Diana Wahyuni

Paroxsym, Introvert, and Coffeeholic...

Selengkapnya
Navigasi Web
Husein dan Habibah

Husein dan Habibah

"Bang, beras sudah habis."

Husein termenung mendengar ucapan istrinya. Perlahan-lahan, ia membuka dompet kulit berwarna hitam yang telah kusam. Hanya tersisa dua belas ribu.

"Sepuluh ribu, Bibah. Dua ribu untuk Abang bawa kerja nanti, ya." Husein menyerahkan selembar uang sepuluh ribu pada istrinya. Habibah mengangguk.

"Terima kasih, Bang" katanya sambil tersenyum.

Husein menikahi istrinya sejak sepuluh tahun lalu. Habibah, perempuan Melayu berwajah manis, menerima pinangannya tanpa menuntut mahar tinggi. Ia memang seorang pemuda miskin, pun tak jauh berbeda dengan kehidupannya saat ini. Karena itulah, keluarga besar Habibah menolaknya. Mereka menganggap ia tak pantas menjadi suami Habibah. Hanya Ayah Habibahlah yang merestui Husein. Dengan modal pandai mengaji dan tak pernah absen salat di mesjid, ia diterima sebagai menantu.

"Bibah, Abang berangkat ya."

Habibah segera mengambil tangan kanan suaminya. Kemudian, menciumnya dengan penuh hormat. Memang beruntung Husein memilih Habibah sebagai istri. Selama menikah, tak sekalipun membantah, tak sekalipun menuntut macam-macam, tak pernah meninggikan suara, dan selalu berwajah manis di hadapannya. Jenis perempuan langka pada zaman kini.

Husein mengayuh sepeda tua menuju pelabuhan, tempat ia mencari rezeki sebagai kuli panggul. Sementara, sang istri dengan senyum manis melambaikan tangan dari depan pintu. Ia berdoa semoga ada rezeki halal yang dibawa suaminya pulang nanti.

Meski Husein tak memiliki materi, Habibah bahagia hidup bersamanya. Lelaki penyayang itulah yang menjadi tempat berlindung. Lelaki dengan suara merdu saat melantunkan ayat-ayat Alquran. Sesuai pula tajwid dan makhrajnya. Lelaki yang selalu bergegas ke mesjid saat azan berkumandang. Lelaki dengan tutur kata lembut. Tak sekalipun ia pernah berucap kasar. Lelaki dengan akhlak karimah.

Habibah bersiap untuk ke warung. Uang sepuluh ribu akan ia gunakan untuk membeli setengah kilogram beras dan tiga butir telur. Cukuplah untuk makan kedua anaknya saat pulang sekolah nanti. Baru saja beranjak dari depan pintu kamar, terdengar ketukan pelan.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Habibah mengintip dari balik tirai jendela. Memastikan tamu yang datang ke rumah. Bila tamu laki-laki, pintu tak akan dibuka. Ia ingat pesan ustaz saat pengajian di mesjid. Seorang istri tidak boleh memasukkan tamu apalagi lawan jenis ke dalam rumah suaminya tanpa didampingi oleh muhrim.

Di luar, Hayati, tetangga sebelah rumah berdiri dengan wajah gelisah.

"Tunggu sebentar, ya!" Habibah menarik kerudung hingga menutupi dada. Kemudian, ia membuka pintu.

"Bibah, tolonglah aku. Anakku sakit. Aku kekurangan duit untuk beli obat. Pinjamkan aku, Bibah."

"Aku hanya ada sepuluh ribu. Ambil saja, Hayati. Tak usah pinjam." Ia menyerahkan sisa uang yang dimilikinya. "

"Terimakasih, Bibah. Cukuplah untuk tambahan ke Puskesmas. Kau memang baik hati." Hayati bergegas pulang dengan raut wajah lega.

