Dian Pertiwi

Yang sederhana itu hati Tak perlu direka karena telah tertata Yang sederhana itu hati Tak dapat dipaksa karena ia bisa memilih Yang sederhana itu hati Tak mung...

Selengkapnya
Navigasi Web
Gravitasi   Lembar 1
Dokpri_PGK-PLM270422

Gravitasi Lembar 1

"Ibu beruntung banget ya...,"celetuk Nar, sambil mengontrol laju mobil. "Maksudmu, Nar?" Aku yang sedang asik menikmati perjalanan lewat kaca jendela, teralih padanya. "Ibu tuh diberi wajah yang cantik, sedangkan saya, ya ibu lihat sendirilah,"jelasnya lirih. Terdengar duka di nada bicaranya.

"Nar, kamu lagi mikir apa sih?" Sesaat kupandangi siluet wanita itu, dari kursi belakang. "Mengapa cantik atau tidak yang jadi ukurannya?"lanjutku. Aku masih belum memahami ucapan Nar yang sekonyong-konyong itu. Alih-alih menjelaskan, Nar malah tertawa kecil, sambil melirikku dari spion dalam. "Ibu bingung ya?!"ujarnya, masih dengan tawanya.

"Maaf, Bu. Saya hanya kagum dengan Ibu,"ucapnya kemudian. "Semua yang diinginkan perempuan, Ibu punya,"imbuhnya. "Cantik, langsing, putih, seksi, pintar, baik, modis dan mapan,"jelasnya lagi.

Sejenak aku terpaku, hanya mendengarkan celoteh Nar, yang entah mengapa terasa satir. Tak kusangka, rupanya Nar berpikiran begitu. "Duh, beruntungnya ya jadi Ibu,"katanya, sambil kembali melirik ke spion.

"Hmm...." Panjang napas kuhela, sambil berpikir apa yang akan kukataķan padanya. Kuulangi satu demi satu predikat yang Nar berikan padaku. Mungkin sebagian orang melihatku begitu, tentu aku juga bersyukur dengan semua keadaan itu. Tapi, adakah mereka tahu, bahwa semua yang mereka lihat itu tak lantas membuatku lebih nyaman dari yang mereka rasakan. Seringkali semua yang mereka nilai istimewa itu, malah menjauhkanku dari satu hal yang sangat kuharapkan. Cinta.

"Aduh, saya minta maaf ya, Bu." Tiba-tiba, kudengar suara Nar kembali menggema di sudut kemudi. "Maafkan ucapan saya yang lancang, ya Bu...,"pintanya terbata. Rupanya ia merasa tak enak hati melihatku terdiam lama, seakan tak menanggapi ucapannya.

Menyadari apa yang dirasakan Nar saat itu, aku segera mencoba tersenyum. "Lho, kok kamu minta maaf, emang salahmu apa?" Ujarku, mencoba mencairkan suasana.

"Anu, itu, saya salah ngomong tadi,"ucapnya dengan gugup. Melihat tingkahnya begitu, aku tak dapat menahan tawa. "Nar, Nar... Kamu lucu!"

Percakapan hari itu pun berlalu begitu saja.

D_GgKopi121222

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Perasaan kekaguman yang diwakili sosok Nar, itu banyak di sekitar kita. Itu tulus, bahkan tidak ada cibiran di dalamnya. Apik ceritanya

14 Dec
Balas

Terima kasih atas atensinya, semoga sehat dan bahagia selalu, Pak E.A.

14 Dec

Begitu lah Bun. Orang memang melihat sisi luar nya saja.

07 Feb
Balas

Mantap buk.makasih sudah di follow. Sudah saya follback buk

13 Dec
Balas

Terima kasih kunjungannya, semoga selalu sehat dan sukses cerpennya, Pak Dony.

13 Dec

Cerpen ayo bu di lanjutkan

20 Dec
Balas

Hehe...ikut ketawa bu Dian. Salam literasi

11 Jan
Balas

Keren Bu cerpennya, semoga selalu sehat dan sukses.

16 Dec
Balas



search

New Post