Dian Garini Lituhayu

Lahir dan tumbuh di Kota Samarinda, aku rapat dengan budaya Melayu yang kental mewarnai kehidupan pinggiran Sungai Mahakam. Berkeseharian sebagai ibu dan ibu gu...

Selengkapnya
Navigasi Web
MENCARI TUHAN DI URAT NADI - RESENSI BUKU AKSARA ZAMAN KARYA M. HUSENI LABIB

MENCARI TUHAN DI URAT NADI - RESENSI BUKU AKSARA ZAMAN KARYA M. HUSENI LABIB

 

Judul: Aksara Zaman – Coretan Puitis Kehidupan

Penulis: M. Huseni Labib

Penyunting: Arieyoko

Diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Indonesia oleh Interlude 2019 Yogjakarta

Cetakan I: Januari 2019

Jumlah Halaman : +156 Halaman

ISBN: 602-978-5873-41-6

Interlude. Sumber Kulon, RT 03 RW 30, Kalitirto, DIY.

I.                   PENULIS, STRUKTUR BUKU DAN PERUNTUKKAN

 

 

Buku kumpulan puisi dengan judul Aksara Zaman ini ditulis oleh Muhammad Huseni Labib. Penulis muda Kalimantan Timur kelahiran Lamongan 18 Januari yang merupakan ayah empat anak ini aktif sebagai anggota komunitas penulis Kalimantan Timur yaitu Jaring Penulis Kaltim. Labib, panggilannya, juga adalah salah satu pencetus forum Kopi Tubruk 4/4 sebagai komunitas bagi masyarakat yang bertemu secara periodik dan membicarakan banyak hal termasuk sastra dan ide literasi. Aksara Zaman adalah buku kumpulan puisinya yang kedua setelah Ziarah Cinta.

Memiliki latar belakang sebagai pengajar bahasa di sekolah Muhammadiyah, Huseni Labib mendalami ketuhanan di tulisannya dalam kaitan dan ikatannya dengan penghambaan sebagai makhluk pun juga dimensi ketuhanan dalam peran seorang manusia sebagai khalifah di muka bumi. Huseni Labib yang kini bertugas sebagai salah satu birokrat di pemerintahan Provinsi Kalimantan Timur menulis puisi di hampir setiap waktunya senggang. Ini dapat terlihat dengan kerapatan tanggal dan catatan lokasi yang dituliskan Labib di akhir setiap puisinya. Tiga lokasi utama yang sering menjadi penanda tempat adalah 'Diatas Awan', 'Distrik Seberang' dan 'Ujungkampung'. ‘Diatas Awan’ barangkali menandai lokasi Labib menulis saat berada di dalam pesawat. Nama bandara udara yaitu Sepinggan di Balikpapan, Bandara Cengkareng Jakarta, Juanda Surabaya, dan Adisucipto Yogyakarta adalah penanda lokasi lainnya.

Buku kumpulan puisi yang dibagi menjadi tiga bagian ini diisi dengan puisi perlintasan dan pergumulan batin seorang anak manusia dalam pencarian Tuhan di dalam nadinya. Kupetik Buah Tin, Khotbah Jalanan dan Titip Salam merupakan judul dari setiap pisahan bab yang berisi puisi dalam satu tema terkait. Kupetik Buah Tin berisi 48 puisi, Khotbah Jalanan berisi 53 puisi dan Titip Salam berisi 46 puisi. Selain sebagai judul bab, ketiga puisi tersebut merupakan isi dari masing-masing tema. Aksara Zaman sendiri merupakan salah satu puisi yang ada di bab 2, Khotbah Jalanan.

Setiap akhiran puisi tertera tanggal dan tempat Huseni Labib menorehkan catatan pencarian dalam larik setiap puisinya. Buku kumpulan puisi ini tepat dibaca sebagai bahan renungan diri dalam pasang surut pencarian arti hidup, untuk menjadi penguat dan pengingat, bahwa Tuhan itu selalu dekat. Lekat dalam setiap nafas, tidak pernah jauh. Memiliki tema sufistik yang mulai berkembang, buku kumpulan puisi ini memberi ide dan inspirasi bagi pembacanya untuk meluaskan pencarian makna ketuhanan.

 

II.                               TEMA DAN FORMAT LARIK

Kegaduhan dalam kalbu seorang hamba untuk menemukan Tuhan dimana berada, kumpulan puisi Huseni Labib ini menerangkan dengan benderang sebuah perjalanan dalam gema pencarian makna. Tuhan ditemukan dalam berbagai kelok dan tikungan kehidupannya, Huseni Labib menciptakan ruang pengertian akan Tuhan yang mengalir lengkap dalam manis maupun getir.

