Dewi Fitrianti

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Gegara Buku Hilang 2006

Gegara Buku Hilang 2006

Tahun 2006, pulang ke kampung halaman dari kuliah dengan menggondol ijazah itu luar biasa. Semua buku-buku yang didapat semasa kuliah entah itu hasil fotocopy atau hasil membeli dengan uang upah kerja keringat kerja part time itu luar biasa pun dibawa turut serta pulang kampung. Tujuannya agar dapat menjadi koleksi perpustakaan pribadi menjadi sejarah yang dapat diceritakan kepada anak cucu.

Masih ingat beberapa dus itu diangkut taksi ke stasiun Tugu Yogyakarta dengan kereta ekonomi tujuan stasiun pasarsenen. Sungguh perjuangan luar biasa untuk melestarikan buku buku kuliah dan diktat kuliah milik pribadi. Mungkin sebagian teman teman ada yang menimbang buku - buku itu untuk diberikan ke tukang loak atau dihibahkan kepada adik kelas angkatan kuliah dulu. Tetapi aku TIDAK.

Tiba di kampung halaman tentu saja akan bertemu dengan sanak saudara, teman teman SMA, teman teman SMP yang bersilaturahmi untuk bertegur sapa bercerita pengalaman kuliah atau bisa saja membuka peluang bisnis misalnya. Ada banyak positif dan ada sisi tak baiknya juga. Komunikasi yang lama terputus karena kesibukan kuliah akhirnya membuka beberapa akses persahabatan menjadi lebih intens dengan kawan kawan semasa sekolah.

Satu waktu, ada rekan tak sengaja melihat buku milikku. Dan dipinjamlah buku yang dibeli di jalan Urip Sumoharjo Yogyakarta (Jalan Solo). Selayaknya orang pinjam buku, harus dikembalikan kepada pemiliknya. Ternyata setelah bebarapa hari, berminggu minggu hingga ulang tahunku ketika kutanyakan apa bukunya sudah selesai dibaca, jawabnya "masih dibaca". Dalam hati, masih aman.

Minggu selanjutnya, kutanyakan lagi buku itu. Dan jawabnya "hilang"

"Uh sial" umpatku.

Menyesal aku meminjamkan buku itu kepadanya. Dari hari itu, bertekad tidak akan meminjamkan buku lagi kepada orang lain. Buku itu tidak seberapa harganya, tetapi pesan moral dan isinya luar biasa. Buku aslinya berbahasa Arab. Tentu saja sangat berkesan, karena buku itu dibeli dari tabungan yang diperoreh semasa krisis moneter terjadi. Ada sejarah di balik buku itu. Dan mungkin orang lain tidak menyadarinya.

Putar otak, harus dicari lagi buku itu di tempat membelinya dulu tahun 1997 di Yogyakarta. Ahhh... ketika bertandang ke Yogyakarta, toko buku itu sudah gulung tikar. Kemana, kemana lagi harus ku cari...?

Era digital cukup membantu dalam pencarian buku itu, sejak 2007. Mulai searching internet, ternyata tidak hanya saya yang mencari buku itu. Sungguh buku itu banyak diulas dan dikaji mendalam dari tata bahasa, sejarah, dan pesan moralnya yang bermutu. Berarti ini bukan sembarang buku. Semakin panaslah saya, ketika buku itu kini lepas dari genggaman. Huh ..menyebalkan.

Akhir 2007 saya menemukan rekam jejak digital buku itu di Perpustakaan Nasional RI, tetapi saya tidak paham dimana lokasi perpustakaan itu. Saya tenggelam dalam kesibukan, keasyikan menjadi guru baru di kampung halaman, terbius oleh agenda agenda keguruan yang semakin hari semakin tergila-gila saya terjun ke dalamnya. Apakah saya melupakan buku itu? Tentu saja tidak. Tahun 2010 - 2016, kembali bersentuhan intens dengan buku-buku ilmiah karena guru harus terlibat dalam penelitian tindakan kelas sebagai tuntutan laporan tugas guru. Semangat kian menggebu ketika satu grup komunitas WhatsApp memberikan peluang kepada saya untuk menulis buku dan menerbitkannya hingga tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Jl Salemba kini. Dan kini menjadi anggota Perpustakaan Nasional Republik Indonesia itu. Jalan saya mendapatkan kembali buku itu semakin terbuka lebar. Ketika pertama kali menginjakkan ke perpustakaan itu, yang kucari adalah buku itu. Bagaimanapun bentuknya, harus kudapatkan kembali buku itu. Walaupun saya sudah mengikhlaskan hilangnya buku itu di tahun 2006.

