Diana Wahyuni

Paroxsym, Introvert, and Coffeeholic...

Selengkapnya
Navigasi Web
Lamafa, Cinta Sepanjang Musim

Lamafa, Cinta Sepanjang Musim

Dari atas bukit, Ze memantau laut. Ia sedang mengawasi pergerakan paus. Sudah hampir tiga jam, tetapi tak ada tanda-tanda kehadiran paus seekor pun. Beralaskan daun lontar, ia merebahkan badan. Angin selatan bertiup kecang, pertanda musim kering akan tiba tak lama lagi. Bagi penduduk Lamalera, laut adalah ibu. Lautlah yang memberikan mereka kehidupan. Perburuan paus adalah tradisi nenek moyang yang masih diteruskan hingga kini.

Ze, lelaki muda berkulit gelap dan bertubuh tegap, seorang lamafa muda. Ze dan laut tak bisa dipisahkan. Berjauhan dari laut tak pernah ia lakukan. Laut adalah kekasih. Pada laut semua mimpi ditambatkan. Pada laut pula segala harap dilaungkan.

"Kalau matahari sudah tinggal sepenggalah, kita pulang saja. Barangkali memang tak ada paus hari ini."

"Baptua pulang duluan. Biar beta yang memantau."

"Ze yakin memantau sendiri?"

Ze mengangguk mantap. Ia menunggu pergerakan paus sambil memperbaiki jala. Sang ayah, turun dari bukit, menuju bibir pantai, tempat peledang dilabuhkan. Peledang merupakan perahu tradisional penduduk Lamalera yang digunakan untuk memburu paus.

"Baleoooo! Baleoooo!"

Teriakan baleo dari bibir pantai menggema dibawa angin yang bertiup. Ze melesat secepat kilat menuju peledang. Bersama delapan lamafa lain, peledang diluncurkan ke laut. Ze memegang harpoon, sejenis tempuling yang ujungnya terbuat dari besi tajam untuk memburu paus.

Dari kejauhan, seekor koteklema bergerak gesit. Ze berdiri dengan tegap di ujung peledang, bersiap-siap untuk menikam. Perkara menangkap paus, bukanlah perkara mudah. Salah pergerakan sedikit saja, koteklema bisa menghantam dan membalikkan perahu.

"Tikam!" seru para lamafa.

Sekuat tenaga, lelaki berkulit gelap itu melompat ke laut sambil mengarahkan tempuling ke kepala koteklema. Badannya terayun lepas di udara. Mata tempuling tertancap sudah. Tak ingin dihantam koteklema, Ze berenang menuju peledang. Tiga lamafa lain, bersiap-siap menancapkan tempuling demi tempuling. Seketika, air laut berubah warna menjadi kemerahan. Sementara, beberapa orang lamafa menyiapkan tali untuk mengikat koteklema yang tak berdaya. Dua peledang lain menyusul para lamafa. Mereka membantu membawa koteklema ke bibir pantai.

Para lamafa tersenyum puas. Hasil tangkapan kali ini sangat besar. Cukup untuk dibagi-bagikan ke seluruh penduduk desa. Para janda, orang-orang miskin, dan yatim piatu mendapat prioritas hasil tangkapan.

°°°

"Kau tak pernah merasa bersalah?" tanyaku pada Ze.

"Bersalah karena menangkap paus? Kau tahu? Tidak sembarang paus ditangkap para lamafa. Hanya paus-paus tua saja. Paus muda dibiarkan hidup bebas di laut Sawu."

Aku terdiam. Sulit mencerna tradisi yang dikecam oleh banyak orang, terutama orang-orang luar.

"Jumlah koteklema yang diburu juga dibatasi pada satu musim berburu, dari bulan Mei hingga Oktober. Paus biru tak boleh diburu. Paus biru adalah penjaga laut Sawu."

"Hingga kapan kau akan menjadi lamafa?"

Ze tersenyum, kemudian menatapku dengan pandangannya yang teduh. Seteduh embun pagi yang bergantung pada ujung dedaunan.

"Kau adalah kekasih yang dihadirkan laut untukku. Aku tak akan pernah berhenti mencintai."

Perlu jeda lama bagiku untuk memahami setiap ucapan yang terlontar dari mulutnya. Di balik tegap dan kekar raga seorang Ze, sisi sentimentalnya tak pernah hilang.

Matahari senja telah menua. Jingganya telah tipis dan memudar. Perlahan-lahan aku berdiri dan menarik tangan kekarnya menuju laut. Ibu sedang tenang dan membiru. Ze dan lamafa lain adalah penggenggam segala harap yang dilaungkan pada ibu. Sayup-sayup terdengar senandung yang dibawa oleh semilir angin barat.

Sedo basa hari lolo

jaji pulo boi lema ropong

hode one sare

memu tao yone dike

"Laut adalah kekasih. Sama sepertimu."

---

Lamafa : pemburu paus

Baptua : ayah

Baleo : panggilan yang menandakan pergerakan paus

Koteklema: paus sperma yang memancurkan air di kepalanya (Physeter macrocephalus)

Sedo basa hari lolo

jaji pulo boi lema ropong

hode one sare

memu tao yone dike : Oh ibunda lautan/engkau mengandung dan melahirkan/memelihara, dan menyimpan segala-galanya untuk kami

Diana Wahyuni, guru penulis. Pencinta kopi dan penyuka hujan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerita yang sarat pesan dan budaya. Betapa saya merasa barada di daerah lain dan merasakan bedanya dari cerita biasanya walaupun ada yang tak tahu artinya.

08 Sep
Balas

Lamafa itu latar sosiobudaya dari NTT, Pak. Kosakata daerah saya sertakan artinya di bawah. Terima kasih sudah mampir.

08 Sep

Jadi tahu bahasa daerah lain...Bu...Salam kenal..

08 Sep
Balas

Terima kasih sudah berkunjung, Bu.

08 Sep



search

New Post