Dian Garini Lituhayu

After years of living in survival mode, constantly fighting to stay afloat, I’m finally learning to let go. Here in a new city, I’m embracing a slow...

Selengkapnya
Navigasi Web
Labirin
Labirin

Labirin

LABIRIN – bagian 1

Dian Garini Lituhayu

Kepalaku terasa cemplang hari ini. Aku tak merasa berat. Tapi aku seperti tak bersemangat. Bagaimana tidak, Pak Surasa, kepala sekolah ditempatku mengajar, memintaku istirahat dua pekan. Aku bisa rindu pada murid-muridku. Sehari saja tidak mengajar ada rasa yang hilang di dalam dadaku, apalagi dua pekan. Aku juga tidak merasa sakit. Aku merasa biasa-biasa saja. Anehnya suamiku juga dihubungi kepala sekolah. Aku mendengar mereka bicara melalui telepon, sekalipun suamiku berusaha menjauh saat mengangkat telepon itu, aku mencuri dengar apa yang mereka bicarakan.

“Baiklah Bapak, akan saya dampingi, akan saya kondisikan, supaya Leny bisa menerimanya. Saya akan ajak terapi Pak. Alternatif juga akan saya lakoni Pak, supaya semuanya kembali pulih. Terimakasih atas perhatian Bapak dan pihak sekolah..”

Berjuta denging di kepalaku menghaturkan tanya. Segala macam analisa berdenting ingin dijawab. Aku mengolahnya satu-satu. Aku memisahkannya satu-satu. Berusaha kuurai dalam keramaian. Akhir-akhir ini aku sering bertanya-tanya sendiri. Suara di kepalaku sangat ramai berbunyi. Aku tidak paham apa maksudnya. Mengapa harus dikondisikan. Siapa yang harus dikondisikan. Aku? Aku kenapa. Aku baik-baik saja. Siapa pula yang harus diterapi. Aku kan tidak sakit. Apa anakku Nadia? Ah setahuku dia tidak kenapa-kenapa. Atau Bang Rizal ya? Apa dia sakit tanpa aku ketahui? Ah nanti akan kutanyai dia. Mungkin aku diminta istirahat dua pekan, supaya aku bisa mendampingi Bang Rizal berobat? Ah aku seperti istri yang tidak baik saja, bagaimana mungkin suami sakit aku sampai tidak tahu. Nanti malam akan aku tanya Bang Rizal pelan-pelan, sakit apa dia, sampai aku harus menemaminya dua pekan untuk pengobatan.

“Bang, Abang sakit ya? Kok Abang setuju saja Pak Suroso memberikan surat istirahat dua pekan? Leny kan tidak pernah bolos mengajar Bang, apalagi libur mengajar sampai dua pekan Bang. Bagaimana perijinannya Bang?" Lelaki bertubuh tinggi besar itu hanya terdiam. Matanya berkaca-kaca menatapku.

“Bang, Abang kenapa siy menatap Leny begitu Bang? Ada yang aneh sama Leny ya Bang? Ayo donk Bang, dijawab, Abang kenapa?”

Aku mendesaknya, aku duduk sementara dia berbaring santai. Yang kuperhatikan dia terlihat seperti sangat sedih. Memang dia tersenyum. Tapi aku bisa lihat dari gurat mukanya. Dia seperti habis menangis. Lelaki didepanku ini sudah bersamaku 10 tahun. Aku tahu benar kapan dia sedih, kapan dia merasa runsing hati.

“Apa ada sikap Leny yang Abang tidak sukai? Abang harus sampaikan pada Leny, supaya Leny paham. Kalau Abang tidak menjelaskan pada Leny, Leny tidak bisa mengerti Bang.”

Laki-laki didepanku itu kemudian duduk dari baringnya. Mendekatiku. Membelai pipiku pelan-pelan. Bang Rizal adalah lelaki yang dijodohkan kakakku.

Awalnya dulu aku tak sudi padanya. Aku ingin lelaki pilihanku sendiri. Tapi Bang Iwan kakak tertuaku itu selalu berkata, “Jangan menolak laki-laki baik Leny. Rizal itu sholeh, meskipun hanya guru honorer, tapi akhlaknya baik, penampilannya juga tidak mengecewakan.”

