Dianawati

Berkah Dalem...

Selengkapnya
Navigasi Web
Pahitnya Brotowali

Pahitnya Brotowali

Termenung Rindu duduk di warung Lamongan Mbok Ponirah, ditengah rintik gerimis senja itu. Sayup-sayup isak Rindu terdengar lirih menggugah hati yang semakin pilu. Pahit bagai brotowali. Namun, permasalahan yang dialami Rindu butuh penyelesaian. Tepat hadir didepannya laki-laki bertumbuh tegap, berwajah tampan yang selalu menggapai rasa saat tercabik-cabik. Ya, Kirun siap menjadi selimut cinta walau keadaan telah berubah, namun ia tetap setia menerima keluh kesahnya. Rindu tak menaruh harapan banyak pada Kirun. Paling tidak, hatinya plong saat curahan kata dan rasa berlabuh pada Kirun. Hatinya dirundung duka saat ini, sakit bagai tertusuk jarum. Jari lentiknya menari di atas meja, namun mata itu sembab dan sekitar wajah biru-biru legam.

“Jadi gimana sebenarnya ceritanya,” Kirun memesan nasi dengan lele dua ekor dan sambal level 9 di warung lamongan Mbok Ponirah. Wanita paroh baya bertubuh sintal itu masih melayani dengan cekatan. Menggoreng pesanan pelanggan penuh senyum manis dan menggoda. Masker dan face field juga dipakai di wajah Mbok Pon.

“Biar aman dari virus corona,” kata Mbok Pon.

“ Habis gimana Mas Kirun, di warung sebelah sedang tes rapid. Katanya ada cluster lamongan.” Mbok Pon berkata penuh arti sambil mengerlingkan mata ke arah Kirun. Maklum Mbok Pon perlu sentuhan hangat laki-laki, suaminya sudah lari dengan perempuan lain. Walaupun begitu, sopan santun masih dijaga terhadap para pelanggan setianya disertai kode kode penuh arti. “Kopi pahit, Mas Kirun,” sambil menyuguhkan secangkir kopi di gelas lurik khas kopi “cethe’

“Maturnuwun, Mbok Pon!” sahut Kirun lalu pandangannya beralih ke Rindu. Perempuan cantik berbibir ranum dengan rambut panjang teman kampusnya. Sakit hati rasanya jika gadis itu selalu berkeluh kesah peringai suami. Hancur lihat Rindu, perempuan yang disayanginya babak belur kena palak suaminya. Dirabanya pipi halus di wajah Rindu. Dielus mesra, bukti rasa sayang dengan Rindu. Andai bukan berbeda keyakinan, mungkin sudah ada bocah cilik yang mengisi hari-harinya bersama Rindu. Riang dan kebahagiaan akan terus bergelayut, menelusuri jalan bersama Rindu. Pelangi cinta dan semburat asmara menyembur mengisi jiwa-jiwa muda yang bergelora. Ah, indahnya saat itu. Tapi melihat Rindu saat ini, hatinya kecut. Ingin dihadapi suami kasar yang berani menganiaya perempuan lemah ini. Jika perlu cinta diabaikan, dukun bertindak! Gila pikiran licik Kirun.

“Sedih mah kalo diceritain,” kata Rindu. “Bagaimana tidak, aku kena tampar suamiku.”

“Hah beneran? Terus gimana sekarang, ayo ke klinik!” Ucap Kirun langsung berdiri bawa kunci mobil mau mengantar Rindu. Namun gelengan kepala menyurutkan niat Kirun. “Lapor polisi yuk,” ajak Kirun. Sekali lagi Rindu menggelengkan kepala dan hanya tertunduk. Perut kurusnya kemriyuk bernyanyi. Kelaparan. Rindu memegang perut dan tersenyum. Kirun juga mulai menurunkan nada dan ekspresi wajah meloy. Diam tak berkata apa-apa. Ah...perjumpaan kali ini penuh rentetan kata miris. Andai wanita itu bahagia di pernikahannya tentu hati ini turut bersorak. Tapi mengapa? Jalan ini terasa berat. Bukannya umur yang semakin senja mengisyaratkan kerendahan hati dan semakin dekat dengan Khalik. Ingin Kirun memeluk erat dan tidak melepas kembali wanita di sampingnya ini, namun apa daya perempuan kesayangan ini akan mengarungi sisa senjanya dengan peristiwa menyakitkan. Sekian lama Rindu menginginkan buah hati, namun mas Joko tidak mau benihnya berlabuh di rahimnya. Entah mengapa? Namun Rindu hanya memendam kekecewaan sebagai wanita. Walau saudara dan bapak ibu di kampung menanyakan, lama kelamaan surut rasa keponya terhadap rumah tangga Rindu.

“Ssstttt, Rindu kutinggal dulu sebentar, aku mau mampir ke rumahmu, “ Kirun mengambil kunci mobil dan memberi uang kertas untuk Mbok Pon yang tetap berparas ayu dan bertubuh sintal walau tak jauh dari bumbu dapur dan minyak jlantah.

Rindu memandang penuh selidik kepada Kirun. Di rumah hanya mas Joko suaminya. “Tunggu aku kembali disini, Rindu!” kata Kirun lembut dan mengecup keningnya, “ titip Rindu, Mbok Pon,” kata Kirun sambil melajukan kendaraannya menuju alamat rumah Rindu.

Selang 30 menit kemudian. Dering ponsel Rindu bordering. Ia masih menikmati dan berdiam di warung lamongan Mbok Ponirah. Wanita itu baik kepadanya, mungkin mengalami hal pahit yang sama jadi ada keterikatan keduanya. Bilur-bilur kesedihan terpancar di mata beningnya. Tetap ada akar pahit terselip dalam relung hari Rindu. Mencoba tersenyum tapi ujung bibirnya tak kuasa tertarik dan hanya butiran air mata yang mengalir di sudut mata.

Nada ponselnya berdering…

Namun, belum beberapa menit diangkat, ponsel itu menghujam dengan keras ke lantai porselin putih. Hanya gelap dan bintang-bintang berkeliling di sekitaran kepala Rindu, mendengar kabar mas Joko berada di ruang jenasah rumah sakit menunggu autopsi.

Kelascerpen1.gurusiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren cerpennya bund Salam sukses.

14 Sep
Balas

Siap Bun, terima kasih

14 Sep

keren Cerpennya. Semangat berliterasi, semoga sukses selalu. Amin.

14 Sep
Balas

Sukses selalu Pak, salam literasi

14 Sep

Semangat berkarya sahabat...

14 Sep
Balas

Siap Bapak

14 Sep



search

New Post