Dewi Nurmalasari

Saya seorang guru SMA di Surabaya 😊 Alumni IKIP Negeri Malang angkatan 1991, Menyelesaikan study Magister di UNS Surakarta tahun 2009. Beberapa artikel dan ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Jangan Menangis Sayang!

Jangan Menangis Sayang!

Dingiiin, angin berhembus lembut menyusuri gelap, menembus celah fentilasi kamar, membangunkan nyenyak tidurku. Spontan jemari mencoba menggapai arloji di atas bantal di sampingku. Sambil berusaha memperjelas pandangan melirik arah jarum jam

“Ooh pagi sudah menjelang, jarum pendek menunjuk angka 4, perasaan terlelap baru sebentar, ee tenyata sudah saatnya bangun.” aku bergumam sendiri.

Dengan malas aku bangkit dari rebahan, rasanya sukmaku belum kembali seratus persen, masih setengah tidur dan setengah tersadar. Duduk, lalu minum segelas air yang telah kupersiapkan kemarin sore.

Cleess terasa segar, efeknya langsung mata bisa terbuka secara sempurna.” hehe lebay.

Lentur-lenturkan badan sebentar agar tidak terasa kaku semua. Putar kepala kiri kanan, angkat tumit, tarik tangan ke atas sejauh mungkin, lalu membukukkan badan pelan turunkan tangan hingga menyentuh lantai, tahan satu, dua, tiga, selesai tegakkan badan kembali.

Yach agak enakan dech sekarang, bergegas ke kamar mandi, guyuran air pertama hiii dingiiin, agar tidak beku lama-lama di sana byur byur aktifitas kupercepat, dan tidak lupa terakhir ambil air wudhu.

Suara adzan telah berkumandang panggilan untuk melakukan ibadah shalat telah tiba. Mukena sudah kukenakan dan bermaksud ke kamar ibu untuk menghampirinya. Ternyata ibu telah menunggu di ruang depan untuk berjamaah ke mushola sebelah kanan rumah.

“Ayahmu telah duluan berangkat, ayo dik agak cepat agar kita dapat tempat di shaf depan.” Ajak ibu sambil merapikan mukenanya.

Kami berdua mengayunkan kaki bersama menuju rumah ibadah tersebut. Sepulang dari mushola, lakukan rutinitas membantu ibu menyiapkan sarapan pagi. Menunya sederhana saja sambal tempe penyet dan telur mata sapi makanan kesukaan Zakky. Tidak lupa secangkir kopi panas untuk ayah dan segelas susu putih untuk si cowok kecil itu.

“Sarapan sudah siaap,” dengan ceria aku katakan itu, sambil membawa empat piring dan sendok untuk bersiap sarapan.

Ayah sudah mengenakan pakaian dinasnya, tambak sangat ganteng, hijau-hijau hehe ya iyalah kan Ayah seorang tentara angkatan darat. Indra adikku juga sudah cakep dengan seragam biru putihnya, aku pun telah siap berseragam putih abu-abu baju kebanggan siswa SMA.

Makan pagi bersama. Itu sudah menjadi kebiasaan keluarga kami, apapun lauknya serasa enak saja, jarang ada komplain tentang menu disajikan, tidak ada kata tidak enak, yang ada hanya enak dan enaak banget.

“Syukuri yang ada,” begitu pesan pesan ibu

“Insya Allah berkah.” ibu menjutkan kata-katanya sambil mengambilkan makanan untuk ayah.

“Iya ibu, alhamdulillah ada sarapan nasi dan lauk, ada temanku yang sarapanya ubi setiap hari, kasihan dia.” jawab Indra setelah menghabiskan tetesan terakhir susunya.

Tatakrama zaman dulu, penanaman pendidikan berkarakter macam begitulah, yang harus dipatuhi pada saat makan adalah sudah mandi itu urutan pertama, makan sambil duduk manis, tidak boleh sambil berbincang-bincang dan tidak diijinkan ada suara denting piring dan sendok. Senyap, tenang, dingin, begitulah suasananya budaya saat itu, tapi ada sisi baiknya, mengamalkan tatacara makan yang diajarkan oleh Rasululluh SAW.