Aku sempat lama tak menegur Bang Iwan. Aku tidak suka urusan hidupku dicampuri. Aku memang sudah berusia lebih dari 37 tahun. Terus kenapa? Aku kan manusia bebas. Aku tidak suka menikah karena dipaksa umur. Bukankah kalau terpaksa malah nantinya tidak baik. Aku menghindari Bang Iwan dan istrinya, Kak Rika sampai berhari-hari. Aku menginap di rumah studio Siwi, teman karibku. Sengaja supaya aku tak bertemu Bang Iwan. Sampai suatu ketika Bang Iwan datang ke rumah studio Siwi, hanya ingin menemuiku.

“Kalau kamu tidak suka dengan tawaran Abang, janganlah kabur dari rumah begini Leny. Bukan Abang mendesakmu, tapi umurmu sudah 37 tahun, tanggung jawab Abang pada orangtua kita, untuk melihatmu menikah dan bahagia. Tapi semua berpulang padamu saja. Abang hanya menawarkan. Kalau kamu mau istikhoroh, dicobalah, buka hatimu sedikit. Kalau setelah bertanya pada Allah kamu tetap tak bisa membuka hati untuk Rizal, Abang silakan kamu tak menikah sampai kamu benar-benar ingin menikah.”

Setelah pembicaraan itu aku pulang ke rumah. Kak Rika, kakak iparku juga tak terlalu banyak bicara. Mungkin Bang Iwan yang minta dia tak terlalu banyak komentar, memberi kesempatan pada hatiku untuk tenang dan bisa mengambil keputusan. Sholatku yang pertama tak membuahkan hasil, aku masih merasa lengang tanpa keputusan. Potret Bang Rizal kupegang dalam duduk panjangku di akhir malam. Aku mencoba mencari jawaban. Setelah sholatku yang ketiga aku tidur sangat lelap. Aku bermimpi melihat Bang Rizal mengenakan pakaian putih dan meminta tanganku agar memegang tangannya. Manis sekali senyumnya. Aku sampaikan cerita dalam dalam mimpiku itu pada Siwi.

“Ah, itu jodoh tuh Mpok! Terima sajalah. Kamu kira kapan lagi dapat lelaki kaya gitu zaman now? Pikir deh! Kamu hidup memang mapan, mandiri, kamu bekerja, jadi ibu guru, ASN pulak. Tapi sini deh aku kasih tahu. Aku pinjemin kaca yang besar deh buat kamu. Aku kasihan juga pada abang-abangmu. Wajar kalau mereka berusaha keras membujukmu. Kamu sebegini keras kepala. Tuh lihat wajahmu, umur diingat Neng, diingat. 37 tahun itu bukan abege. Gak usah terlalu pemilih kenapa siy. Kamu mau cari yang seperti apalagi? Sudahlah kalau kamu gak sreg, tutup mata aja! Belum lagi coba kamu pikir kalau kamu mau punya anak. Nih, jabang bayi yang kubawa dalam perutku kemana-mana ini cukup membuatku lelah dan letih setiap hari. Pengobatan lupus memang perjuangan panjang dan melelahkan. Aku beruntung akhirnya bisa hamil. Dan kamu Mpok, umur Mpok, inget umur. Kamu jangan lihat aku, biar kadangkala sendirian, tapi alasannya suami bertugas, bukan karena ngotot sendirian dan menunda menikah.”

Dia terbahak. Kami terbiasa ngobrol dari hati ke hati dengan bahasa sesederhana mungkin, tak pernah ada rasa tersinggung sama sekali, sepedih apapun sindirian dan isi obrolan kami.

Aku merenung lama sekali setelah Siwi berkomentar panjang lebar. Dia kelahiran Jakarta, pikirannya maju dan terbuka. Seusia denganku, dia menikah dengan seorang pilot TNI AU. Sekarang bertugas di daerah konflik. Perutnya besar membuncit. Dia sedang hamil 7 bulan. Setelah lama berjuang melewati pengobatan lupus, akhirnya dia bisa hamil. Kami sama-sama satu SMA, setelah kuliah aku masuk IKIP jurusan ekonomi, dia kuliah di Institut Kesenian, jurusan seni rupa. Aku jadi ibu guru, dia menjadi pelukis alias artis bulu.

