Dian Garini Lituhayu

Lahir dan tumbuh di Kota Samarinda, aku rapat dengan budaya Melayu yang kental mewarnai kehidupan pinggiran Sungai Mahakam. Berkeseharian sebagai ibu dan ibu gu...

Selengkapnya
Navigasi Web
Semua Sudah Cemepak

Semua Sudah Cemepak

Semua Sudah Cemepak

-Dian Garini Lituhayu-

Satu kaleng susu bergambar beruang yang iklannya naga, dua kemasan sari kacang hijau, satu pek kecil biscuit berselai manis, satu iris bolu gula merah, satu arem-arem besar isi ayam dan satu batang coklat kacang; kuterima dalam satu goodie bag besar sore ini. Masih di teras PMI, aku dan si gadis tengah duduk dan menikmati kudapan ini dengan gembira. Aku tak bersuara. Hanya menikmati suasana sore dari lalu lalang manusia yang selalu ramai di wilayah ini. Berdampingan dengan rumah sakit terbesar di Samarinda, puluhan rumah makan dan supermarket di daerah ini membuatnya selalu ramai 24 jam. Tidak pernah mati. Suara klakson disana sini, sesekali membuatku menoleh mencari sumber suara. Riuh pengunjung di teras ini tidak terlalu ramai lagi. Sebagian sudah bergegas pulang, gerimis membawa wangi khas yang membuat rindu.

“Tunggu sebentar ya, kembalikan tenaga, baru kita pulang..” ucapku pada si gadis tengah.

Si sulung sore ini masih kuliah, si bungsu sudah kuantar pulang duluan. Si tengah baru saja selesai latihan paskibra di sekolah. Kuajak dia kemari, tanpa ucapan apapun padanya.

“Samsudin itu siapa Mah?” tanya gadis yang duduk disampingku ini.

“Mamah tidak kenal..” jawabku singkat.

“Kok tidak kenal mamah mau bantu donor buat istrinya?” Aku tersenyum saja.

“Mamah berharap suatu saat akan banyak orang yang membantu anak-anak Mamah, tanpa terlalu banyak tanya, tanpa terlalu banyak analisa, tanpa alasan..” aku menjawab pelan.

“Yang mempertemukan kita dengan Pak Samsudin itu tadi sudah Ada Yang Atur, semoga jadi jalan kebaikan buat dia dan istrinya, nanti kita kecipratan kebahagiaannya juga..” si gadis mengangguk.

“Sakit nda siy Mah? Itu kan jarumnya gede..” tanya si gadis polos.

Pikiranku justru megingat-ingat kemana-mana, menjelajahi ruang dan waktu. Sakitnya ya sakit, tapi berbanding sakit gigi? Ah tak ada bandingnya. Berbanding dengan dinafikan keberadaan diri, karena menyenggol ego seorang lelaki? Itu juga ruwet sekali.

Aku menghela nafas. Lelaki yang kupikir seusiaku itu menghentikan motorku dengan lambaian tangannya ketika motorku memutar arah di sebuah pertigaan.

“Ibu, tahukah Pian dimana PMI? Ulun disuruh cek kesana Bu. Istri Ulun operasi..” aku menghentikan motor tuaku dan menunjukkan arah.

“Ini satu jalur Pak, Bapak nanti berbalik arah, ada belokan di depan. Itu sudah kelihatan gedungnya kalau Bapak memutar.” jawabku pelan.

“Pian bukan orang Samarinda kah Pak?” tanyaku.

“Inggih Bu ai, Ulun terimakasih ya Bu..” dan dia berlalu.

Hujan sudah mulai deras. Aku dan si gadis tengah sudah berteduh dengan tenang di rumah masa kecilku, di rumah bapak dan ibuku. Hanya 5 menit dari kantor PMI. Kami duduk di depan televisi yang isinya acara memasak.

“Kamu tidak ada berangkat kemana-mana lagi?” suara Bapak ringan bertanya. Aku tersenyum saja.

“Belum Pak..” aku masih tersenyum saja.

