Dian Garini Lituhayu

After years of living in survival mode, constantly fighting to stay afloat, I’m finally learning to let go. Here in a new city, I’m embracing a slow...

Selengkapnya
Navigasi Web
Dan Aku Tak Sempurna..

Dan Aku Tak Sempurna..

Kusandarkan kepalaku ke kanan jendela kamar. Sudah mandi dan hanya terdengar suara kipas angin menderu. Mengeringkan rambutku. Sejak tengah hari aku sudah tak merasa lapar, mungkin sampai besok pagi, mungkin sampai besoknya lagi. Selalu seperti ini ketika hatiku gelisah, ketika pikiranku tak tenang. Entahlah kali ini, sepiku akan panjang atau menghilang. Rasa dibuang yang tebal dan dalam.

Dan temanku hanya airmata lagi. Aku tak boleh bercerita pada siapapun, tak boleh bicara pada siapapun. Suamiku tak suka aku curhat pada siapapun.  Dan aku juga ingin hanya dia yang menjadi teman aku ngobrol ngebanyol, dari yang sepele sampai kelas kabupaten. Aku mau dia jadi teman, jadi pacar, jadi kekasih, jadi partner in crime. Jadi sayapnya kalau dia terbang. Jadi cahayanya kalau dia berjalan malam. Tapi aku tahu sudah tak bisa. Harga mati baginya. Salah, keliru, khilaf, harus dihukum. Besar, kecil, konyol, sengaja, kejeblug. Semua harus ada konsekuensi. Seperti mulai siang ini, aku akan menyepi. Sendirian kembali. Telingaku akan tuli. Mataku akan buta. Melihat orang lain bisa menerima keburukan perempuannya sementara aku akan menjalani hukumanku lagi, sebagai istri tak berbudi. Sebagai perempuan tak tahu diri, sudah diterima, diangkat dari parit tapi tak mau menghargai prinsip suami.

Ketidaksempurnaan, renunganku sejak subuh. Aku sibuk membahagiakan orang lain, dengan standar orang lain dan lupa aku punya apa, suka apa, bahagiaku karena apa. Aku rasa aku sudah tak ingin apa-apa. Aku sibuk membuat anak-anakku bahagia. Sibuk bagaimana suamiku tetap senang padaku. Sibuk supaya atasan tak komplain atas pekerjaanku. Sibuk bagaimana memenuhi kebutuhan  anak-anakku, sibuk memikirkan bagaimana kebutuhan suamiku terpenuhi dan dia mau terus gembira bersamaku. Sampai aku lupa, aku ini siapa. Sampai aku tak lagi ingat, aku ini ingin apa. Dan kini aku tahu, aku sudah tak ingin apa-apa.

Suatu saat yang lalu, aku ingin bisa santai bercerita apa saja, tanpa ada hukuman dan kemarahan. Anggaplah aku tolol dan dungu, tapi aku ingin dijadikan sahabat paling nikmat. Aku ingin bisa santai dan ngobrol bahagia kapan saja, sumeh dalam derita dan ceria dalam nestapa, berdua dihadapi bersama, tanpa tarik urat dan buruk sangka. Tapi aku tahu sudah tidak bisa. Ada harga mati aku harus sempurna. Cintaku tak akan pernah cukup. Kesetiaanku tidak akan pernah cukup. Semua yang ada padaku tidak akan pernah cukup supaya dia bahagia denganku setiap waktu.