Akhirnya aku dan Bang Rizal menikah. Bang Iwan tidak salah pilih. Lelaki yang dijodohkan denganku itu sangat lembut dan bertanggung jawab. Tak pernah sekalipun dalam 10 tahun pernikahan kami dia kasar atas sikapku yang kadangkala sangat kekanakan. Tidak seperti rumah tangga ayah dan ibuku, dimana istri yang lembut dan sabar, sementara suami meledak-ledak dan sangar. Tapi rumah tanggaku dengan Abang Rizal sebaliknya. Aku gampang tersulut dan Bang Rizal yang seperti angin, tenang sekali.

Kulihat lelaki di depanku itu masih mematut matanya pada wajahku.

“Leny sudah tua yang Bang, hampir 50 ya Bang. Leny sudah keriput ya Bang? Abang, kenapa sih Abang tidak protes kepada Pak Suroso, masak Leny harus istirahat dua minggu. Kan lama Bang. Ngapain siy Leny harus istirahat segala. Leny kan tidak sakit Bang. Jangan-jangan Abang yang sakit ya? Abang kasih tahu dong kenapa kok Pak Suroso meminta Leny libur dua pekan Bang?”

Lagi-lagi isi kepalaku berputar di satu poros tema. Berulang-ulang. Menanyakan hal yang sama bertumpuk berkali-kali. Ah padahal seandainya suamiku tahu bahwa bertemu anak-anak di kelas 8 dan 9 itu adalah hiburanku, pasti dia tak akan menyetujui perintah kepala sekolahku itu.

Suamiku tersenyum, dielusnya kepalaku dengan lembut.

“Sudahlah Dik, nurutlah pada Abang, semua orang ingin kebaikan, buat kita semuanya, buat kamu, buat Nadia dan murid-murid disekolah, anggaplah liburan. Kau kan lama tidak liburan. Kerja keras terus menerus..”

Aku mengangguk. Kalau kupikir-pikir, aku memang bekerja terlalu keras, libur sering tak libur. Pekerjaanku menuntutku prima di segala suasana. Meskipun terkadang aku kerepotan mengejar mutu yang diharapkan. Kali ini aku akan penuhi keinginan kepala sekolahku itu, aku anggap ini liburan, meskipun aneh sekali, sekolah kami tidak pernah memberi libur gratis. Apalagi dengan banyaknya peraturan baru, tak memungkinkan ASN seperti aku libur semauku. Semua disusun sedemikan rupa dengan teliti. Tak ada hari yang sia-sia. Harus efektif. Semua kegiatan sekolah selalu kuikuti. Pelatihan, workshop, ceramah atau apalah namanya.

Aku tidak mau ada alasan sekecil apapun sekolah ini memandangku tidak kompeten. Aku datang tepat waktu. Hujan angin, panas badai, banjir menggenang atau terjangan peluru sekalipun. Aku tak pernah absen seharipun. Kecuali aku sakit yang membuatku tak lagi bisa mengendarai motorku. Cuma maut dan tepar teramat sangat yang mampu membuatku absen. Itupun pasti, meskipun dirumah, pikiranku melayang kemana-mana, terutama ke kelas yang kutinggalkan, siapa yang menemani mereka, siapa yang mengajar mereka. Aku tidak tahu apa itu namanya, obsesi, ambisi atau dedikasi, atau campur semua seperti isi warung nasi.

Kata Bang Iwan aku terlalu keras bekerja. Tapi menurutku semua ini tuntutan zaman. Guru juga harus profesional. Jangan makan gaji buta. Pulang dan datang hanya sekedar gugur kewajiban. Itu bukan aku sama sekali. Meski hari ibur, kalau memang harus membuatku hadir di sekolah, aku akan dengan semangat berangkat ke sekolah dan melaksanakan tugas. Pikirku, toh aku tidak sendirian, aku bersama banyak guru lainnya. Aku jadi tak terbiasa libur apalagi meliburkan diri alias bolos. Bagiku, komitmen bekerja menjadi guru itu sesuatu yang harus dijaga lahir batin, karena pertanggungwajabannya dunia akhirat.