Berbeda dengan kondisi saat ini, justru makan merupakan acara yang paling pas untuk beramah tamah, mencicipi hidangan sambil mengobrol, malah jika acara dihadiri orang banyak makannya sambil berdiri dan bisa sambil jalan-jalan menghampiri teman-temannya. Memang luwes kelihatnya, budaya saat ini. Dua hal yang saling berlawanan, ada sisi baik dan buruknya masing-masing.

Setelah kami selesai sarapan, pamit dan salim mencium tangan ayah ibu tidak pernah lupa kami lakukan.

“Hati-hati di jalan, tidak usah ngebut, tidak ada yang ketinggalan?”

Setiap pagi itu yang kami dengar nasehat ibu. Saking seringnya nasehatnya hanya didengar saja tanpa dijawab, hehe. Bersepeda siap berangkaaat.

SMA tempatku sekolah cukup jauh, naik sepeda ditempuh 30 menit dari rumah ( kalau orang dulu itu hal yang biasa). Aku ayun sepeda dengan santai tapi tetap saja lumayan menguras tenaga.

Pagi, siang setiap hari mengayuh sepeda kesayangan pergi dan pulang sekolah. Karena terbiasa maka jarak tempuh tidak pernah jadi masalah, yang menjadi masalah adalah sepadaku tidak ada penutup gearnya, sehingga rok selalu hitam-hitam terkena gemuk sepeda. Tapi ya sudahlah itu tidak terlalu penting, skip saja. Toh teman tidak akan melihat sampai bawah-bawah rok hehe.

Pagi itu aku datang ke sekolah lebih awal karena jadwal piket harus bersihkan kelas, menyapu dan menyiapkan kapur tulis, mengisi air di ember untuk cuci tangan. Setiap selesai menulis atau mengghapus papan tulis, selalu tangan berdebu, maka dari itu disiapkan air di dekat pintu masuk kelas. Tidak sendiri sih melakukan tugas tersebut, ada dua teman yang saling bantu bersihkan kelas, team piket yang solit sehingga asyik saja mengerjakannya.

Teng, teng bell dipukul dua kali, saatnya pelajaran jam pertama dimulai. Berbaris di depan kelas, disiapkan ketua dan baru boleh masuk setelah dipersilahkan guru, lalu kami masuk kelas sambil besalaman dengan guru yang hadir pada jam pertama.

“Asyik jam pertama pelajaran kimia,” seneng ketemu Ibu guru yang cantik idola siswa.

“Woow.”

Hari itu beliau tampak sangat anggun, bukan karena memakai baju mewah atau make up yang berlebih, tapi memakai baju warna abu-abu khas seragam guru zaman dulu dipadu dengan outer hitam sederhana tapi pantas.

Guru selalu serasi antara baju dan jilbabnya dan tubuhnya tinggi semampai sehingga memakai baju apa saja terlihat cantik. Dikagumi siswa-siswanya, beliau selalu menyenangkan saat mengajar, tutur katanya lembut, tampilannya selalu ceria, tidak pernah marah, akrab dengan kami siswa-siswanya.

Pembelajaran diawali dengan doa, kegiatan belajar mengalir dengan santai tapi serius. Memang guru yang satu ini sangat mahir membuat kami semua sibuk belajar dengan suasana yang menyenangkan, joyful learning zaman sekarang orang menyebutnya. Belajar tanpa tekanan dan ibu guru siap membantu jikalau ada siswa yang kesulitan.

Tok tok, suara pintu kelas diketuk, Ibu guru BK atau bimbingan konseling meminta izin pada guru kelas untuk memberikan pengumuman.

“Assalamualaikum anak-anak.”

“Waalaikum salam,” jawab siswa-siswa serempak

“Hari ini ada pengumuman dari kampus perguruan tinggi negeri. Bagi siswa yang lolos jalur PMDK, saya ucapkan selamat dan sukses, yang belum beruntung jangan berkecil hati, mungkin hanya sukses yang tertunda.”