“Ada nunggu hasil seleksi proposal penelitian matematika, kalau masuk seleksi, berangkat Pak..” Bapak mengangguk sambil menikmati susu kaleng yang kubawa di dalam goodie bag-ku.

“Jualan kue dan kacang lagi Ramadhan ini?” Aku kali ini tak menjawab sesaat.

“Sudah banyak yang tanya Pak, langganan dari tahun-tahun lalu yang sudah biasa beli, memang sudah booked. Dari bank juga, sudah Bu Tri yang siap handle..”

Ibuku duduk mendekati kami di ruang tengah ini.

“Kamu donor?” Aku mengangguk.

“Ya jaga kesehatan kamu kalau jualan kue dan kacang lagi, kalau terlalu jauh pakai gojek aja, nda usah bawa anak-anak..” ucap ibuku menimpali obrolan kami.

“Enak sekarang nda perlu pakai gojek kok Mah, pakai gosend saja, semua bisa diatur. Kecuali untuk beberapa langganan lama yang Neng harus ketemu langsung, sekalian silaturahmi..” jawabku pelan.

“Kalau lolos, berangkatnya kemana?” tanya Bapak.

“Yogja Pak, tempat yang sama seperti tahun kemarin..” jawabku.

Ibuku kemudian bertanya, “Berapa lama? Anak-anakmu disini ya, jangan di rumahmu..” Aku tersenyum saja.

“Agak lama Mah, dua Minggu. Nanti Neng kabari kalau sudah pengumuman. Kalau berangkat ya berangkat, rejeki. Kalau nda berangkat, ya rejeki juga, kembali jualan kacang..” aku masih tersenyum.

“Kacangnya diolah apa?” tanya Ibu.

“Dibumbu jeruk kering aja Mah, yang dibuat bumbu rempeyek juga banyak yang pesan, kacang Bali sedikit aja yang suka, padahal bikinnya ribet. Kue masih sama aja Mah, yang klasik aja..” terangku.

“Bapak mau kacang atom aja ya Neng..” pinta Bapak.

“Iya Pak, nanti Neng siapin, toples lonjongnya mau berapa Pak?”

Teringat permintaan Bapak perihal toples lonjong untuk membuat tumpuan sambungan kabel di dinding. Bapak sudah lama pensiun, tapi tak pernah bisa diam, selalu ada yang dibuatnya. Memperbaiki kabel di rumah dan merapikan alat-alat elektronik lainnya. Ibuku juga demikian, meskipun sudah lama pensiun, selalu ada yang dikerjakannya. Semenjak sakit gula yang menggerogotinya, memang badan ibu sudah habis dan kurus, tapi bulan Ramadhan nanti, ibuku pasti keukeuh minta berpuasa dan pasti tidak mau dilarang.

“Mamahmu ada pikiran apa Del?” mendadak tanya bapak kepada anak gadisku. Yang ditanya hanya tersenyum saja.

Kemudian menjawab, “Ih Kung kok tahu sih, Kung tanya mamah donk, masak nanya sama saya, nanti spoiler Kung..”

Bapakku tertawa. Tapi aku yang menahan tangis. Semua yang kusembunyikan dalam urat darahku masih terbaca dengan jelas oleh kedua orangtuaku. Setengah umurku kuhabiskan menyembunyikan apapun dari pandangan manusia lainnya. Rasa apapun.

“Wah sudah nonton Avenger ya kamu Ndul..” tanya Bapakku pada si gadis.

“Ih Kung, cantik kaya gini dipanggil Ndul, sudah donk Kung, kok Kung tahu spoiler-spoiler sih Kung, Kung nonton juga kah?”

“Kamu sama saudara-saudaramu bandel kah Ndul?” tanya Bapak.

“Ndak lah Kung, kita lho sholehah..” jawab si gadis cengengesan.

“Bantu mamah, jangan bikin rumah berhamburan, beresin, jangan semua-semua mamahmu. Tuh kalau mamah berangkat lagi, kamu disini aja bantuin Kung..” pesan Bapak.