Pengejawantahan dirinya sebagai seorang aku yang dipaparkan Huseni Labib sekilas dalam puisinya Keyakinan Abadi, bahwa dia bukan seorang Tere Liye bukan pula seorang Widji Tukul dalam menggunakan kata sebagai senjata. Seakan Labib hendak berkata, terlepas dari ada atau tidak adanya pengakuan manusia, Huseni Labib akan terus berkarya.

Keyakinan Abadi

Perlukah aku menjadi Tere Liye, yang mengaduk perasaan, atau seorang Widji Tukul sang oposan sastra. Biarkan saja aku mengaji sepi, menjelma diri, menghisab nafas nikmat yang tak mungkin. Aku hanya perlu keyakinan. Terlalu banyak kalam di seberang sana, mencela yang lemah, mengambung langit pada yang kuat. Hidup ditimbang atribut dunia. Bukan pada isi kalbu.

Jika hari ini kata tak lagi berharga, kalah dengan selendang sutra. Maka aku tak akan pasrah.

Bagiku kata adalah senjata, boleh saja kau mengigau memeluk semesta, menggali harta pada nenek moyang, tapi sebenarnya keyakinan adalah : abadi.

 

Puisi-puisi Huseni Labib menjelajah jauh dalam berbagai topik dengan Tuhan sebagai muara. Dia diingati dalam nafas kehidupan berpolitik yang bergurat kepentingan, dalam kehidupan percintaan yang kental dengan mabuk dan gabut maupun dalam mesranya perenungan sendiri. Puisi-puisi di dalam bab Kupetik Buah Tin mewakili puisi yang bertemakan  penemuan Tuhan dalam perenungan kalbu. Pada bab Khotbah Jalanan, Huseni Labib menuliskan lariknya tentang pergulatan manusia sebagai makhluk sosial, bertarung dalam kepentingan, saat ulah manusia menjejalkan pendapat maupun saat bersantai dalam niaga. Titip Salam adalah bab yang berisi keributan hati yang jatuh hati, rindu dan patah asa. Kemabukan seorang pencinta yang diombang-ambing maupun yang telah tenang dengan berhentinya kapal penantian di tujuannya.

Puisi di dalam tema Kupetik Buah Tin bertema penghambaan dan kepasrahan pada Tuhan. Bahasa yang digunakan ringan tapi memiliki arti yang tak dangkal. Permainan rima tidak terlalu terngiang dibandingkan dengan titik berat pada makna dan rasa penulisnya. Puisi dengan judul Kaidah Tuhan berikut ini salah satu di dalam bab Kupetik Buah Tin yang menampakkan porsi kekuatan seorang hamba lemah yang akhirnya pasrah setelah terguncang takdir dan sangka. Saat seorang hamba harus sepenuhnya takluk pada maunya Sang Maha.

Kaidah Tuhan

Pagi memaksaku untuk rindu, pemuja-pemuja terbangun dari malam. Terbang jalan, menyelam dalam kaidah Tuhan. Kau terbang semak belukar jadi padang savanna, berkat doa ucap mantra perdu tak lagi hutan. Pun tetesan peluh sucikan darah dalam jasad sukma. Anginpun tak lagi cemburu, menggoyang daun-daun menari bersama ranting, jatuh berguguruan kehendak takdir. Dan saatnya tua mengering berserak debu. Nasibmu menggantung hati, pada sirip cinta yang mengambang di samudera, gelora gelombang memercik air di tepi. Ooo Kekasih, aku dahaga rindu, menanti mata air Jannah kepalaku basah, dingin kerongkongan jiwa.

 

Selain perjalanan mencari Tuhan, keragaman peran manusia digambarkan Labib dalam puisinya. Manusia dituliskan Labib sebagai dirinya yang semua tokoh: pencinta, pemberang, pencemburu, peragu, penakut, pemberani, perindu sebagai kesatuan kompleksitas makhluk bernama manusia. Puisi Labib bertema kemarahan dapat dilihat di puisinya Marah, Cuk! Puisi ini melontarkan protes dan sumpah yang berang dan tak perlu lagi simpati. Labib mengumbar kecewa pada mereka yang berbual dan berjanji tanpa bisa memberi bukti. Serapah ‘diancuk’ yang ditulis Labib dalam puisinya memberi penghalusan rasa dari yang sebenarnya ingin diucapkannya. Begitu pula dengan puisi Ludruk, dimana Labib mengungkapkan rasa marah dan kekecewaannya saat menyaksikan pertarungan petinggi menginjak rakyat sebagai pijakan kepentingan.