Habibah menutup pintu. Kini, sepeserpun tak ia miliki lagi. Sementara, saat Ali dan Fatimah pulang sekolah nanti, harus sudah tersedia makanan. Ia membuka tempat penyimpanan beras. Kemudian, menuntungkan sisa beras ke tangan. Masih ada segenggam beras yang bisa ia masak menjadi bubur. Habibah sangat memahami bahwa rezeki sudah diatur sehingga dengan segenggam beras saja, tak ada kekhawatiran dan kesedihan sama sekali.

Husein menunggu kapal berlabuh. Begitu kapal pengangkut barang bersandar, ia dan kuli panggul lain menuju kapal untuk memanggul barang turun dari kapal. Di hadapannya, kopi sudah tinggal ampas saja. Ia biasanya duduk menunggu kapal sambil membaca Alquran saku. Alquran berukuran kecil sehingga mudah dikantongi. Sesekali, ia menyeka keringat yang bercucuran. Cuaca sangat panas. Baju yang dikenakan basah oleh keringat. Segera ia bangkit dari duduk, mengambil gelas, dan berjalan menuju kedai kopi.

"Wak, gelas saya kembalikan. Terima kasih." Ia menyodorkan uang dua ribuan pada Wak kedai kopi.

"Tak usah kau bayar, Husein. Hari ini aku gratiskan."

"Alhamdulillah. Terima kasih, Wak. Semoga murah rezeki."

Husein membalikkan badan menuju tempat berkumpul kuli panggul lain. Baru beberapa langkah berjalan, matanya tertuju pada dompet berwarna kecoklatan yang tergeletak di jalan. Ia menunduk dan mengambil dompet itu. Saat dibuka, terlihat lembaran-lembaran uang seratus ribu. Jantungnya berdegup kencang. Di rumah, anak dan istri membutuhkan uang untuk membeli makanan. Sementara, belum satupun kapal bersandar. Bisa-bisa ia pulang dengan tangan kosong petang nanti.

Batinnya bergejolak. Hatinya menimbang-nimbang. Hendak diapakan dompet itu. Jika diambil, tak seorangpun yang mengetahui. Sesaat muncul pikiran jahat di kepalanya.

"Astaghfirullah," gumam Husein.

Meski tak seorangpun tahu ia mengambil isi dompet tersebut, tapi Allah dan malaikat menyaksikan perbuatannya. Ia tak ingin membawa pulang rezeki yang diperoleh dari cara haram. Pantang baginya memberi makan anak dan istri dengan benda-benda haram dan syubhat. Untuk urusan ini, ia memang sangat berhati-hati.

"Akan kukembalikan," ia berkata pada diri sendiri. Di dalam dompet, ia mencari kartu identitas pemilik. Ternyata, dompet Pak Ahmad. Pemilik salah satu kapal pengangkut bahan pokok.

Dari kejauhan, ia melihat Pak Ahmad sedang mencari-cari sesuatu di tanah. Ia berlari-lari kecil menuju Pak Ahmad.

"Bapak cari ini? Saya temukan di sekitar kedai kopi."

"Alhamdulillah. Terima kasih, Husein. Kau sangat jujur. Bila orang lain yang menemukan, barangkali tak akan dikembalikan."

"Qadarullah, Pak. Masih rezeki."

"Husein, kau tamatan apa? Aku sering memperhatikanmu. Saat yang lain sedang menunggu kapal dan berkumpul main kartu, kau lebih memilih menyendiri sambil baca Alquran."

"STM, Pak. Jurusan teknik mesin."

"Maukah kau bekerja untukku, Husein? Kau urus mesin-mesin kapalku."

Mata Husein berkaca-kaca. Sudah sejak lama memimpikan pekerjaan tetap. Ia yakin, doa istri salihah dapat membuka pintu rezeki.

"Mau, Pak! Mau!" Ia berkata sambil menangis terharu.

