Dian Pertiwi

Yang sederhana itu hati Tak perlu direka karena telah tertata Yang sederhana itu hati Tak dapat dipaksa karena ia bisa memilih Yang sederhana itu hati Tak mung...

Selengkapnya
Navigasi Web

Secret Admirer

#TG H30

Secret Admirer 6

Ada rasa yang tak jelas kupahami saat itu. Mungkin kehilangan atau sedih bercampur penyesalan. Duka yang dalam, itu yang kutahu.

Semakin dekat langkahku padanya, kian nyeri rasanya dadaku. Berat kaki kulangkahkan, tak sanggup rasanya hatiku memastikan bahwa yang terbaring disana itu Wira.

Bertahun-tahun ia selalu mengirimkan pesannya untukku, tanpa aku tahu. Kalimat-kalimat yang ditautkannya di kolom komentar untukku, tapi hampir tak pernah kusimak sepenuh hati. Kecuali beberapa hari menjelang kepergiannya itu. "Wira, maaf...,"pintaku dalam hati. Air mataku mengalir, tak tertahan.

"Na, kita ke depan ya?"ajak Ayu, masih menggandeng tanganku. Aku hanya menatapnya sembari mengangguk. Kuteruskan mengikuti langkahnya, mendekat ke tengah ruang dimana Wira terbaring. Beruntungnya, beberapa pelayat memberi kami jalan.

Tepat di sisi kasur tempat jenazahnya terbaring, Ayu memberiku isyarat untuk duduk. Seketika, kututupi mulut dengan telapak tangan kanan, kutahan isakku.

Di hadapanku, ia terbaring ditutupi kain panjang batik berlapis. Bagian kepala dan wajahnya ditutupi selendang putih. "Inna lillahi,"ucapku, tak mampu rasanya bertahan disana.

Seakan aku berada dalam mimpi yang sungguh tak ingin aku lanjutkan. Kutarik napas panjang, lalu kulepas perlahan. "Subhanallah,"ucapku pelan, menguatkan hati. Kupejamkan mata, seraya kupanjatkan doa untuknya.

Ayu yang sejak tadi berdiam, kembali menyentuh bahuku. Sesaat kami saling menatap, seolah ingin berbagi duka yang kami rasakan. Lalu dengan tangan bergetar, Ayu membuka selendang penutup wajah Wira. "Yaa Rabb, wajah itu benar Wira!"jeritku dalam hati.

"Inna lillahi,"ucap Ayu. "Wira, ini aku dan Naya,"ucapnya lirih. "Kami ikhlas, kamu bahagia ya menunaikan janjimu, kembali kepada Allahu Rabbi"ucapnya, setengah berbisik, sambil menutup kembali selendang putih itu ke wajah jenazah Wira.

Samar, kutatap wajah Wira yang tertutup selendang, dadaku kembali terasa nyeri. "Wira, maafkan aku ya,"tiba-tiba bibirku pelan berucap, seiring air mata yang membasahi sudut mataku. Entah mengapa, hatiku seketika terasa lega, dan lebih tenang setelah mengucapkannya. "Terima kasih,"kataku lirih, dalam genangan air mata.

D_120322

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post