakter. Menurut DR. Uhar Suharsaputra dalam Akhmad Sudrajat, Karakter tersusun menjadi tiga bagian yang saling berhubungan, yaitu moral knowing (Pengetahuan moral), moral feeling (Perasaan Moral) dan moral behavior (Perilaku moral). Dapat ditarik kesimpulan bahwa karakter tidak hanya sebatas pengetahuan. Melainkan, bagaimana pengetahuan itu merangsang keinginan untuk memiliki perhatian terhadap kebaikan dan untuk selalu berbuat kebaikan. Sehingga menjadi kebiasaan baik dalam pemikiran maupun tindakan.

Berbicara tentang proses penyelenggaraan pendidikan, didalamnya tidak terlepas dari Guru. Sebagai penggiat pendidikan sosoknya menjadi panutan atau role model bagi anak didiknya. Sehingga sangat mudah bagi seorang guru untuk digugu dan ditiru segala tindak tanduknya termasuk dalam menularkan nilai-nilai pendidikan berkarakter. Oleh sebab itu, sebelum menanamkan pendidikan berkarakter kepada peserta didik maka ada baiknya guru perlu terlebih dahulu mengamalkan nilai-nilai pendidikan berkarakter. Sehingga peserta didik tidak perlu diajari tentang pendidikan berkarakter. Melainkan dapat melihat contoh perilaku berkarakter langsung dari gurunya.

Guru Berkarakter sesungguhnya bukanlah sesuatu yang bersifat to be or not to be, melainkan a process of becoming. Suatu proses yang berkesinambungan. Menjadikan profesi guru sebagai suatu kesadaran akan panggilan hidup. Senantiasa berusaha dan berjuang mengembangkan aneka potensi kecerdasan yang dimilikinya. Sehingga dapat berkontribusi positif sebagai bagian penting dari pelaksanaan pendidikan berkarakter di sekolah.

Layaknya angin segar, adanya kurikulum 2013 dapat mendukung jalannya proses pendidikan berkarakter. Salah satunya mengenai sistem penilaian yang lebih komprehensif. Tidak hanya menilai pengetahuan saja melainkan terdapat penilaian sikap dan keterampilan. Tidak lagi menggunakan skala 0-100 melainkan 1-4 untuk aspek kognitif dan psikomotor. Sedangkan aspek afektif menggunakan penilaian sangat baik, baik, cukup dan kurang. Penilaian peserta didik lebih mengedepankan kepada penilaian otentik (sebenarnya). Dalam arti siswa akan memahami pengetahuan berdasarkan apa yang ia rasakan dan temukan selama proses pembelajaran. Tidak ada lagi istilah murid pintar dan murid bodoh. Semua murid memiliki kemampuan dan kecerdasan yang berbeda-beda.

Sekolah sebagai salah satu sasaran dalam penerapan nilai-nilai pendidikan karakter. Memiliki peranan penting dalam pembentukan sebuah karakter bangsa. Diharapkan sekolah dapat menjadi tempat belajar, mengkaji dan berbagi ilmu pengetahuan, pengalaman hidup, juga sebagai sarana untuk berlatih baik hard skill maupun soft skill. Agar siswa dapat memperoleh kecakapan-kecakapan hidup. Selain itu, sekolah juga dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kreativitas ataupun menciptakan inovasi-inovasi baru. Baik bagi peserta didik itu sendiri maupun guru, kepala sekolah maupun personil sekolah lainnya. Dengan adanya perubahan ini setidaknya dapat menjadi awal penyelenggaraan pendidikan di Indonesia lebih baik lagi. Agar selalu sejalan dengan tujuan pendidikan nasional. Sehingga mampu mewujudkan bangsa Indonesia yang berkarakter sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Afif Burhanudin, Tahapan Pembentukan Karakter. https://afidburhanuddin.wordpress.com/2015/01/17/tahapan-pembentukan-karakter/ diunduh pada tanggal 10 April 2017 Pukul 14 : 30 WIB.

Akhmad Sudrajat, Menjadi Guru Berkarakter. https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/10/09/menjadi-guru-berkarakter/ diunduh pada tanggal 11 April 2017 Pukul 15: 07 WIB.

Kurniawan, (2015). Landasan Pendidikan / Pendidikan Karakter. http://yalid-post.blogspot.co.id diunduh pada tanggal 11 April 2017 Pukul 15: 05 WIB.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (On Line), Arti Kata karakter. http://kbbi.we.id>karakter diundih pada tanggal 10 April 2017 Pukul 15:12 WIB.

Suyadi, (2013),18 Nilai Dalam Pendidikan Karakter Versi Kemendiknas. http://layanan-guru.blogspot.co.id/2013/05/18-nilai-dalam-pendidikan-karakter.html diunduh pada tanggal 10 April 2017 Pukul 16: 10 WIB.

Lukmanul hakim, Sistem Penilaian dalam Kurikulum 2013: Kajian Dokumen. www.academia.edu/5253890/sistem_penilaian dalam_kurikulum_2013_Kajian_dokumen diunduh pada tanggal 11 April 2017 Pukul 15:05 WIB.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kerennn..serasa bikin makalah lengkap dengan daftar pustaka...

12 Jun
Balas

haturnuhun teteh Dati supportnya mdh2-an bisa sebanyak dan semenarik teteh dati tulisannya amin..

12 Jun

salam kenal juga pak Mursyid, terimkasih sudah membaca artikel saya..

12 Jun
Balas

salam kenal juga pak Mursyid, terimkasih sudah membaca artikel saya..

12 Jun
Balas

Pendidikan karakter memang tidak dapat diwujudkan secara terpisah. Pembahasan artikel ini juga sangat menyeluruh sehingga mudah dipahami. Sekolah menjadi sasaran penerapan 18 nilai-nilai moral yang wajib diterapkan pada jenjang pendidikan. Termasuk karakter yang utama adalah semangat gotong-royong. Namun, karakter yang lahir malah karakter kompetitif yang menyebabkan persaingan dan membuat pribadi individualis. Sungguh sangat disayangkan. Mudah-mudahan kedepannya Indonesia yang lebih tangguh seperti pada Undang-undang dapat terwujud. Salam kenal, Mursyid.

12 Jun
Balas



search

New Post