Mencintaimu adalah Kebiasaan
Mencintaimu adalah Kebiasaan
-Dian Garini Lituhayu-
Akhir-akhir ini aku kehilangan buntelan kosakataku. Mendadak lenyap mendadak ketika aku mulai hendak menuliskan sesuatu. Menjadi kerap kehilangan kemampuan mengungkapkan perasaan dan keadaan. Seperti kehilangan tenaga. Seperti baterai soak. Berhari-hari baper dan bercampur aduk rasa meskipun tak pernah menyebabkan aku meradang dan marah, hanya menjadikanku seperti mati rasa dan dilemparkan dalam ruangan tanpa udara. Masa menangis sudah aku selesaikan dalam waktu 3 x 24 jam, supaya tak diteror pak RT kalau aku melebihkan masa bergadang.
Bukan karena timbanganku menolak ke kiri akhir-akhir ini, bukan. Kalau perihal itu aku pikir hanya nasi Padang komplit dengan kalio hati dan gulai otak sapi yang mengerti atau satu porsi sate Madura dengan cincangan cabai yang melimpah yang bisa menjawab gaduhnya rasa tanya mengapa timbanganku menggeleng ke kanan saja. Kukatakan pada diriku sendiri, nikmati. Perjalanan hendak oleng atau gamang pun adalah rejeki. Menjadi lupa dan menjadi mendadak seperti kehilangan rasa juga adalah rejeki.
Sebenarnya aku sangat paham apa yang terjadi, aku telah terlibat perasan yang terbangun pelan-pelan, sedikit-sedikit, setahap demi setahap seperti menyusun bangunan bata ala zaman baheula yang tak instan sama sekali. Aku membangunnya dengan merevisi kebiasaan yang tak fit dengan tujuan, mulai meniti hal-hal yang harus kusiapkan di masa itu, masa dimana aku menunggu bertemu, bersatu dengan dia yang dipersiapkan langit untukku. Dia yang kutemui dalam keadaan hati bersih tanpa penghuni. Meskipun mungkin akhirnya di ujung cerita, semua seperti lirik sebuah lagu Michael Learns to Rock, “you will never satisfied, no matter how I tried..” Mewarnai pekanku, lagu ini seperti didorong langit ke telingaku, di penghujung kegiatan perpisahan siswa, lagu ini dilantunkan dengan aransemen yang sudah digubah sederhana. Jadilah, semakin menambah bumbu rasa. Balado atau rendang mungkin rasanya. Pedas dimata. Tentu saja.
Sampai kinipun aku sadar benar apa yang terjadi. Banyak hal yang kubangun dan kutiti sebenarnya menjadi bahanku mendirikan jembatan ke saat itu. Saat bersama itu. Perjalanan sepanjang ini, kubangun dengan menilik, memilah dan memilih mana yang pantas, mana yang layak, sembari mempertahankan hal-hal yang sudah menjadi kebaikan yang terlebih dahulu kupelajari dari orangtua dan keadaan hidupku. Hidupku memang tidak mulus, tapi dirancang dengan jahitan yang sangat halus. Luka dan lubang sudah bisa ditata dengan jejaring benang emas disisi-sisinya, tak satupun kusesali. Bukankah setiap pejuang punya luka untuk mereka banggakan? Masih ada bekasnya, aku tak sempat mengolesinya dengan dermatix atau minyak banteng.
Fase terberat dari mandegnya sebuah keputusan adalah tersisanya proses yang mangkrak. Deretan usaha menuju ke sebuah tujuan yang dianggap sudah tidak sejalan. Hendak dipaksakan, tapi hatiku berkata tidak boleh memaksakan, tidak boleh merangsek. Hatiku berkata, stel kendor dulu. Santai dulu. Tarik nafas. Lihat-lihat hutan, gunung dan lautan di kiri kanan jalan. Nikmati prosesnya dengan senang hati, meskipun aku seperti bernafas setengah mati meskipun aku tak sedang kumat asma. Berotex tidak pernah kugunakan 3 pekan ini. Hanya Simbicort sehari sekali. Berlari keliling kompleks sambil melihati anjing-anjing kecil milik tetangga yang tampaknya kepadaku jatuh cinta. Hendak kembali ke gym, tapi aku tak hendak bercampur dengan kegalauan kelas kabupaten lagi. Mencampuradukkan keinginan sehat secara fisik tapi membiarkan batin diisi dengan lagu bertema kacau. Ah tidak. Biarlah sunyi saja.