Marah, Cuk

Kau telah merampas hak hidupku, menabur racun pada udara yang kuhirup napasku, api kepulkan asap menjilat-jilat kemerahan binasakan nyawaku. Apa wewenangmu, memaksa seribu perintah, tahtamu adalah secuil upil, menempel dalam congor hidung sapi, kaki terkubur lumpur, corat coret tanah leluhur.

Sudahlah tak usah urus aku, bagiku kamu diancuk, domba-domba lari memberi bulu serigala, memasang topeng gembala berwujud mafia, menipu rayu menjual seribu akal bulusmu. Sombong umur mafia seribu tahun lagi, tak resah batinku, bualan intelektual hanya panggung acrobat, memberi bercap sedekah cuma-cuma, terbungkus cari pengikut simpati.

Disini aku menukar kata diancuk taktik makarku bersama olongan serigala, kubangan bumi laksa neraka, kudengar janji kaum miskin teriak nyanyikan bait-bait kidung diancuk.

Diancuk.

 

Puisi senada berisi protes terhadap potret jalanan yang disaksikan Labib dapat dilihat di bab 2 yang mengupas berbagai temuannya di jalanan. Judul-judul seperti Sejarah yang Sakit, Sepertiga Fir’aun, Tentang Politik, Takut Bau Tanah, Penindasan Negeri dan Intrik dituliskan Labib dalam ragam kata yang memikat dan memberi rasa bergejolak pada pembacanya.

Puisi-puisi dalam bab Titip Salam menggambarkan sosok manis seorang pencinta, yang kadang rindu sampai lebay dan galau, atau seorang lelaki yang jatuh hati tapi tak sampai cintanya di tujuan. Puisi dengan judul Cinta, Aku Masih Disini menggambarkan perjuangan hati menanggung rasa apapun yang dipersyaratkan cinta, yaitu menunggu. Ungkapan khas merayu lainnya dapat dilihat di bab 3 dengan judul-judul puisi Membaca Wajahmu, Filsafat Cinta, Kasmaran, Perempuanku, Bisikan Malam, Senyum dari Timur dan Tepi Sungai Segah berisi pengakuan seorang lelaki terhadap cinta yang panas dan penuh gandrung.

Kisah-kisah pencinta di zaman sebelum sekarang seperti Qais dan Laila, Gibran dan May Ziadah, Adam dan Hawa, juga menjadi isi puisi romantis Labib; bersama dengan para tokoh pahlawan Imam Bonjol, Diponegoro, Hasanuddin, Cokroaminoto, Agus Salim, Soedirman, Syafruddin Prawiranegara, Tan Malaka, Cleopatra, Leonardo Da Vinci, Firaun, Ibrahim, Julaikha dan Abdullah bin Ubay yang juga terhampar di puisi-puisi Labib.

Puisi-puisi Huseni Labib didominasi puisi prosais yang ditulis dalam bentuk paragraf dan tidak dalam bentuk baris sebagaimana puisi umumnya. Huseni Labib menuliskan hampir seluruh puisinya dalam bentuk prosais kecuali Malam(1), Keyakinan Abadi, Suara Emperan, Cinta Aku Masih Disini, Tepi Sungai Segah dan Titip Salam yang dituliskan dalam larik puisi biasa. Puisi Sepertiga Firaun ditulis dengan larik tersina dalam tiga baris dalam setiap baitnya.

 

III. MAJAS DAN DIKSI

Kata ‘kekasih’ pada puisinya yang bertebar dimana-mana bisa berubah maknanya sesuai dengan larikan tema yang bergerak. Tuhan sebagai kekasih maupun makhluk sebagai kekasih. Huseni Labib banyak menggunakan kata ‘kekasih’ bersama rangkaian metafora dan personifikasi pada setiap puisinya di tema manapun persebarannya berada. Pada bab 1 saja, kata ‘kekasih’,digunakan Labib 17 kali dari 48 puisinya di bab tersebut. Pergeseran dan kemiripan fungsi kata ganti kata ‘kekasih’ yang digunakan Labib untuk melambangkan kedekatan dan kemesraan pada dia yang dirujuknya; Tuhan maupun makhluk.

Kata ‘kekasih’ juga digunakan Labib untuk memberi predikat pada setiap hal yang mulia dan tinggi, juga untuk sesuatu yang ingin dimilikinya. Puisi berjudul Al Faqir di bab 1 adalah salah satu puisi Labib yang mengajak yang terkasih baginya untuk tunduk pada aturanNya sebagai bukti cinta. Di puisi lainnya, kata ‘kekasih’ yang dituliskan Labib, Alhaq merujuk pada Dia sebagai kata ganti tempat mengadu. Begitu pula di puisi Arafah di Keningku, Labib menggunakan kata ‘kekasih’ sebagai kata ganti orang terdekat yang menjadi tempatnya menumpahkan lelah.

