Diana Wahyuni

Paroxsym, Introvert, and Coffeeholic...

Selengkapnya
Navigasi Web
Buah Seletup: Kecerdasan Naturalis yang Hilang

Buah Seletup: Kecerdasan Naturalis yang Hilang

Setelah beberapa hari "terkurung" di hotel karena agenda diklat yang padat, akhirnya dapat kesempatan juga untuk keluar hotel. Bersama rekan diklat lain, kami kelayapan di sekitar hotel. Persis di depan ATM Centre, ada sejenis tumbuhan perdu yang merambat. Tumbuhan ini memiliki buah kecil yang ditutupi oleh jaring-jaring halus berwarna hijau. Saat matang, buah kecil berwarna hijau tersebut berubah warna menjadi kekuningan. Isi buahnya persis seperti markisa. Kami menyebutnya buah seletup.

Buah seletup ini membawa nostalgia masa kecil. Betapa masa kecil menjadi masa yang menyenangkan. Tatkala masih kecil, kami bebas bermain dan mengeksplorasi lingkungan. Alam dan lingkungan menjadi teman baik.

Kini, zaman telah berubah. Teknologi digital berkembang sangat pesat. Anak-anak lebih memilih bermain dengan gawai atau permainan daring daripada bermain di lingkungan sekitar. Bisa dibilang, gawai telah merebut masa kecil anak-anak yang hidup di era digital.

Acap kali, orang tua memberikan keleluasaan pada anaknya untuk memegang gawai. Entah karena terlalu sayang atau terlalu sibuk sehingga tidak memiliki waktu untuk bermain dengan anak sendiri. Akhirnya, anak dibesarkan dan dididik oleh perangkat digital.

Kini, khususnya di perkotaan, hampir jarang terdengar suara gelak riang anak-anak bermain di lingkungan sekitar. Anak-anak tak berminat mengenal lingkungan karena perhatian mereka telah teralihkan pada gawai. Tak heran, jarang menemukan anak-anak yang memiliki kecerdasan naturalis. Kecerdasan naturalis adalah kecerdasan dalam mengenali dan mengklasifikasikan berbagai spesies flora dan fauna dari suatu lingkungan individu. Intinya tentang kemampuan manusia untuk mengenali tanaman, hewan, dan bagian lain dari alam semesta.

Maka tak heran jika kita melihat anak-anak kurang mencintai lingkungan. Di sekolah saja misalnya, banyak anak yang gemar buang sampah sembarangan. Padahal, keranjang sampah sudah disediakan di berbagai sudut sekolah. Mereka tak punya rasa bersalah sedikitpun saat sampah yang seharusnya diletakkan di tempat sampah dibuang begitu saja.

Tak jarang, teknologi digital menyebabkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak-anak. Hanya saja, banyak orang tua yang kurang menyadarinya. Anak-anak diberi gawai bahkan sebelum usianya siap untuk menerima invasi teknologi digital. Masihkah kita sebagai orang tua tega membiarkan anak-anak yang kita sayang diasuh oleh gawai?

Omong-omong, buah seletup yang kami petik tadi rasanya manis. Serupa senyum yang melengkung di bibir pembaca tulisan ini.

~lembayungmerahsenja

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

tulisannya keren banget. dari sebuah benda yang sederhana ternyata bisa menjadi sebuah tulisan yang cetar membahana. Dahsyat

18 Aug
Balas

Terima kasih Pak Leck

19 Aug

Super sekalii

18 Aug
Balas

Terima kasih Bu.

18 Aug

Selalu ada ide. Top. Saya mau belajar nih bu, biar gak kehabisan pasokan tulisan.

21 Aug
Balas

Kalo jaman saya ada segmen dalam kegiatan pramuka utk menebak rempah2 dari baunya dg mata tertutup. Mungkin anak jaman sekarang dg mata terbuka saja tdk kenal, hehee

18 Aug
Balas

Benar Bu. Hidup di era digital menyebabkan banyak anak yang kurang mengenal lingkungan.

18 Aug



search

New Post