Pagi ini adalah hari keduaku tak masuk kerja, maksudku, liburan, sesuai permintaan sekolah. Biasanya pagiku sudah sibuk, sebelum pukul 7 aku sudah ada di kelasku, menyiapkan semua media dan materi pembelajaran di hari tersebut dengan riang gembira. Kelas kubersihkan dan kuberi pewangi ruangan. Aku suka wangi mawar atau melati dari salah satu merek pewangi ruangan tertentu, aku tidak suka yang lainnya, apalagi bau lemon atau buah sitrus lainnya, aku bisa langsung mual.

Pagi ini aku masih di kamarku. Wangi yang sama yang selalu kucium setiap kali bangun subuh. Rombongan bunga kacapiring di depan jendelaku tidak pernah bosan memberiku harum itu, untuk hidungku. Aku buka pintu kamar perlahan, Bang Rizal sudah tidak disini, mungkin dia di dapur.

Semalam Bang Rizal berpesan, “Besok, Abang yang membuat sarapan, Leny sehabis sholat subuh jangan terlalu capek, istirahat saja, Abang akan siapkan semua buat Nadia dan kamu. Dan kali ini abang serius, Abang tidak mau dibantah ya. Nurut sama Abang kalau sayang sama Abang..”

Aku tersenyum sendiri. Aku beruntung sekali diberi lelaki seperti Rizal. Mengapa tak dari dulu, saat masih muda, bertemu dengan dia. Temanku, satu tempat kerja, Widiawati, selalu menguatkan aku kalau sedang down dan ingat mengapa jodoh seakan datang terlambat. Sebagai salah satu guru senior di sekolah kami, dia selalu berpesan.

“Jangan ukur diri dengan orang lain, setiap orang punya percepatan masing-masing, tidak ada itu istilah terlambat menikah, terlambat berjodoh, itu ukuran manusia, jangan coba-coba ukur kemampuan Allah mengatur dengan menyandingkannya dengan logika manusia, itu seperti membenturkan timun dan durian montong. Gak level..”

Memang, seringkali menyesali keadaan itu akan melemahkan hati. Aku harus mencari teman-teman yang menguatkan dan menjadi semangat hidup.

Aku berjalan perlahan menuju dapur, kulihat Bang Rizal duduk berdua dengan Nadia, anak perempuanku. Aku mengamatinya sebagai sebuah keadaan yang sangat istimewa. Tapi tak seperti biasa, kulihat Nadia menangis sesenggukan. Aku berdiri di tempatku dan mengamati mereka berdua, dua manusia yang menjadi belahan jiwaku kini.

Samar tapi jelas kudengar apa obrolan mereka, membuat isi kepalaku seperti bergoyang dan berputar. Berderit-derit ngilu berdenging telingaku.

“Nadia sering lihat ibu sholat Ayah, tapi sekarang ibu sholat aneh sekali. Kemarin, Nadia lihat ibu sholat tapi ibu tidak menghadap kiblat Ayah. Ibu sholat menyembah sepatu kerja ayah, ibu tidak gila kan Ayah. Di waktu yang lain, Nadia lihat ibu menyembah panci presto. Banyak hal Nadia perhatikan, ibu seperti bukan ibu.”

Anak kecil itu semakin nyala dalam tangisannya. Lelaki berparas manis di depannya memegang tangan Nadia, gadis kecil berumur 10 tahun itu dengan erat.

“Ibu memang sakit, tapi ibu tidak gila. Nadia harus bantu ibu..” Nadia berpindah posisi, duduk dan memeluk ayahnya. Aku mengamati pemandangan itu dengan takjub. Ibunya Nadia kan aku, aku sakit apa? Ah masa aku sakit? Aku ini sehat! Siapa yang sakit?

(bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpen yang menarik. Ditunggu kelanjutannya

26 May
Balas

Nggih Bun... terimakasih..

26 May



search

New Post