Kekasih, berikanlah hatimu, percaya pada semua sabda, logika mengayak ilmu, disela miqdar semesta, yang taat tunduk pada aturanNya, tidaklah rumi pernah berkata: cinta adalah api berkobar.

(AlFaqir, Aksara Zaman halaman 3)

 

Kekasih, jariku telah letih menunjuk banyak arah, berikanlah aku waktu menunjuk langit, mengetuk pintu kesucian, bersama kebenaran yang tak ada ragu

(Alhaq, Aksara Zaman halaman 4)

 

Kekasih, ada saatnya rembulan menangis pada gerhana: kenapa kau bangun hijab pada cahaya; katanya kau tabukan kegelapan alam, menyingkirlah, kumohon, menjauh dari hadapanku! (Arafah di Keningku, Aksara Zaman halaman 6)

 

Kata tiin dan zaitun bersama maupun sendiri-sendiri, kerap muncul dalam puisi Labib, Dua jenis buah yang disebut dalam kitab suci ini menjadi simbol dari keinginan, cita-cita manis, atau harapan; kadang bergeser maknanya menjadi sesuatu sebagaimana kekuatan, kekuasaan dan nafsu.

Kekasih! Kupetik buah tin azzaitun, kupandang bukit Tursina, bercita sebaik manusia, dalam raga yang sempurna, jiwa terbang di paruh burung! Mi’rajnya ke puncak angkasa

(Kupetik Buah Tin, Aksara Zaman halaman 29)

 

Aku melihatmu meratap pulang, ada berita merpati membawa zaitun, buah tin yang ranum..

(Salam, Aksara Zaman halaman 44)

Istilah tertentu yang sukar untuk dicari persamaannya dalam bahasa Indonesia, atau menjadi kurang menanjak dalam maknanya bila ditulis dalam bahasa Indonesia, dituliskan Labib dalam istilah bahasa Arab di puisinya. Kata-kata ini tersebar dimana-mana, sebutlah la raiba, dholuuman jahuula, assa’adah, nafsul muthmainah, isti’adzah, ibadul mukhlasin, yaumul ba’syi, sayyidul aayyam dan bal hum adholl. Menggagas puisi dengan tema ketuhanan dan kesufian, Labib menggunakan kata-kata ini sebagai jembatan kedekatan makna dengan rasa yang ingin diungkapkan Labib dalam setiap puisinya.

 

IV.             KONSISTENSI, PERLUKAH?

Terlepas dari keterpaduan secara tematik yang dileburkan dalam buku puisinya, Labib mencoba meninggikan proses berkata dalam makna agar menjadi lembut dan tak terasa pedihnya. Beberapa puisinya sangat dalam maknanya, bentuk pasrah dan penghambaan sepenuh hati tapi beberapa yang lain berisi rayuan gombal. Memang, pada akhirnya sebuah percampuran tematik seperti ini menunjukkan keluasan penulis mengungkapkan manusia dalam bentuknya yang hakiki, bukan melulu malaikat, bukan pula melulu setan. Dua sisi isi kepala dan hati berpadu sebagai pikiran tinggi manusia berpadu dengan nafsu yang menguasai pikiran rendah manusia.

Sebagai sebuah dinamika, Labib berhasil memberi pembaca kedalaman arti pencarian Tuhan yang sebenarnya sangat dekat. Dangkal tapi tak terlihat oleh manusia. Labib ingin mengungkapkan makna perjalanan pencarian pada sesuatu yang dekat, di urat nadi. Tuhan ada disini, di pikiran kita yang jauh, di pikiran kita yang dekat. Sesuai dengan prasangka kita padaNya.

Ketelitian pada tanda baca dan penggunaan huruf kapital memang tak mutlak dalam menulis sebebas puisi, namun penggunaan tanda baca dan huruf kapital yang tepat akan mengindahkan proses visual bagi pembaca untuk menyadari kedalaman isi puisi. Meskipun tidak terlalu banyak, di beberapa tempat dan bagian, penggunaan tanda baca dan huruf kapital masih memerlukan koreksi dan penataan.

 

 

 

 

 

Umur ini hanya secangkir kopi, tak lama habis diseruput, kadang begitu manis, pun juga terasa pahit. Kehidupan adalah tempat coba mencari yang terbaik dalam alunan semesta

 

(Huseni Labib, Aksara Zaman)

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post