Dan mungkin sejak hari ini sampai tiga hari kedepan, aku hanya akan berteman sunyi. Aku tak punya teman bercerita, aku sudah lepaskan semua teman bicaraku pergi semua. Sungai, air. Aku tak diiijinkan pergi ke tepi sungai yang aku lahir disampingnya. Bercerita pada dinding pun aku malu. Malu mengeluh karena lelaki sesempurna dia menerimaku. Dia pun  tak suka aku mengadu pada ayahku. Suamiku tidak suka aku masih seperti berlindung dengan ayahku, bukan padanya. Aku tak mau ada masalah lagi, terlebih sejak ayahku stroke, aku sudah berniat tak akan membombardirnya dengan cerita dan keluhanku. Aku hanya harus tahu ayahku perlu apa, mau apa dari tanganku, seperti halnya dialah yang mengingatkan aku suatu saat dulu, "Kamu mungkin dianggap gagal sebagai istri, tapi kamu tetap anak Bapak, kamu selalu punya Bapak, silakan dia pergi, Bapak tidak ijinkan anak Bapak disakiti, kembali kamu ketangan Bapak, kamu masih anaknya Bapak.." satu-satunya kalimat yang kuingat disaat seperti ini.

Mataku tak lagi perih. Barangkali secangkir dua cangkir kopi bisa menjadi teman malam ini sampai besok pagi. Meskipun tekananku drop hanya 90/80 saja petang ini. Tapi sudahlah, aku sudah tak ingin apa-apa lagi. Dijalani saja hukuman dengan air mata, paling tinggi hanya doa, yang lainhya tidak akan ada gunanya. Karena memohon sampai bersujud untuk memilah supaya tak selalu marah juga percuma. Anyway, memang aku yang salah. Layak dihukum berat.

---

"Kok jadi seperti ini Pak?" tanyaku tercengang.

Karikatur yang kupesan memang sesuai dengan temanya, kuminta padanya membuatkan aku sebuah karikatur dengan latar keadaan rumah, cucian bertumpuk, setrikaan menggunung, roti dan masakan masih di kompor dan aku masih bekerja, dengan seting malam hari. Semua sesuai dengan ekspektasi, tapi pakaian dan jilbab sudah tak sama modelnya dari gambar semula. Jilbabnya dililit ke belakang dengan potongan baju ketat memikat.

Pak Suami tak suka aku dengan kerudung gaul terlilit di leher. Aku juga cenderung sudah agak malu mengenakan jilbab gaul, usiaku sudah tak lagi muda. Jelita. Jelang lima puluh tahun. Ada rasa malu kalau mau menantang angin dengan dada tanpa tutup. Kepada putri-putriku juga demikian cerewetku, supaya belahan blus tak ikut mengintip kemana-mana, alasanku pada mereka.

Aku meminta seorang kawan membuatkan aku satu karikatur yang akan kupasang di sampul youtube pembelajaranku. Gambar kartun yang biasanya kupakai ternyata copyright, dipakai dimana-mana dengan banyak penyesuaian, jadi pasaran, malah sepertinya aku yang jualan, sampai akhirnya kuputuskan tak menggunakannya lagi. Untuk menggunakan foto langsung pun kurasa riskan karena suamiku tak suka aku memasang fotoku dimana-mana. Karikatur saja pikirku, pasti aman-aman saja.

"Kalau bisa direvisi, revisi ya Pak, saya tidak mau ada masalah. Suami saya pasti tidak suka.." chatku melayang padanya, Pak Ruli. Dia memang suka membuat karikatur untuk majalah dan koran. Ilustrator cerita kadang-kadang. Setahuku itu pekerjaannya setiap akhir minggu.

"Saya kan tidak pesan seperti ini, foto yang saya jadikan contoh juga tidak seperti ini.." chatku kembali padanya.

"Owh iya Bu, saya kira tidak kenapa-kenapa, maaf Bu, terlalu berimprovisasi. Malam ini juga saya kerjakan Bu," balasnya.