Deg deg deg jantungku berdekup, sedikit menahan nafas karena tegang. Disebutlah nama satu persatu siswa yang berhasil menembus masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur tersebut. Alhamdulillah sahabatku diterima di perguruan boLiat di Bogor, saat itu aku belum bisa memberi ucapan selamat, dalam hati ikut bersyukur dia telah lolos.

“Sekali lagi, bagi anak-anak yang tidak saya sebut namaya, jangan khawatir masih banyak kesempatan, persiapkan diri kalian untuk mengikuti seleksi jalur tulis. Sekian wasalamualaikum”

Demikian bu guru mengakhiri pengumuman tersebut. Dari sekian banyak yang disebutkan, namaku tidak ada.

“Namaku tidak ada?!” tanyaku dalam hati setengah tidak percaya.

Sediiih sangaaat sedih yang aku rasakan saat itu, tanpa disadari air mata berlinang . Rasanya ingin menangis sekencang-kencangnya.

“Ibuuu, ayaah, maafkan aku, tidak lulus seleksi,” hatiku merintih.

Malu dan kecewa yang kualami, mendukkan kepala dalam-dalam tidak berani mengkat wajahku. Tubuh terasa lemas, kepala pening, serasa dunia telah berakhir, bercampur aduk sulit untuk digambarkan. Nanti kalau sampai di rumah apa yang harus kukatakan pada ayah ibu.

“Bagimana nanti kalau pulang sekolah orang tuaku menanyakan hasil pengumuman itu?” pertanyaan yang membuat hati tambah galau.

Sesenggukan, menahan tangis dan gelisah yang tak terkirakan. Tiba-tiba ada sentuhan hangat dipunggungku, mengelus bahu, sahabat berusaha menguatkan diriku. Dia teman yang sangat dekat, sebagai curahan curhat bagai saudara sendiri.

“Sabar ya dik, insyaa Allah ada cara lain untuk bisa masuk perguruan tinggi negeri, jangan nangis, jangan besedih, pasti semua ini ada hikmah,” Dia bisikan kalimat seperti itu ditelingaku.

“Dik dirimu pasti bisa, semoga nanti lolos melalui jalur tulis, aamiin.” sambil memberiku 2 helai tisu untukku.

“Yakinlah Allah akan pilihkan yang terbaik untukmu” sekali lagi dia menguatkan.

Kalimatnya yang terakhir itu menyadarkanku bahwa bisa jadi apa yang buruk ternyata baik dan apa yang aku inginkan ternyata buruk bagiku, seperti firman Allah yang artinya sbb:

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci boleh jadi kamu membeci sesuatu , padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi menyukai sesuatu padahal amat buruk bagimu: Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah:216)

Seketika itu ada sesuatu yang merambah hatiku terasa sejuk, tenang dan menerima apa yang terjadi. Linangan air mata berangsur mengering dan bisa memulai menggangkat kepalaku, melihat sahabat masih disebelahku sejurus kami saling berpandangan dan berpelukan, menangis bersama tapi bukan karena kesedihan tapi entah apa yang kami rasa saat itu.

Setelah dapat berpikir dengan jernih ternyata banyak kawan yang senasip denganku, sedih tapi pada akhirnya suasana kembali normal.

“Yang lalu biar saja berlalu, kita tatap masa depan baru,” begitu seruan yang memberi dukungan moral pada yang belum bernasip baik.

Pelajaran berlanjut seperti hari-hari sebelumnya. Jam dinding di sekolah menjukkan waktu 14.00 WIB. Teng, teng, bel dipukul 4 kali tanda berakhir pelajaran, pembelajaran diakhiri doa dan kami semua berhamburan menuju parkir sepeda, semua pingin cepat pulang, termasuk diriku hehe.

Bersepeda ramai-ramai menuju rumah masing-masing. Ada yang belok arah selatan ada yang keutara. Aku ke arah utara, terus saja mengayuh sepeda dengan kencang, ingin cepat sampai tujuan. Sesaat terlupakan kesedihan.

Pada tikungan terakhir dekat rumah, hati mulai kembali gelisah, teringat pada berita tidak menyenangkan tadi. Sesampai di rumah kusandarkan sepeda dekat pohon mangga di depan rumah.