Ya, ketika mesin cari OPAC PERPUSNAS bekerja satu kali klik, ternyata buku itu ada di lantai 22. Sungguh hati ini berjingkrak riang, dan langkah ku laju cepat menuju lift lantai 22 perpustakaan nasional di Jln Merdeka Selatan. Ruang baca PERPUSNAS lantai 22 begitu hening dan sejuk karena ruangan ber-AC. Tampak memandang keluar jendela Tugu MONAS begitu berkilau seindah cahaya hatiku yang akan bertemu dengan buku kesayangan itu. Seperti orang jatuh cinta saja. Berdebar-debar ketika menuju rak buku yang diarahkan oleh petugas perpustakaan. Satu persatu kusisir rak buku itu, dan mulai mencari. Semakin lama semakin penasaran saja. Tetapi buku itu tidak ada di rak nya. Saya belum beruntung. Waktu menunjukan pukul 12.30 WIB di hari Minggu, tentu saja PERPUSNAS ramai dikunjungi orang. Dalam hati berguman "Emang situ aja yang pengen baca buku itu?"

Haha...senyum senyum sendiri. Kembali aku tanyakan kepada petugas perpustakaan.

"Ya, Bu. Buku itu sedang dibaca orang lain". jawabnya

Semacam kelegaan muncul dalam hati, yang penting saya tahu kini ada koleksi buku itu di PERPUSNAS. Karena waktu terbatas, saya akhiri pencarian buku di hari itu. Dan Desember 2018, kembali mengunjungi PERPUSNAS. Untuk memastikan keberadaan buku itu di fasilitas mesin pencarian buku OPAC PERPUSNAS, ternyata kini buku itu ada di lantai 12A Ruang Deposit. Saya tidak peduli apa itu deposit atau bukan, saya harus bertemu dengan buku itu. Ternyata buku itu hanya ada satu di PERPUSNAS, pupus sudah dahagaku mencari buku itu, kini bila ingin membaca buku itu, saya tinggal ke PERPUSNAS dan duduk manis menikmati tulisan halaman demi halaman pesan moral yang disampaikannya.

Sungguh orang yang meminjam buku itu menyakitiku dengan menghilangkan buku itu. Tetapi, tidak perlu saya membencinya karena keteledorannya menjaga sebuah buku. Ini membuat saya lebih waspada untuk meminjamkan buku kepada orang lain :D.

Tetapi dari hilangnya buku itu justru membuka peluang saya untuk tetap intens di bidang tulis menulis dan tetap mencintai buku lebih mendalam dari sebelumnya.

Dalam sebuah situs web,

Warisan terbaik kita kepada generasi berikutnya adalah kecintaan kepada ilmu yang dilengkapi referensi yang memadai.

Sebab itulah warisan para nabi dan ulama-ulama terdahulu. Bagian terbaik itu adalah mewarisi buku yang melimpah sebagai sarana meraih ilmu.

Sesungguhnya mewariskan buku-buku berikut ilmu yang terkandung di dalamnya dapat memberikan manfaat bagi orang hidup maupun orang mati. Karena anak-anak kita akan membaca dan belajar dari apa yang mereka baca dari buku-buku tersebut.

Sementara kita yang berada di kubur, akan senantiasa mendapatkan kiriman pahala selama mereka memanfaatkan warisan kita dengan baik. Lestarinya pemanfaatan ilmu berupa buku tersebut, lestari pula amal jariah bagi pemiliknya.

Republika online 15 April 2014, "Salah satu tanda cinta ilmu adalah menangis ketika kehilangan seorang syaikh yang mulia dan sedih ketika kehilangan buku berharga".

Mari Cintai Buku, dan Mari Menulis Buku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kecintaan pada buku yang luar biasa, Bunda. Sangat menginspirasi

20 Dec
Balas

Terima kasih Ibu

20 Dec

Luar biasa Bunda, cinta pada ilmu yang begitu mendalam, hingga hilangnya buku membuat luka di hati. Begitulah bila seeuatu telah merasuk di hati. Sukses selalu dan barakallah

20 Dec
Balas

Terima kasih, sami sami Bu Siti Sukses selalu.

20 Dec



search

New Post