Hari masih pagi, tetapi kami sudah sibuk dengan tugas masing-masing. Tugasku pagi ini mencuci piring di “tabek ujuang”. Ketika sibuk membilas piring dan cangkir, aku dipanggil untuk segera pulang. Aku tak mengerti, dengan tergesa aku selesaikan tugasku. Sebaskom penuh piring segera bertengger di atas kepala dan aku beranjak pulang.

Sampai di rumah, aku tak bisa berkata-kata. Mulutku terkunci, begitu juga dengan saudariku. Kemaren mak masih baik-baik saja. Aku sempat memijit kepala beliau dan menyuapi beberapa potong tomat kesukaannya. Pagi ini mak menghadap Ilahi. Innalillaahi wainna ilaihi raajiuun.

Pikiranku melayang, aku seolah-olah pernah berada pada situasi seperti ini. Aku tak dapat mengingatnya dengan baik. Apakah aku pernah bermimpi? Orang bilang, mimpi hanya bunga tidur, tetapi tentu bukan mimpi seperti ini yang menjadi bunga tidur. Entahlah. Sepanjang hari itu sibuk. Keluarga dan kerabat datang melayat. Bapak juga sangat terpukul. Menjelang sore, pemakaman mak sudah selesai.

Ada yang hilang saat kami sampai di rumah kembali. Sepotong asa sudah terpenggal. Aku dan tiga saudariku sangat canggung dengan kondisi baru ini. Alhamdulillah, saudara dan kerabat memberikan dukungan dan semangat. Saat itu aku masih duduk di kelas 2 Madrasah A’liyah, kakakku Mahasiswi semester 1, dan adikku kelas 2 Tsanawiyah dan kelas 2 SD. Mak adalah sosok yang tangguh dan bersahaja. Beliau tak banyak bicara, tetapi didikannya luar biasa. #Alfatihah untuk Mak# Limbanang, 18 Juli 2020.