“Assalamualaikum,” sambil melangkahkan kaki memasuki ruang depan.

“Waalaikum salam,” jawab ibu dari kejauhan, “kok suaramu serak kenapa dik? lho kok nangiis,” ibu tergopoh gopoh menghampiri.

“Ada apa sayang, kenapa menangis? Tadi jatuh kah? Dimarahi guru kah?” ibu penasaran dengan berbagai pertanyaan, meminta jawab dariku. Aku hanya menggelengkan kepala.

Dengan kasih sayang ibu menggandengku dan dibawanya masuk kamar, lalu ibu mengulang pertanyaannya,

“Kenapa menangis dik? Ibu sambil mengelus kepalaku.

“Ayolah jangan begitu, ibu ikut sedih.” beliau melayangkan satu ciuman di pipiku.

“Ibuu, Ibu jangan marah ya kalau aku menyampaikan sesuatu?” pintaku sambil menggegam tangannya.

”Tidak dik, jangan khawatir tidak ada yang akan marah.” Ibu sudah siap mendengarkan.

“Maafkan ya bu, aku tidak bisa membuat ibu bangga, aku tidak lolos PMDK.” Sedetik aku menunggu respon ibu.

“Ya Allah dik, gitu saja kok nangiiis, gak pa pa, itu namanya belum rejekiii, sudah jangan bersedih ya, insyaa Allah ada cara lain yang Allah pilihkan untukmu.”

“Belajar lebih giat untuk hadapi ujian tulis yaa.” begitulah ibu mengembalikan semangatku.

Hhmm langsung ku peluk erat-erat dan aku katakan “Aku sayang Ibu, nanti ibu yang cerita sama Ayah ya” semua yang menyesakkan dada serasa longgar.

“Iyaa, sudah-sudah ayo segera ganti baju, itu Ibu memasak sayur menir dan dadar jagung kesukannmu.”

Oohh plooong rasanya, lega dan kemudian aku berganti pakaian. Alhamdulillah memiliki ibu yang sangat bijaksana. Terhapus sudah gundahku.

Waktu berlalu dengan cepat, siswa kelas tiga rentang waktu belajarnya lebih singkat di banding adik kelas. Hanya sekitar 10 bulan saja. Setelah ujian nasional, tidak ada pelajaran. Jeda waktu antara ujian nasional dengan seleksi masuk perguruan tinggi negeri kurang lebih dua bulan.

Temanku yang mampu secara finansial mengikuti bimbingan belajar ke luar kota, ada yang ke Jogjakarta, Malang, Surabaya dll.

Jujur diri ini juga kepingin seperti mereka, namun keterbatasan dana orang tua tidak memungkinkan itu aku lakukan.

“Semangaaat, belajar sendiri, insyaa Allah bisa!” menghibur diri.

Yaa, waktu benar-benar kufokuskan pada belajar, latihan soal dari buku yang aku pinjam dari kakak kelas.

Tibalah saatnya waktu yang menegangkan untuk dapat merebut bangku kuliah. Tempat ujianku di sebuah kampus negeri di Surakarta. Dengan bekal sekedarnya bismillah nekat naik bus beranggat pagi banget sendiri, ini pengalaman pertama pergi jauh sendiri tanpa teman. Restu ayah ibu yang menyertai perjalananku.

Sampai di lokasi sekitar jam 6.30 WIB. Turun dari bus, berjalan ke arah kampus dengan tujuan gedung E. Di kampus sudah banyak orang yang sepertinya mirip nekatnya denganku. Bersyukur di setiap tikungan jalan ada penunjuk arah yang jelas, sehingga tidak terlalu ingah ingih bahasa Jawanya dalam mencari gedung tersebut.

Dari ujung jalan tampak gedung E menjulang tinggi. Aku merapat ke arah bangunan itu. Tempat ujianku di lantai dua, ruang lima dan duduk di bangku nomer tiga dari depan.

Ujian hari pertama Test Potensi Akademis, aku buka halaman demi halaman, tidak boleh grogi! aku berusaha mengendalikan pikiran. Berusaha kukerjakan soal yang pasti benar menurut pemahamanku. Alhamdulillah dua per tiga soal telah aku selesaikan.