“Beres Kung.. Kakak tuh yang sering bikin mamah bemamai Kung. Kalau sudah molor, harus keluar ayat-ayat cinta tu nah Kung..” jawab si gadis.

“Ya kamu lah kasih tahu, jangan mamahmu yang bemamai, nda usah lagi sudah mamahmu bemamai itu, mamahmu itu siang malam nunging kan buat kalian aja..” Bapak melanjutkan.

“Ah Kung, masak nungging. Kung lebay ah. Tapi susah Kung, capek ngomong sama Kakak, kalau sama mamah, kan mamah bemamai pakai melirik aja. Baru tuh Kung..” sambil tetap cengengesan si gadis bercerita.

Bapak tertawa. “Bawa sini Kakak, Kung yang jewer kupingnya, kalau berani-berani sama mamah..” Si gadis tertawa.

Kuteguk air dingin dari balik lemari dapur. Sejenak melihat obrolan itu aku tinggalkan mereka. Aku tidak mau kelihatan sembab. Cukuplah disimpan baik-baik di dalam perut.

“Tugas kita bukan menganalisa takdir, tugas kita meyakini..” suara Ibuku mendadak ada di belakangku.

“Tahajudnya ditambah, puasanya ditambah, ngajinya ditambah..” dan bisa dipastikan aku mulai kalang kabut menahan airmata yang ingin keluar dari tempat penyimpanannya.

“Dikasih masalah itu artinya Allah kasih rejeki, selesai, pasti selesai. Kembalikan pada yang Memberi masalah..” ucapan itu seperti silet, tajam sekali mengiris tenggorokanku. Sekuat tenaga aku menyembunyikan apapun dari kedua orangtuaku. Sekedar tak ingin menganggu hari tua mereka. Tak kubiarkan terdengar apapun yang tak menyenangkan hati mereka. Sekedar tak ingin mereka sedih. Sekedar ingin mereka hanya menerima hal bahagia saja perihal kami, anak-anaknya.

Hujan sudah selesai. Magrib sudah berlalu. Aku berpamitan. Ibuku masih dalam mukenanya. Tanganku diusapnya. Sedikit saja perlakuan itu. Tapi maknanya besar sekali. Sepertinya dari usapan itu ibuku hendak berkata, “Get well soon, be strong, be good, do good, minta Dia selesaikan buat kamu. Kamu tidak akan sanggup, biar Dia saja. Adukan semuanya, nanti ada jalannya, ketemu jalannya..”

Saat-saat drama sepertinya belum berlalu. Saat aku berpamitan pada Bapak. Lelaki tua ini kujadikan figur lelaki bagi anak-anak gadis, keterlibatan dan fungsi laki-laki, peran dan sosoknya bagi anak-anak gadisku yang sudah remaja. “Nanti kalau kamu datang lagi, kita ngopi..” santai saja suaranya, setengah berbaring di kursi panjangnya, dengan tasbih berwarna kuning lusuh ditangannya. Aku mengangguk. Dari bapak aku banyak belajar, politik dan hukum salah satunya. Pertimbangannya sederhana dan tak macam-macam. Sebagai mantan orang berbau militer, aku melihat perjalanan karir bapak yang lurus-lurus, tidak ambisi pada jabatan, jauh dari tipikal penjilat dan memang sangat keras pada garis tugas. Dengan bapak, mendiskusikan pilihan politik pun tak pernah takut rancu, selalu diberikannya pertimbangan sederhana. Si A begini, si B begitu, si C begono. Kadang bersama adikku yang bungsu. Diskusi semi serius berubah jadi lucu, menghabiskan gorengan satu piring dan berakhir dengan perut kenyang.

“Kamu jaga kesehatan, sibuk menulis boleh, jangan lupa olahraga dan makan. Jangan makan mie terus..” tutup bapak setelah aku mengucapkan salam. Aku kembali tersenyum, bekal besok hari, bekal pekan ini, bekal bulan ini, bekal tahun ini.

Yaa farijal ham, yaa khasifal ghom, yaa man liabdihi yaghfiru wa yarham-seperti doaku yang kulantunkan dalam Ratibul Hadad setiap malam.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post