Kebiasaan saat bersama yang telah melekat sejak pertama kali berjumpa menjadi bahan cerita yang tidak pernah ada sudahnya, tidak pernah ada akhirnya. 1000 hari lebih bukan waktu yang singkat meniti rasa dan mengikat hati, tapi tetap waktu yang singkat bagi pasangan manapun juga untuk saling belajar menggenapi diri. Yang menikah puluhan tahun pun masih kerap menemukan perselisihan, yang jika tidak bisa dikelola, sama saja membuang waktu dan energi. Tapi banyak pula pernikahan yang berprestasi, dimana pasangan tidak berjalan berurutan tapi berdampingan, sesering apapun perselisihan terjadi, berusia muda juga yang tua. Meskipun dewasa dalam hubungan tak bisa dinilai dengan lamanya waktu yang dilewati, tapi waktu adalah kapal besar terbaik untuk melihat kebagusan orang lain dan meniru segenapnya, dengan perasaan gembira dan bahagia.
Kebiasaan yang terbangun pelan dengan sapaan setiap hari, doa di setiap awal hari dan pelukan pada foto dia yang di hari setiap malam menjelang tidur sepertinya klise belaka. Apalagi ikatan hubungan berstatus jarak jauh. Kelebatan emosi dan rasa tak percaya diri, menggenapi semua prosesnya lebih kuat dengan voltase yang lebih tinggi, dibandingkan dengan hubungan yang setiap hari berjumpa. Tentu saja bagi yang tak pernah melakukannya, semua adalah hal absurd, minimal terasa biasa. Anak muda bisa larut dengan gampang, pun gampang pula lupa. Bagi orang-orang berusia dewasa, perkara jatuh cinta bukan hal biasa. Perkara yang memang sejuta rasanya tapi trilyunan bobotnya.
Ada lubang menganga yang besar dan menguasai hati yang perlahan dtinggalkan. Walau tak bisa dikatakan ringan, hubungan jarak jauh memang memerlukan ruang dan daya juang yang lebih tinggi. Dalam bahasaku, harus lebih militan. Pengertian, keramahan, komunikasi, persetujuan, kepercayaan, dan semua printilan setiap hubungan harus dilipatgandakan kekuatannya. Sebenarnya, aku juga bukan ahlinya, urusan seperti ini aku adalah pemula. Aku hanya membaca buku saja, dan belajar dari orang dewasa di sekitarku yang menjadi istri dan menjadi suami.
Sepakat atau tidak, sebuah perpisahan pasti berat. Menggunakan di- atau me-, menurutku sama saja. Ketika cinta usai dan hubungan selesai, banyak hal yang tersisa yang telah melekat menjadi kebiasaan. Terlebih banyak hal pada pasangan telah menjadi bahan belajar dan panutan dalam tujuan hidup. Terlebih dia yang disayangi, menjadi teman satu-satunya dalam hati dan dijadikan teladan sehari-hari. Melihatnya dengan penuh sungguh dan menjadikannya berhala dalam hati. Tanpa menjadi militant mencintai dan meyakini, satu dua hal ketelisut tak berada dalam satu jalur akan menjadi petaka. Perbedaan sudut pandang dan merasa tersaingi menjadi penyebab rentannya rasa hati. Apalagi dua sisi kuat marahnya. Harus diam dan tenang salah satunya supaya semua bisa terjaga.
Dan, catatanku berakhir disini. Disebuah fase dimana tak mudah menghilangkan kebiasaan baru yang kupandang sangat baik untuk kutiru yang telah kulakukan demi menyamakan frekuensi dengannya. Absurd kah, aku tidak tahu. Banyak hal yang membuatku melihat lagi wajah itu setiap jam, setiap hari, karena dia telah memberi warna dalam hidupku. Cerewetnya yang luar biasa justru adalah hal yang paling istimewa. Detilnya yang kadang tak meleset sejarak pori-pori, adalah daya tariknya yang tak akan bisa disangkal masa. Bagiku yang menganggap siapapun yang hadir di dalam kehidupanku adalah kebaikan, dalam bentuk kehadiran ataupun pelajaran; mencintai apa yang dia cintai, menghormati apa yang dia hormati adalah bagian dari perasaanku kepadanya. Akan kujaga tetap demikian, kehangatan dalam mimpi dan kemesraan dalam doa sepertiga malam. Paling tidak untuk sekarang, bagiku dia tidak pernah hilang.
Mencintaimu adalah sebuah kebiasaan.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Paparan luar biasa. Sukses selalu dan barakallahu fiik
Terimakasih bunda..