Aku sudah tak ingat lagi bagaimana mudahnya aku tertidur lelap dengan derasnya hujan dan derai angin malam. Meskipun satu baskom hitam menemaniku disisi kasur, sesekali kakiku basah karena tetesan airnya deras menembus atap kamar. Home sweet home. Sedikit-sedikit bocor tak apalah. Nanti kalau musim hujan sudah berlalu, baru aku pikirkan bagaimana tukang bisa memanjat ke balik atap dan memperbaikinya. Tempo hari dapur juga bocor hebat, tukang yang sudah kukenal karena masih kerabat sendiri tak bisa datang. Suamiku pasti tak mengijinkan aku memasukkan lelaki yang tak dia kenal untuk memperbaiki dapur. Sejauh ini hanya beberapa lampu putus konslet karena dilalui air hujan. Rumah ini tak terlalu besar, bahkan dibandingkan ruangan kelasku, masih jauh. Kalau padam semua dan tak bisa ditempati karena tergenang hujan, aku bisa mengungsi ke kelasku sementara. Ada selembar karpet plastik yang bisa kami tiduri berempat disana.

Mataku sudah biasa terbuka di pukul 3, memeriksa kamar anak-anak dan mandi. Guyuran air dingin di atas kulitku yang kering kujadikan teman sejak lama dahulu. Mungkin lebih lezat dengan air panas, tapi aku bukan anak pejabat, air dingin sudahlah pantas. Biasanya aku membaca ratib, sambil mengadu, aku ingin ini, aku ingin itu. Tapi semalam aku lupa mau minta apa. Hanya teringat sebuah kenangan di masa lalu, melihat orang yang ampun-ampunan nakalnya malah jadi ustadzah. Sambil tersenyum kuingat itu.

Kulihat balasan chat Pak Ruli semalam, dengan karikatur yang sudah direvisi kerudungnya. Alhamdulillah. Segera kumasukkan persiapan belajar hari ini di dalam link yang sudah kusiapkan. Agak slow jaringannya. Ya biasa, ini Kalimantan buka pulau Jawa bukan Amerika yang internetnya wush wush wush. Aku masih sempat menuang teh dan membuka botol minyak ikan yang kuminum setiap sebelum subuh. Kusetel ready release link belajar yang kusiapkan untuk siswaku tepat nanti pukul 08.00. 

Hujan deras menemaniku hingga subuh usai. Menunggui si bungsu yang menyetrikakan pakaianku. Si sulung menyiapkan aku sepiring nasi dengan dendeng sapi hasil olah daging kurban kemarin. Diambilnya satu set jas hujan jingga dalam lemari, meletakkannya di pinggir tasku. 

Bergegas aku matikan laptop dan memasukkan semua perlengkapan ke dalam tas. Hujan tak bisa diduga, sederas ini jalanan menuju sekolah bisa tenggelam.

Kucicipi nasi panas dan dendeng goreng yang wanginya lezat. Dua suap. Tak mampu kuhabiskan, aku mengejar hujan yang merintik sesaat. Kukenakan jas hujan dan bergegas merapikan ransel laptop. Si tengah sudah memanaskan motor di teras rumah dan memastikan helemku menjadi baskom karena diletakkan diluar dalam keadaan menengadah.

Zoom kelas dimulai awal, menyapa anak-anak yang laporan sholat dhuha dan cerita sarapan mereka masing-masing. Ah, seandainya tidak karena korona, tak kan semesra ini dengan mereka dari jauh saja. Pasti wajah-wajah polos itu berebutan minta dipeluk. Waktu sudah menunjukkan waktu yang pas menyapa suamiku nun jauh disana. Obrolan manis yang selalu berhasil menaikkan moodku setiap waktu. Entahlah apa ini namanya. Kalau mendengar kabarnya sedikit saja, seperti selesai minum pil kita, bertenaga.

Sampai akhirnya, kutunjukkan link pembelajaranku hari ini, yang sudah kuganti dengan karikatur baru dari Pak Ruli. Dan..

Yang kupasang ternyata adalah file karikatur awal.

---

Dan disinilah aku petang ini.

Bicara dan penjelasan apapun tak akan mengobati.

Aku hanya menambah daftar panjang ketidaksempurnaaku lagi. Sebagai istri tak berbudi.

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post