"Sekarang pulanglah ke rumah. Kabarkan pada istrimu. Besok pagi-pagi kau mulai kerja denganku. Kau bawa ini. Belikan anak istrimu makanan," Pak Ahmad membuka dompet dan menyodorkan lima lembar ratusan ribu.

"Alhamdulillah. Terima kasih, Pak."

Husein mengayuh sepeda tuanya dengan kencang. Ia membayangkan wajah Habibah, Ali, dan Fatimah berseri-seri mendengar kabar baik ini. Akhirnya, Allah memberikan pekerjaan tetap melalui Pak Ahmad.

Sesampai di depan pintu, ia mendengar gelak tawa kedua anaknya.

"Assalamualaikum. Ali! Fatimah! Ayah pulang."

Habibah terkejut. Tak biasanya sang suami pulang secepat ini. Ia bergegas membuka pintu. Ali dan Fatimah, berusia 8 dan 6 tahun berlari riang menuju sang ayah. Dengan kedua lengan terbuka lebar, Husein merengkuh keduanya. Ia perhatikan mulut anak-anak sedang mengunyah makanan. Sisa-sisa makanan menempel di sekitar bibir kecil Ali dan Fatimah.

"Tadi tetangga kita mengantarkan makanan untuk anak-anak. Mereka baru pulang dari luar kota. Katanya oleh-oleh untuk Ali dan Fatimah."

Air mata Husein menetes. Begitu banyak rezeki yang ia peroleh dalam sehari. Ia rasakan kasih sayang Allah tak pernah putus pada keluarga kecilnya.

"Kenapa menangis, Bang?"

"Abang diterima jadi pekerja di bagian mesin, Bibah. Abang dapat pekerjaan tetap."

Seketika, wajah Habibah menjadi lebih berseri-seri. Senyum manisnya bertambah manis.

"Fabiaiyi aalaa irabbikumaa tukadzdzibaan" suara merdu Husein terdengar sayup-sayup.

~lembayungmerahsenja

Photo Credit to khazanah.com

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Masya Allah sangat inspiratif. Salam kenal Bu

04 Dec
Balas

Salam kenal kembali, Bu. Terima kasih sudah mampir membaca.

04 Dec

Subhanallah.. kisah yang indah..berkaca-kaca mata ini membacanya..

04 Dec
Balas

Terima kasih sudah membaca.

04 Dec

Subhaanallah.. Cerita yang menyetuh hati

04 Dec
Balas

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membacanya Bu.

04 Dec

Siip.

04 Dec
Balas

Terima kasih

04 Dec

Alhamdulillah,.. Ikut merasakan kebahagiaan keluarga mereka,.. Tulisan yg sangat menginspirasi

04 Dec
Balas

Terima kasih Ibu sudah luangkan waktu membacanya.

04 Dec

Kisah yg sngt mengharukn bu...

04 Dec
Balas

Terima kasih sudah membacanya Bu.

04 Dec

Kisah yg sngt mengharukn bu...

04 Dec
Balas

Subhanallah Kisah yang sangat inspiratif Terimakasih cerpennya Bu

04 Dec
Balas

Terima kasih Bu

04 Dec

kisah yang sangat menyentuh...... betul...... rezki datang dari pintu yang tak terduga..! terima kasih bu

04 Dec
Balas

Terima kasih sudah membacanya Bu.

04 Dec

kisah yang sangat menyentuh...... betul...... rezki datang dari pintu yang tak terduga..! terima kasih bu

04 Dec
Balas

Cerita yg menyejukan...

04 Dec
Balas

Terima kasih

04 Dec

Berkaca-kaca bacanya... Sungguh Allah akan senantiasa melapangkan rezeki orang2 yg sllu lurus di jalan-Nya. Yg rajin menyenandungkan kalam-Nya, rajin bersedekah dan tetap tak penah putus asa dalam mencari rezeki yg halal

04 Dec
Balas

Terima kasih sudah membaca tulisan saya, Ibu. Salam kenal.

04 Dec



search

New Post