Keesokan harinya seperti sebelumnya berangkat pagi-pagi, mantap langkah kakinya karena sudah faham jalannya. Tes kedua tentang mata pelajaran, aduuh soal-soalnya lumayan sulit, eem gak cuman lumayan sih tapi sulit banget. Soalnya katagori HOTS (Higher Order Thinking Skill) begitulah istilah kerennya.

Tetap berpegang teguh pada prinsip, soal aku kerjakan yang kuyakini benar saja, karena isunya penskoran jika mengerjakan salah maka nalai dikurangi satu. Sehingga tidak ada kamus coba-coba menjawab ngawur. Hari ini hanya sedikit yang yakin kujawab benar, “aaduuh gimana ini?” tapi ya sudahlah nasi telah menjadi bubur. setelah semua selesai, langsung pulang.

Ihtiar telah selesai aku jalani, berdoa memohon belas kasih Allah, agar diberikan yang terbaik. Setiap malam berusaha mendekatkan diri.

”Ya Allah Tuhanku yang maha pengasih, ampuni dosa ayah ibuku, kasihi mereka seperti beliau mengasihi diriku, maafkan semua dosaku ya Rabb, berilah kemudahan dalam hidupku, jadikan hamba-Mu termasuk orang yang beruntung, dan berikan yang terbaik menurutMu ya Allah aamiin.” aku memohon seolah Allah ada di depanku, itu yang senantiasa kupanjatkan. Permintaannya banyak banget.

“Kira-kira Allah bosen ngak ya setiap saat selalu mendengar permemohonanku kepadaNya?” entahlah, Allahualam.

Hari demi hari berlalu tanpa terasa, suatu pagi setelah jadwal piket malam biasanya ayah libur kerja, pagi itu ayah manfaatkan waktu bersepeda.

“Ayah akan bersepeda kemana? Tanyaku.

“Boleh aku ikut?” diriku merajuk, “Ayo!” jawab ayah singkat.

“Lho dik yang bantuin ibu membuat kue siapa?”

Suara ibu terdengar dari arah dapur, tahulah maksud pertanyaan ibu untuk mencegahku ikut dengan ayah dengan cara yang lembut.

“Hehe iya ya, si Indra tuh mana bisa bantuin, bisanya gangguin saja,” sengaja mengolok adik untuk memulai keributan.

Tapi cowok kecil itu pura-pura tidak mendengar suaraku, Dia asyik main gamebout tanpa perduli sekitar.

Akhirnya ayah berangkat sendiri bersepeda ke arah utara, menuju alun-alun yang tidak jauh dari rumah kami.

Aku, bantuin ibu buat pisang goreng coklat. Makanan yang dibuat dari pisang kepok yang masih mengkal dimasukkan dalam adonan yang dibuat dari tepung terigu, ditambah mentega, gula dan sedikit garam. Setelah matang ditoping coklat taburi meses jadi dech. Makanan favorit keluarga kami.

Ayah besepeda tidak lama, pulangnya membawa koran dijepit di boncengan belakang.

“Tumben ayah beli koran, lihat Yah, halaman opininya,” Ayah memberikan koran dan berkata

“Tidak ada kolom opini hari ini, lihat aja tuch.”

Ketika aku membuka halaman kedua, Eh Ya Allah hari ini pengumuman penerimaan mahasiswa baru, semua kolom koran penuh dengan nama-nama orang yang lolos.

“Ini yang Ayah lingkari namanya siapa?”

Haaahh, Alhamdulillah namaku tertulis di sana. Langsung aku melompat dipelukan ayah. Ayahku menyambut dengan hangat.

“Anak Ayah pinter ternyata!” ledek ayah dengan tertawa bahagia.

Kami semua bahagia. Bersyukur berjuanganku berhasil,

“Uupps!”

Belum selesai perjuangan, ini adalah langkah awal untuk meraih cita-cita.

*****

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Pembaca yang budiman, saya baru belajar menulis, mohon kritik dan saran yang membangun

01 Apr
Balas



search

New Post