Jangan Mati Dulu Sebelum Menulis Buku
Jangan Mati Dulu Sebelum Menulis Buku
Jangan mati dulu sebelum menulis buku! Ucapan bermakna keras yang digaungkan seorang narasumber dalam kegiatan ‘sagusabu’ pada 5 Oktober 2019 di Gedung Arsip dan perpustakaan kabupaten Bogor, awalnya mungkin terasa lebay di telinga. Bagaimana tidak? Apa urusannya melarang seseorang untuk mati hanya karena belum mempunyai satu buku pun untuk diterbitkan. Lebay? Yaa... kalian paham kan artinya lebay? Lebay adalah melebih-lebihkan, dibesar-besarkan. Memangnya menulis itu mudah? Semudah manusia melakukan kegiatan bernafas tinggal masukkan udara ke hidung dan menghembuskannya dalam hitungan detik. Kemampuan bernafas dapat dilakukan oleh bayi yang lahir dari kandungan. Kemampuan bernafas jelas berbeda dengan kemampuan menulis. Kemampuan menulis membutuhkan latihan yang intensif dan berulang agar dapat menghasilkan sebuah tulisan yang berkualitas. Jadi, pernyataan bahwa menulis itu susah, ribet, dan njelimet memang benar adanya. Membayangkan menyusun kata per kata menjadi kalimat, lalu kalimat-kalimat menjadi paragraf, harus memikirkan alur, topik, diksi, tanda baca, juga koheren dan koherensinya sebuah paragraf saja sudah membuat banyak pemula yang baru terjun dalam kegiatan tulis menulis merasa putus asa, dan menyerah di tengah jalan ,kok malah diminta untuk menuliskan buku.
Pandangan tentang lebaynya kalimat ‘jangan mati dulu sebelum menulis buku’ sebetulnya bisa sontak berubah 360 derajat jika melihat artikel dari majalah “Kartini” edisi Agustus 2019 yang mengangkat topik banyaknya buku impor yang menggempur anak-anak Indonesia yang sedang menggeliat gairahnya dalam membaca buku. Dalam artikel tersebut, disebutkan bahwa minat baca anak Indonesia mulai bangkit seiring gegap gempitanya gerakan literasi di sekolah-sekolah. Sayangnya, gegap gempita gerakan ini, belum didukung dengan sumber buku yang tepat untuk anak-anak tersebut. Event pesta buku, cuci gudang buku, dan pameran buku, masih disesaki dengan adanya buku-buku impor. Salahkah bila buku impor membanjiri pameran buku dan toko buku di negeri Indonesia ini? Persoalan yang mendasar bukan pada banyaknya jumlah buku impor yang masuk, tetapi pada konten / isi dari buku-buku tersebut yang ceritanya kurang sesuai dengan nilai-nilai budaya ketimuran bangsa Indonesia. Anak-anak yang polos akan melahap segala isi dari buku tersebut dan dapat terpapar virus gaya hidup yang bertolak belakang dengan budaya kita. Fakta bahwa buku yang ditulis oleh penulis lokal sangat kurang, jelas menjadi ‘sign’ merah tanda darurat menulis buku segera dicanangkan. Penulis lokal dianggap lebih memahami konsep budaya, adat, dan adab ketimuran, serta memahami dengan baik apa saja kebutuhan yang diperlukan oleh anak-anak Indonesia. Sehingga amanat yang dikemas dalam sebuah buku untuk diserap oleh pembacanya dapat sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Lalu, siapakah yang kiranya dapat meminimalisir masalah kurangnya buku yang ditulis oleh penulis lokal? Menurut Muhammad Ihsan ( Ceo Media Guru yang menjadi salah satu narasumber kegiatan ‘sagusabu’ Bogor 2 ) garda terdepan dalam proses literasi adalah guru. Dengan jumlah personil puluhan ribu , tersebar di berbagai kepulauan Indonesia, guru menjadi sosok yang paling memahami kondisi anak-anak Indonesia. Jadi, jika guru menulis, maka isinya dapat diperkirakan membawa misi positif bagi pembacanya terutama segmen pembaca anak-anak. Guru dapat memperkenalkan budaya kearifan lokal sehingga semakin bertumbuh rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa.
Persoalan minimnya buku untuk bahan literasi anak-anak Indonesia disikapi dengan baik oleh Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) dengan memprakarsai Gerakan Satu Guru Satu Buku di awal tahun 2017. Diharapkan dengan maraknya guru yang menulis buku dapat meminimalisir adanya disonansi moral ( getaran ajaran nilai yang ada pada diri anak-anak yang bersifat melemahkan moral positif), sebaliknya akan semakin menguatkan resonansi moral anak-anak Indonesia.
Jangan mati dulu sebelum menulis buku! Kalimat yang digaungkan dalam kegiatan pelatihan ‘sagusabu’ jika dipahami sebagai tanggungjawab bersama dalam mengawal gairah menulis para guru Indonesia terasa tidak lebay. Justru menjadi pemacu, pelecut semangat untuk terus berkarya menhasilkan buku untuk dipersembahkan bagi anak-anak negeri tercinta yang haus akan bacaan yang baik.
Selamat Menulis Wahai Guru Indonesia ! Satu Guru Satu Buku , pasti bisa !
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren...tulisanny...
Terima kasih banyak ,Bunda
Ini sih bukan jurus mabok yang digunakan. Telaah datanya.. mantab
Terima kasih Pak Har..
Mantab Bu
Terima kasih banyak,Pak Ridlo ☺️
War biasa bu Dian ini...
Terima kasih banyak Papi Yustinus. Suport terus yaaa... hehehehehe